Memahami Pemikiran Tarekat Syekh Nazim al-Haqqani

Dunia tarekat atau tasawuf terus berkembang dengan berjalan zaman dari waktu ke waktu. Sudah banyak pemikiran tasawuf bermunculan semenjak era klasik Islam mendominasi dunia termasuk dalam hal penyebaran pemikiran akidah dan tasawuf, seperti pemikiran tasawuf dari Abu Yazid Bustami, Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Kadir al-Jaylani dll. Beberap di antara mereka menjadi pemikir tasawuf murni hingga mendirikan tarekat sebagai wadah membentuk nilai spiritual bagi umat Islam, di antaranya: Syekh Abdul Qadir Jaelani pendiri Tarekat Qadiriyah, Syekh Hasan Syadzili pendiri Tarekat Syadziliyah, Syekh Bahauddin pendiri Tarekat Naqsyabandi hingga di milinemum kedua ini ada salah satu tarekat fenomenal bernama Tarekat Naqsyabandi Haqqani yang didirikan oleh Syekh Nazim al-Haqqani.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Nazim Adil bin Ahmad bin Hasan al-Haqqani (lahir di Larrnaka, Siprus, 22 April 1922). Beliau merupakan keturunan Syekh Abdul Qadir Jailani (Nasab Hasan-Husein) dari sisi ayah, kemudian keturunan Jalaluddin Rumi (Nasab Abu Bakar al-Shiddiq) dari sisi ibu. Ia memperoleh ijazah fikih Hanafi dari Syekh Abd Jalil Murad; ilmu hadis dan fikih Hanafi dari Syekh Abd al-Aziz bin Muhammad Ali Uyum al-Sud al-Hanafi, ia juga belajar Tarekat Naqsyabandi dari Syekh Sulaiman al-Zarumi (w. 1948 M). Melalui dirinya kemudian tarekat ini dinamai Naqsyabandi Haqqani. (Rahmawati, 2009, p. 26)

Tarekat ini lahir semenjak kematian Syekh Abdullah al-Daghestani (guru Syekh Nazim) pada 30 September 1973. Sejak saat itu, tarekat ini dikenal dengan nama Naqsyabandiyyah Haqqani. Syekh Nazim melakukan jalan dakwah pertamanya terhadap masyarakat Siprus. Beliau mengajarkan Islam sekaligus menyebarkan ajaran Tarekat Naqsyabandi Haqqani. Saat itu, Turki sedang dikuasai oleh kaum penganut sekularisme yang dipimpin rezim Kamal al-Taturk. Namun, biarpun beliau berada dalam kondisi seperti itu, tidak menjadikannya lemah dan terus berjuang menyebarkan dakwahnya. Termasuk keteguhannya dalam memperjuangkan syiar Islam dengan mendirikan Tarekat Naqsyabandi Haqqani yang memiliki afiliasi langsung dengan Tarekat Naqsyabandi Khalidi.

Baca Juga:  Rindu Kanjeng Nabi

Tema utama dari ajaran Tarekat Naqsyabandi Haqqani ini sebenarnya adalah cinta atau mahabbah, dan amalan yang paling urgensi adalah zikrullah (mengingat Allah). Tetapi pada umumnya setiap tarekat menekankan pada beberapa konsep tertentu dalam deskripsi kaum sufi, yang secara tidak langsung menjadikan gambaran tersebut sebagai ajaran dan amalan. (Rahmawati, 2009, p. 28).

Menurut Syekh Nazim, umat manusia zaman milenial ini sangat tertipu dengan merasa puas atas kemajuan teknologi dan segala kemudahan yang ada. Padahal, pada satu sisi, yakni sisi spiritual manusia dapat lebih jauh bermanfaat bagi umat manusia itu sendiri (Rahmawati, 2009, p. 32).

Berbicara tarekat dan tasawuf, maka tidak terlepas dari perihal kezuhudan atau asketisme dan hubungan erat antara sang mursyid dengan sang murid. Syekh Nazim Haqqani memberikan arti dari asketisme sendiri yakni sesuatu yang  tidak menghapuskan kemuliaan seorang sufi tersebut di dunia dan akhirat walau hanya sedikit. Justru, karenanya seorang sufi telah mengambil langkah yang pandai dengan tidak terlena pada kehidupan dunia yang sebentar bahkan dunia dijadikan persiapan menuju hari akhir, hari yang penuh kemuliaan bagi yang beruntung (Rahmawati, 2009, p. 31).

Syekh Nazim Haqqani menegaskan bahwa perlunya seorang hamba untuk meraih hakikat harus disertai keberadaan mursyidnya. Karena kalau tidak ada, sang murid sama saja membuang sebagian besar waktu hidupnya dengan penuh kebimbangan yang tanpa arah. Hal tersebut ditegaskan dalam hikmah sufistik dari Abu Yazid Bustami yang mengatakan bahwa pada seorang manusia yang tidak memiliki mursyid, maka mursyidnya adalah setan laknatullah. Syekh Nazim juga menambahkan bahwa seorang murid sudah seharusnya menjadi “mayat” di depan mursyidnya. Sang mursyid tersebut berhak memperlakukan sang murid sesuai keinginannya dan sang murid juga harus memperpercayai sepenuh hati terhadap perintah dan perlakuan sang mursyid. Semisal hikmah dari kisah Nabi Khidir kepada Nabi Musa. Hubungan keduanya diwujudkan dalam bentuk pengabdian yang timbal balik antara mursyid dengam muridnya. Mursyid mempunyai kode etik untuk tidak sedikitpun lengah terhadap perkembangan kondisi batin sang murid dan sekaligus sang mursyid menjadi penanggungjawab atas pertumbuhan nilai spiritual muridnya.

Baca Juga:  Manfaat Kesedihan

Menurut Syekh Nazim, untuk mengetahui bahwa seseorang merupakan guru sejati adalah bahwa calon murid akan dapat langsung memercayainya, “Hati kalian memberikan sinyal akan hal itu, dan hati tak pernah salah. Ketika seseorang duduk bersama mursyid sejati, ia akan merasakan kedamaian, ketenangan, dan kepuasan serta amat bahagia. Inilah tandanya. Orang itu akan melupakan seluruh masalah-masalahnya dalam hadirat sang mursyid, dan merasa bagaikan seekor ikan dalam samudra” (Rahmawati, 2009, p. 38).

Sebagai tambahan buah dari pemikiran tasawufnya, terkait tentang asas-asas pokok ajaran akidah dari Syekh Nazim berdasarkan ketetapan paham Ahlussunnah Wal Jamaah, sebagai berikut: (Mohd Asyran Safwan Kamaruzaman et al., 2019, p. 51–54)

Pertama, ketuhanan, memahami asas pokok dari tauhid dengan penuh keyakinan berupa wahdatul wujud atau panteisme yang artinya manusia bersatu dengan Allah Swt. Syekh Nazim menjelaskan paham tauhid semacam ini ialah apabila manusia tiada lagi memandang eksistensi dirinya, maka dia akan bersatu dengan Allah Swt. Kemudian mengatakan bahwa Allah itu bertempat di mana saja. Menurut beliau, Allah Swt. itu sendiri berada dalam masa dan tempat  tanpa ada batasan dan tiada satupun makhluk bisa mencapai batasan tersebut dengan nalarnya.

Kedua, kewalian, menurut beliau para wali itu bersifat sama dengan sifat-sifat Allah Swt. seperti yang disampaikan oleh gurunya Syekh al-Daghestani. Kemudian menjelaskan bahwa seorang wali itu memiliki aroma spiritual yang bisa diketahui. Seseorang bisa mengetahui perihal kewalian itu melalui aroma tersebut berdasarkan tingkatan spiritualnya.

 

Previous Article

MAKNA DOA SAPU JAGAT

Next Article

Refleksi atas Pidato Soekarno 17 Agustus 1966 dan Kontekstualisasinya pada Hari ini

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨