DZAWQ DALAM FIKIH

(Pemahaman dan penghayatan) agama bisa menjadi kacau, malah merusak, kalau tak dilakukan dengan dzawq (cita rasa). Bukan hanya dalam hal keindahan, spiritualitas, atau akhlak/adab saja. Bahkan dalam fikih. Ijtihad atau istinbath (penyimpulan) hukum juga akan mengacaukan dan merusak masyarakat kalau hanya dilakukan secara literal, bahkan rasional saja. Karena, seperti dibahas dalam ushul fiqh, ijtihad adalah suatu urusan yang kompleks. Melibatkan banyak sekali faktor.

Mulai, bukan hanya pemahaman bahasa Arab melainkan juga, pemahaman akan konteks asbabunnuzul ayat dan asbabulwurud hadis. Pemahaman makna umum (‘am) dan spesifik (khas) atas ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri. Juga pemahaman akan makna muthlaq (mutlak) dan muqayad (terikat). Dll. ‘Illah (alasan logis, ratio legis) dalam ayat-ayat atau hadis-hadis hukum juga harus jernih dirumuskan. Karena, dalam usul fikih ditetapkan bahwa “hukum itu berputar bersama ‘illah-nya.”

Itu baru dari sisi sumber. Belum lagi ada soal tujuan penerapan hukum (maqashid al-syari’ah), terkait dengan perlindungan atas nyawa, harta, keturunan, akal, dan agama. Atau, menurut Fazlur Rahman, ideal moral Islam. Dalam proses ijtihad pun ada banyak prinsip, seperti istihsan, istishab, mashalih mursalah, ‘urf, dan sebagainya. Semuanya terkait dengan pertimbangan maslahat individu dan masyarakat. Unsur lokalitas, termasuk budaya, dan semangat zaman juga harus diperhatikan. Dalam ushul fikih diajarkan bahwa hukum itu bergulir bersama guliran tempat dan zaman.

Nah, dalam situasi kompleks seperti ini, dzawq sangat menentukan ketepatan (apropriateness) suatu ijtihad atau istinbath hukum. Suatu penyimpulan yang pas dan pertengahan di antara semua faktor yang terlibat di atas kiranya menjadi kunci.

Kalau tidak—yakni kalau hanya mempertimbangkan hanya sebagian faktor, apalagi hanya faktor tunggal, misal penimbunan efek jera, atau makna literal, atau fundamentalisme—maka ijtihad akan ngacak. Dan hasilnya bukanlah menghasilkan perbaikan (maslahat), malah menghasilkan banyak kerusakan (madharrat).

Baca Juga:  Sejarah dan Ajaran Thariqah Bani ‘Alawi

Alhasil, ijtihad adalah suatu seni. Ini sebabnya kenapa hasil ijtihad bisa beragam. Dan kita pun tak perlu resah dengan adanya perbedaan-perbedaan. Setajam apa pun. Begitu!

0 Shares:
You May Also Like