MANA YANG LEBIH HEBAT, NABI SAW ATAU BAYAZID BUSTHAMI?

Pada umur sekitar 37 tahun, Rumi berkuda dengan gagahnya menyusuri jalanan kota Konya. Semuda itu, Rumi memang sudah menempati posisi terhormat di negeri itu. Tapi, dalam perjalanannya kali ini, tiba-tiba seorang dengan badan kecil, rambut agak awut-awutan, dan baju bertambal mencegatnya. Hampir-hampir seperti seorang gelandangan. Tak dinyana, tak diduga, si gelandangan melemparkan sebuah pertanyaan yang sangat mengejutkan bagi Rumi. “Siapakah yang lebih hebat, Bayazid Busthami atau Nabi saw.?” Bak mendengar petir di siang hari bolong, Rumi jatuh pingsan.

Orang bisa membayangkan kebingungan dahsyat yang berputar-putar di kepalanya. Bukankah Bayazid menyatakan: “Maa fil jubbah illa Allaah (Yang diselimuti jubah ini tak lain adalah Allah)”. Sedang Nabi saw. hanya bisa berkata: “Aku tak bisa mengenalmu sebagaimana seharusnya Kau dikenali”? Dengan begitu, bukan saja Nabi terkesan belum “menjadi Allah”, bahkan Nabi dengan terus-terang mengaku belum bisa mengenal-Nya sebagaimana seharusnya Dia dikenal. Alhasil, siuman dari kekagetannya itu, Rumi muda mengangkat si gelandangan— yang belakangan dikenal dengan gelar kehormatan Syams Tabrizi—sebagai guru kinasihnya.

Nah, sekarang, benarkah dengan demikian Bayazid lebih hebat dari Nabi saw.? Mari kita lihat dengan lebih teliti. Al-Qur’an menyebutkan bahwa tak ada manusia yang pernah sampai kepada Allah seperti Nabi saw. sampai kepada-Nya. Bahkan tidak Nabi-Nabi selainnya, semuanya. Dalam surat an-Najm Allah firmankan: “Dia turun dan makin mendekat. Hingga di antaranya hanya ada jarak sepanjang dua busur panah” (QS. An-Najm [53]: 8-9).

Menurut penafsiran sebagian ‘urafa’, inilah makna metafor qaaba qawsayn (dua ujung busur anak panah): Busur anak panah membentuk setengah lingkaran. Dan jika dua busur disatukan, maka akan terbentuk satu lingkaran utuh. Nah, berbeda dengan garis—yang padanya jelas mana titik awal dan mana titik akhir—dalam lingkaran semua titik bisa menjadi titik awal dan, pada saat yang sama, semua titik pun dapat menjadi titik akhir. Maka, ayat itu seolah ingin mengatakan: tak jelas lagi di situ mana Allah swt—yakni dalam martabat tanazzul-Nya yang pertama, bukan dalam Dzat-Nya yang gaib dan tak teraih secara mutlak—dan mana Nabi saw. Allah bisa di mana saja, Nabi pun bisa di mana saja. Keduanya seolah sudah menyatu. Begitu pun, Nabi masih dengan penuh kesadaran memahami bahwa Allah swt. lebih besar dan lebih gaib dari (tanazzul)-Nya itu. Lebih besar secara tak tepermanai. Nabi sadar sesadar-sadarnya, bahwa masih ada yang dia saw. belum pahami dari-Nya, nyaris secara tak terbatas. Apalagi meraihnya, apalagi menyatu dengan-Nya. Sedang Bayazid? Sudah pasti maqam pengalaman pertemuannya dengan Allah berada (jauh) di bawah Nabi saw.

Baca Juga:  Krisis Kosmologi dan Tawaran Ecotheologi Islam

Meski demikian, dia sudah begitu tak berdaya dicekam pengalamannya yang  hebat itu, sehingga tak lagi bisa mengendalikan dirinya, lalu begitu terkelabui sampai tercetus dari mulutnya bahwa dia adalah Allah itu sendiri. Seolah bahwa perjalanan spiritualnya sudah selesai. Padahal, sebenar apa pun pernyataan Bayazid itu, dia sesungguhnya masih jauh sejauh-jauhnya dari Dia, dalam kegaiban puncak-Nya. Tak teraih, terbayang pun tidak.

Pengalaman spiritual Bayazid telah membunuh kesadarannya sama sekali. Sehingga tak ada yang tersisa darinya. Sedang Nabi, lihat betapa dia tetap bisa dengan tegar memegang kendali atas kesadarannya. Sebesar dan sedahsyat apa pun pengalaman spiritualnya, semuanya itu tak bisa mencerkamnya, apalagi mengelabuinya. Bisa jadi dia telah menyatu dengan-Nya, tapi kesadaran kehambaannya bukan saja tak sirna, malah makin menguat.

Maka, kalau sudah begini, masihkah kita bingung untuk menjawab:  siapa yang lebih hebat, Nabi saw. atau Bayazid? (HB)

0 Shares:
You May Also Like