BUAT APA PUASA?!

Tulisan ini terinspirasi dari karya Dr. Haidar Bagir, Buat Apa Shalat?! Sebelum lebih jauh saya akan mengawali tulisan ini dengan mengutip renungan Prof. Dr. KH. Syamsul Bakri, S.Ag., M.Ag tentang puasa yang berbunyi:

“Puasa itu tapabrata, maka jangan mengakhirinya dengan hura-hura,

dengan memangsa makanan layaknya ular sanca.

Puasakan tubuhmu agar kerja tubuhmu tidak sia-sia”

Puasa merupakan ibadah kedua setelah shalat. Puasa yang dimaksud adalah ibadah puasa Ramadan. Puasa tidak hanya ada pada masa Nabi Muhammad saw., melainkan juga sudah ada sejak masa Nabi Musa AS. Meskipun, belum ada model ketetapan aturan waktu dalam berpuasa sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah saw.

Nabi Musa as. pernah berpuasa selama 40 hari, sehingga sampai saat ini kaum Yahudi masih melakukan puasa untuk mengenang kehancuran Jerusalem dan merebutnya kembali. Tentu, puasa tersebut berbeda dengan ibadah puasa yang dikerjakan oleh orang Islam, yang semata-mata diabdikan kepada Allah. Meskipun terdapat beberapa yang terjebak dalam nafsunya sendiri, puasa seharusnya menjadi ibadah intim yang diabdikan kepada Allah sawt. Namun, faktanya ada pula yang menjadikan puasa (mungkin termasuk saya) sebagai topeng untuk mengangkat prestis dirinya dalam beragama, kemudian mengkerdilkan orang lain yang belum berpuasa.

Mafhum. Seorang Muslim yang berpuasa jauh lebih baik daripada orang yang meninggalkannya. Hanya saja kita tidak berhak memberikan penghakiman kepada mereka yang tidak berpuasa. Begitu juga mereka yang tidak berpuasa sudah seharusnya menjaga sikap dan perilaku sebagai bentuk menghargai mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa. Bukankah bulan Ramadan ini bulan yang suci, sudah seharusnya dijaga kesuciaannya dengan cara saling mengendalikan diri dengan cara saling menghormati satu sama lain.

Baca Juga:  Muhammad Quraish Shihab: Nabi Muhammad Sebagai Nabi dan Manusia

Setidaknya terdapat lima agama yang mengajarkan puasa, namun memiliki niat, tujuan, dan cara yang berbeda-beda.

Pertama, agama Budha yang di dalamnya juga terdapat ajaran untuk berpuasa, namun umat Buddha masih diperbolehkan untuk minum titapi tidak boleh makan. Puasa yang dilakukan oleh umat Budha hampir menyerupai model gaya hidup vegetarian. Vegetarian adalah gaya hidup dengan menerapkan pola makan tanpa mengonsumsi makanan yang berasal dari unsur hewani.

Kedua, agama Katolik, umat Katolik berpuasa wajib bagi mereka yang sudah berusia 18 tahun. Berpuasa atau melakukan pantangan dalam agama Katolik merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan menyatukan pengorbanan umat Katolik dengan pengorbanan Yesus Kristus di kayu Salib.

Ketiga, agama Yahudi, umat Yahudi menyebut puasa dengan istilah ta’anit, pada saat puasa, mereka tidak diperkenankan untuk makan dan minum, berhubungan seks, mengenakan sepatu kulit, dan bahkan tidak diperkenankan untuk menggosok gigi.

Keempat, agama Konghucu, puasa dalam Konghucu juga merupakan cara untuk mensucikan diri dan melatih diri, baik itu untuk menjaga perilaku, perkataan, dan agar diri kita dipenuhi cinta kasih. Puasa Konghucu ada dua jenis: puasa rohani dan jasmani. Puasa rohani dilakukan dengan menjaga diri dari hal-hal yang dianggap asusila. Sementara puasa jasmani dilakukan pada bulan Imlek.

Kelima, agama Hindu disebut dengan Upawasa. Upawasa ada yang wajib ada juga yang tidak wajib. Upawasa yang wajib misalnya adalah Upawasa Siwa Ratri, umat Hindu tidak boleh makan dan minum dari matahari terbit hingga terbenam.

Dengan demikian, sebagaimana penjelasan puasa dalam setiap agama yang dijelaskan di atas, semua merujuk pada sikap pengendalian diri dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan. Atau dapat dikatakan sebagai media transformasi  diri untuk memperbaiki diri dari segi lahiriah maupun batiniah.

Baca Juga:  Resiliensi Diri ala Sufi

Puasa merupakan ritual keagamaan dalam Islam yang bersifat “rahasia”. Sebagaimana dalam hadis qudsi; “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya”. Ibadah puasa merupakan satu-satunya ibadah wajib yang pembagian pahalanya bersifat rahasia, berbeda dengan ibadah yang lain seperti shalat, zakat, dan haji yang perincian pahalanya sangat jelas dan detail.

Maka perlu dipahami, ibadah puasa memiliki dua prinsip utama yang meliputi dimensi lahir (eksoteris) dan dimensi batin (esoteris). Kerja lahir harus diimbangi dengan kerja batin, “puasakan batinmu agar kerja tubuhmu tidak sia-sia”. Jika puasa hanya sekedar memupuk kepekaan sosial, ikut merasakan mereka yang menderita karena kelaparan, untuk menyehatkan raga, serta sarana berburu pahala, bukankah itu semua dapat dilakukan yang tidak harus menunggu bulan Ramadan yang suci.

Dalam pandangan ahli tasawuf,  puasa adalah menahan atau mengendalikan hawa nafsu dari segala hal yang menjadikan kita lalai. Pasalnya,  nafsu merupakan sumber dari berbagai dosa dan kejahatan, baik dosa lahir maupun dosa batin yang dapat mengotori dan merusak kesucian jiwa manusia.

Hawa nafsu yang dimaksud tidak sekedar mengekang nafsu makan dan minum atau nafsu birahi, akan tetapi segala hal yang mendorong kita dalam melakukan kejahatan. Sehingga, pengendalian nafsu menjadi inti dari ibadah puasa, dengan sendirinya dapat menghindarkan manusia dari segala perbuatan keji dan mungkar, dalam tasawuf disebut dengan ber-takhalli, atau mengosongkan diri dari perbuatan tercelah, kemudian tahalli menghiasi diri dengan akhlak dan perilaku terpuji, kemudian menuju tajalli yakni memanifestasikan sifat-sifat Allah dalam diri manusia.

Puasa itu wajib dan penting. Namun, ilmu tentang makna puasa tidak kalah penting, supaya dapat menjalankan ibadah puasa dengan baik dan benar. Jika berpuasa tanpa dilandasi ilmu dan penghayatan batin, maka ibadah puasa akan terasa gersang, kosong akan makna spiritual (keilahian). Rasa haus dan lapar karena puasa akan dilampiaskan secara membabi buta secara berlebihan.

Baca Juga:  Memahami Tajalli dan Penyucian Jiwa Melalui Puisi Rumi

Menahan diri di bulan Ramadan tidak hanya sebatas dalam rentan waktu terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Melainkan, setiap hembusan nafas kita diupayakan supaya tidak berpaling dari-Nya. Maka kondisi batin harus selalu dijaga agar tidak diperbudak oleh keduniawian. Meskipun hal ini tidak membatalkan syariat ibadah puasa, namun akan mengurangi kualitas dari ibadah puasa.

0 Shares:
You May Also Like