Jadikan Allah sebagai Wakil

Oleh: Darmawan
Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Tidak sedikit kaum Muslim bersantai ria dalam menanggapi isu-isu sosial, ekonomi, politik, kebangsaan dan lingkungan hidup. Bahkan dengan kalem mengatakan, “Semuanya akan beres kalau kita bertawakal pada Allah —menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah—  tidak bergantung kepada makhluk atau benda lain. Toh Allah sendiri yang mengatakan, “Dan barang siapa bertawakal kepada Allah, pasti Dia mencukupi (segala keperluan)-nya…” (QS. Ath-Thalaq 65: 3)

Kita sepakat, dalam konteks apa pun kita harus bersandar kepada Sang Maha Kekal yaitu Allah swt. sebagai seorang anak kita tidak bisa selamanya bersandar pada ibu dan bapak kita, karena mereka mempunyai umur yang terbatas. Sebagai karyawan tidak selamanya akan bersandar pada perusahaan tersebut, karena perusahaan tidak selamanya berada pada titik kejayaan. Ketika terasa beban hidup meningkat, kita pun tidak bisa bersandar pada tembok atau pepohonan bahkan gunung-gunung karena semuanya akan rapuh dan runtuh. Untuk itu tidak ada alasan bagi kita untuk terus menerus bersandar kepada selain Dia Yang Maha Kekal, sebagaimana yang tertuliskan dalam Alquran, “Allah tumpuan harapan (semua makhluk).” (QS. Al-Ikhlas 112: 2)

Secara bahasa tawakal itu seakar dengan kata wakil. Wakil itu adalah orang yang dikuasakan untuk menggantikan, atau orang yang dipilih sebagai utusan (duta). Semua tindak tanduk, kebutuhan, keputusan dan lain sebagainya berada pada si wakil tersebut. Jadi kalau kita bertawakal kepada Allah berarti kita dengan sadar mengangkat Allah sebagai wakil kita. Artinya kebutuhan, keputusan, kehendak dan apa pun itu semuanya kita serahkan apa yang dimau oleh Allah swt. Sebagaimana wirid atau bacaan sehari-hari yang dianjurkan ialah hasbiyallah wa ni’mal wakil, artinya bagiku cukup Allah. Dia adalah sebaik-baik wakil.

Baca Juga:  Ibadah Sebagai Wadah Kesempurnaan Jiwa Manusia

Ada perbedaan antara mengangkat manusia sebagai wakil dengan mengangkat Allah sebagai wakil. Kalau kita mengangkat manusia sebagai wakil, maka keputusannya, pengetahuannya dan kecermatannya amat terbatas. Sehingga kita bisa melepas kepercayaan kepada wakil apabila di kemudian hari ditemukan ketidak sesuaian antara wakil dengan yang diwakili.

Namun ketika kita mengangkat Allah sebagai wakil, maka keputusan, dan kemampuan-Nya amat tidak terbatas. Sehingga semua yang Ia tetapkan untuk kita, sejatinya adalah kebaikan dan kecocokan untuk diri kita. Walau pun terkadang keputusan-Nya secara lahir itu seolah-olah bertentangan dengan kita.

Dalam banyak ayat Allah mendidik agar makhluk-Nya mau diajak “berpartner atau bekerja sama dengan-Nya”. Seperti yang terlukiskan dalam surat Yasin 36:68 disebutkan wa man nu’amirhu (Kami panjangkah umurnya). Penggunaan dhamir nahnu (Kami) dalam ayat tersebut menunjukan adanya keterlibatan Allah dan makhluk-Nya. Artinya jika kalian ingin panjang usia jagalah kesehatan, jangan coba-coba merusak dirimu sendiri dengan apa pun (miras, narkotika, sek bebas karena itu semua sebagai sumber penyakit).

Begitu juga ketika ingin memiliki rezeki Allah berfirman nahnu narzuqukum wa iyyahum “Kami akan meganuhgerahkan rezeki kepada kamu dan kepada mereka (anak-anak kamu).” (QS. Al-An’am 6:151) Artinya jika ingin memiliki rezeki kita dianjurkan untuk berusaha.

Hal yang sama juga ketika anjuran untuk bertawakal kepada Allah ada keterlibatan kita sebagai manusia di dalamnya seperti bunyi ayat, “…Kemudian apabila engkau telah membulatkan tekad, maka  bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang bertawakkal (kepada-Nya).” (QS. Ali Imran 3: 159)

Syaikh Abu Madyan al-Magribi dalam kitabnya al-Hikam al-Ghauwtsiyyah memberikan pemaknaan tentang hakikat tawakal dengan mengatakan

التوكل وثوقك بالمضمون واستبدال الحركة بالسكون

Artinya, “Tawakal ialah keyakinan  terhadap segala yang telah dijamin serta mengganti diam menjadi gerak.” Lagi-lagi dijelaskan, dalam tawakal ada dimensi gerak/usaha (aktif). Namun, setelah berusaha semaksimal mungkin yang menentukan berhasil atau tidaknya sesuatu adalah Allah. Karena itu, manusia harus berserah diri seraya terus memohon pertolongan-Nya.

Baca Juga:  Mencintai Makhluk, Dicintai Khalik (Bagian 1)

Contoh kongkrit praktik tawakal ialah dilakukan oleh Nabi saw. dan sahabatnya. Dikisahkan pada suatu hari ada seorang laki-laki berhenti di depan masjid untuk mendatangi Rasulullah saw. Unta tunggangannya dilepas begitu saja tanpa diikat. Rasulullah bertanya, ”Mengapa unta itu tidak diikat?” Lelaki itu menjawab, ”Saya lepaskan unta itu karena saya percaya betul pada perlindungan Allah swt.” Setelah mendengar penjelasan tersebut Rasulullah saw. menegur secara bijaksana, ”Ikatlah unta itu, setelah itu bertawakallah kamu.” Dari kisah ini amat jelas bahwa bertawakal kepada Allah itu bukan perkara yang pasif melainkan di dalamnya ada usaha yang kuat (aktif).

Kalau misalnya kita telah berusaha semaksimal mungkin, ternyata hasil dari usaha itu tidak sesuia dengan harapan kita, itulah yang disebut takdir. Keputusan takdir tidak ada satu pun yang kita sangkal, kecuali kita menerimanya dengan legowo, penuh dengan keiklasan, seraya memohon kepada-Nya di balik ketupusan-Nya itu pasti ada kemaha dasyatan dan keuntungan yang paling terbaik untuk diri kita.

Jika kita melakukan demikian, maka Allah akan berkata pada kita, “Sungguh Aku (Allah) menyukai orang-orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran 3: 159) dan Allah pun menjamin, ”Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan untuknya jalan keluar (dari kesulitan), dan akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, Maka Allah akan mencukupkan (keperluannya).” (QS. Ath-Thalaq 65: 2-3).

(Nuralwala/DA)

Previous Article

Islam Agama Cinta

Next Article

Tasawuf Cinta Penulis Simth al-Durar

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨