Takdir dan Konsep Kebebasan Manusia (Bagian 1)

Al-Qur’an  adalah kitab suci agama Islam yang merupakan kumpulan-kumpulan firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Di antara tujuan utama diturunkan Al-Qur’an  adalah untuk menjadi pedoman manusia dalam menata kehidupannya agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Agar tujuan itu dapat direalisasikan oleh manusia, maka Al-Qur’an  datang dengan petunjuk-petunjuk, keterangan-keterangan, dan prinsip, baik yang bersifat global maupun yang terinci, yang eksplisit maupun implisit, dalam pelbagai persoalan dan bidang kehidupan.

Agama Islam yang ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. dan umatnya, memiliki ajaran-ajaran sebagai pedoman hidup di dunia ini bagi umat manusia. Ajaran-ajarannya itu dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: pertama, bagian yang berada di bidang akidah (keyakinan), dan kedua, bagian yang berada di bidang amal (perbuatan).

Ajaran yang berada dalam bidang akidah dimaksudkan untuk mendorong dan membimbing umat manusia mengembangkan diri menuju kesempurnaan pandangan (teoritis), yakni kesempurnaan pengetahuan, pemahaman, akidah, atau iman. Sedang ajaran yang berada dalam bidang amal (perbuatan) dimaksudkan untuk mendorong dan membimbing umat manusia demi mengembangkan amal-amal sehingga tercapai kesempurnaan amali (praktis).

Dengan demikian, Islam dengan kedua bagian ajarannya itu menginginkan kesempurnaan manusia dalam kedua bidang ini, yakni kesempurnaan dalam pandangan terhadap realitas (Tuhan, alam dan manusia), dan kesempurnaan dalam aktivitas atau tingkah lakunya sebagai manusia. Pada kedua kesempurnaan itulah terletak kelebihan atau kemuliaan manusia dari makhluk lainnya di muka bumi, juga pada kedua kesempurnaan itu terletak kebahagiaan manusia, baik di masa hidup mereka di dunia maupun di masa hidup akhirat.

Dari sini, dapat kita dilihat, bahwa di antara kandungan Al-Qur’an  yang paling mendasar adalah masalah keimanan atau tauhid, di samping masalah ibadah. Hal ini dapat dibuktikan dengan data yang dikemukakan oleh Harun Nasution, bahwa 86 dari 114 surat Al-Qur’an  merupakan surat Makkiyyah dan 28 merupakan surat Madaniyyah. Kalau ditinjau dari segi ayat, jumlahnya adalah 6.236 dan 4.780 ayat atau 76,65% dari padanya adalah ayat-ayat Makkiyyah yang merupakan tiga perempat dari isi Al-Qur’an, dan pada umumnya mengandung petunjuk dan penjelasan tentang keimanan, perbuatan-perbuatan baik serta jahat, pahala bagi orang yang beriman dan yang berbuat baik, ancaman bagi orang yang tidak percaya dan yang berbuat jahat.

Baca Juga:  Asketisme dan Bagaimana Cara Menemukan Cinta yang Menakjubkan

Karena itu, tidak mengherankan kalau bagian tersebar dari ayat-ayat Al-Qur’an  mengandung keterangan tentang Tuhan Pencipta, Pemilik alam semesta, sifat-sifat Tuhan, iman, kufur, Islam, nifaq, syirk, hidayah (petunjuk), dhalal (kesesatan), khair (kebaikan), syarr (kejelekan), surga dan neraka, akhirat serta dunia, kitab-kitab sebelum Al-Qur’an, umat serta para Nabi dan para Rasul sebelum Nabi Muhammad saw.

Masalah takdir merupakan salah satu keyakinan atau itikad terpenting, yang banyak mendapatkan perhatian ulama baik dulu maupun sekarang. Berbagai kesimpulan yang mereka tarik dari ajaran takdir di antaranya bahwa, Islam itu mengajarkan “falsafah fatalisme”, artinya menyerah kepada apa yang menimpa manusia, menyerah kepada keadaan yang dialami tanpa berusaha untuk mengelak dari bahaya dan keadaan, dan tidak dapat mengelak dari nasib buruk karena semua usaha dan ikhtiar tidak ada gunanya.

Ada yang menyimpulkan bahwa ajaran takdir itu membuat orang jadi malas bekerja, karena setelah mendalami ajaran takdir orang menjadi bersifat menanti keuntungan saja, menunggu angin baik. Yang paling berbahaya adalah yang berhubungan dengan perbuatan manusia, setelah falsafah takdir dan ikhtiar dipahami secara salah. Akibatnya, mereka mempunyai perbuatan yang semakin menuruti hawa nafsunya, berbuat dosa dan maksiat, karena berpendirian bahwa perbuatan mereka itu itu sudah ditakdirkan Tuhan.

Memang, ilmu pengetahuan manusia telah dapat dibanggakan, berkat kemajuan ilmu kedokteran, fisika, teknik dan ilmu-ilmu lainnya yang pada akhir-akhir ini memang benar-benar mengagumkan. Tetapi, disamping itu, terdengar pula keluh kesah dan jeritan dari pelbagai sudut dunia yang menandakan hati yang tidak puas dengan keadaan yang ada sekarang ini. Usaha tokoh-tokoh dunia untuk mendamaikan negara-negara yang saling bertentangan pun tidak berhasil, bahkan dirinya sendiri terlibat di dalamnya. Dengan demikian, seharusnya manusia insaf bahwa dirinya adalah lemah, dan manusia harus mampu menyadari bahwa ada kekuasaan lebih dari luar dirinya. Kalau manusia memang mengatakan dirinya berkuasa atas segalanya, semua bisa beres berkat iptek yang ada sekarang dan semuanya bisa diselesaikan oleh manusia.

Baca Juga:  Seni Agar Allah Jatuh Cinta ala Sufi (Bagian 1)

Sebagian orang menjadikan takdir sebagai dalih untuk berbuat maksiat dan perbuatan-perbuatan buruk lainnya, mereka melemparkan kesalahan kepada takdir dan pelanggaran mereka terhadap syariat agama. Tentu saja, dari sini ada yang menolak takdir sehingga mengatakan lâ qadr (tidak ada takdir).  Manusia bebas melakukan apa saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum kalau dia tidak memiliki kebebasan itu, dan bukankah Allah sendiri menegaskan dalam Al-Qur’an  yang artinya, “Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al-Kahfi [18]: 29).

Demikian banyak perdebatan yang tidak kunjung habis di antara para mutakallimin (para teolog), masing-masing menjadikan Al-Qur’an sebagai pegangannya (dan peran wahyu dalam kehidupan mansyarakat, (Bandung: Mizan, 1997, hal 60). Corak pemikiran masing-masing aliran bersifat reaktif. Fenomena ini menarik untuk dikaji dan diapresiasikan, sehingga dapat melahirkan simpul pemikiran teologis yang dinamis dan rasional sekalipun, tetap konsisten pada arahan dan bimbingan nilai-nilai Qur’ani yang menjadi objek kajian ini.

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berpikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi, dan perencanaan yang canggih. Namun, setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manusia hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Oleh sebab itu, sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk mengubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan, sekiranya usahanya itu dinilai gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang. (QS. Al-Hadid [57]: 23).

Baca Juga:  Pemikiran Kalam Kontemporer Muhammad Iqbal

Artinya manusia itu lemah (tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara sungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al-Qur’an  dan hadis untuk ditaati (bersambung).

0 Shares:
You May Also Like