Tasawuf dan Fisika Kuantum (Bagian 2)

Momentum menulis tentang soal ini akhirnya datang juga. Yakni, saat kurang dari dua minggu lalu saya bertandang ke rumah seorang anak muda baik hati, yang dikenal luas memiliki kemampuan melihat masa depan. Mungkin bukan itu saja. Dia dipercayai memahami sebab-sebab sesuatu bisa terjadi di masa depan. Dan, karenanya, orang berbondong-bondong datang kepadanya untuk meminta tolong menyampaikan hajat mereka. Anak muda itu sebelumnya malah pernah dengan baik hati mengunjungi dan mendoakan saya setelah saya selesai menjalani operasi besar.

Mungkin Anda akan bertanya-tanya juga. Apakah, seperti banyak yang lain, saya percaya pada kemampuan supranatural seperti yang dimiliki anak muda ini? Jawabannya afirmatif. Ya, saya percaya. Pertama anak muda ini bukanlah orang pertama yang saya kenal sebagai memiliki kemampuan seperti itu. Sebelum ini, saya pun sudah mengenal beberapa yang lain. Dan saya sendiri sudah membuktikan ketepatan nujumannya, dengan nujuman yang terlalu detil dan spesifik terkait diri dan keluarga saya— sehingga saya sulit untuk tidak mempercayai bahwa dia memiliki kemampuan seperti itu. Bahkan, hanya untuk keperluan ilmiah saja, saya harus mengungkapkan bahwa saya sendiri bukan sama sekali tak pernah mendapatkan “gagasan”—ini istilah yang dipakai oleh anak muda baik hati itu—tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Meskipun biasanya tak sedetil itu. Atau, pernah juga saya mendapatkan “gagasan” yang cukup detil tentang sesuatu yang belum terjadi. Beberapa kali. Tapi biasanya hal itu terjadi melalui mimpi. Dengan anak muda ini saya pun merasa terkadang ada hal-hal yang dia ketahui tentang saya, sebelum hal itu terjadi.

O, iya, saya tak dengan demikian mengatakan bahwa nujumannya itu pasti mutlak selalu benar. Seperti penglihatan biasa, penglihatan tentang masa depan yang lazimnya bersifat gaib bagi banyak orang, bisa saja penglihatan “gaib” ini salah. Atau, tepatnya, tak mendapatkan kesesuaian (taufik, dari Allah Swt) dengan apa yang nantinya benar-benar terjadi. Betapa pun, mereka juga manusia.

Baca Juga:  Iman Perlu Bagi Kebahagiaan, Iman Perlu Bagi Pengetahuan yang Lebih Tinggi

Alhasil, pada kesempatan pertemuan kedua ini, saya meminta izin mewawancarai si anak muda. Dia tampak enggan, tapi “bagi ammi (paman) tak apa”, katanya. Sebelumnya dia juga merendah dengan mengatakan bahwa kemampuan yang dia miliki itu sebenarnya tak spesial, bahkan non-Muslim pun bisa memilikinya. Asal dia mau menyiapkan diri untuk itu. Antara lain, dengan rajin dan khusyuk melakukan riyadhah ruhaniyah (spiritual excercise), termasuk nglakoni hidup prihatin (asketik, termasuk berpuasa, berjaga malam, dan sebagainya). Dan saya mendengar langsung dari orang yang mengetahui bahwa, selain tampaknya mewarisi kemampuan ini dari ayahnya, anak muda ini sudah dikenal rajin ber-riyadhah sejak usianya masi sangat muda.

Ringkasnya, menjawab pertanyaan saya, dia menyampaikan bahwa penglihatan ke masa depan itu datang tiba-tiba, tanpa dia rencanakan, setelah dia merasa pindah ke alam (realm) lain, dari alam wadak (bentuk) fisik ini. Semacam mendapatkan pencerahan maknawi—bukan lahiriah—terkait orang atau peristiwa yang akan terjadi (dengan orang itu). Biasanya begitu melihat orang tersebut, atau kadang hanya foto, atau bahkan sekadar informasi tentangnya saja. Tapi, terkadang ketika dia menyebut nama orang, yang tak selalu dia sendiri kenal, biasanya terbayang di depan matanya bentuk (formal, shurah) orang tersebut.

Sepulang dari situ, di perjalanan dengan mobil kembali ke Jakarta, saya sampaikan kepada rekan muda seperjalanan saya yang ahli tasawuf: “Saya yakin gejala ini bisa dijelaskan dengan fisika”. “Fisika?” tanyanya. “Bukankah ini bukan gejala empiris?” Sebuah pertanyaan yang absah. Saya jawab: “Ya, fisika kuantum!”

Btw, perlu saya tegaskan dulu di sini bahwa saya sama sekali tidak tertarik untuk menjelaskan hal-hal gaib (baca: supranatural) dengan fisika atau sains natural (positif). Seperti yang dilakukan sebagian proponen islamisasi sains, yang berusaha menghitung kecepatan malaikat, dan sebagainya. Tidak. Saya bahkan tak percaya pada gagasan islamisasi sains. Sains ya sains. Dalam dirinya sendiri dia adalah prosedur mencari pengetahuan yang benar. Dalam porsinya sendiri. Demikian pula agama (Islam). Tapi, sebagai dua sumber kebenaran, saya percaya bahwa keduanya bisa saja menghasilkan temuan-temukan sejalan. Selama ilmu pengetahuan itu sahih, dan pemahaman agama kita pun sahih. Jadi keduanya bisa saling mengisi.

Baca Juga:  Makna Pluralisme yang Sebenarnya

Nah, mengingat pemikiran (filsafat atau mistisisme) agama melampaui gejala fisis—dengan kata lain, bersifat metafisis—maka sesuatu yang sejalan dengannya haruslah juga berada di arasy metafisis yang sama. Persis di sinilah letak fisika kuantum. Fisika kuantum tidaklah berada di level fisika biasa. Setidaknya fisika dalam makna Newtonian, yang mengatur benda-benda kosmis. Fisika kuantum, berbeda dengan itu, mengurusi benda-benda subatomik, bahkan energi. Yang lebih lembut (lathif, jamaknya lathaif).

Dan seperti akan kita lihat nanti, kalau pun tidak dengan hal-hal yang bersifat spiritual (ruhani) murni (mujarrad), fisika kuantum sudah meneroka ke alam yang (setidaknya, dekat dengan) apa-apa yang bersifat imajinal (barzakhi). Mari kita lihat lebih jauh…(Bersambung)

Previous Article

Tasawuf dan Fisika Kuantum (Bagian 1)

Next Article

Internalisasi Nilai Ibadah

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨