اَفَاَمِنُوۡا مَكۡرَ اللّٰهِ فَلَا يَاۡمَنُ مَكۡرَ اللّٰهِ اِلَّا الۡقَوۡمُ الۡخٰسِرُوۡنَ
“Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi” (QS. Al-A’raf [7]: 99).
Ayat yang diterjemahkan sebagai “siksa” itu adalah makr. Sebetulnya makr bukan bermakna siksa. Tentu, ada beberapa kata lain—yang lebih umum dipakai Al-Qur’an—untuk menunjuk kepada siksa. Misal, ‘adzab atau uqubah. Jadi, tentu ada maksud khusus dalam pemilihan kata ini oleh Allah. Saya sendiri, mengikuti apa yang biasa dilakukan banyak penerjemah dan penafsir, memahami kata tersebut sebagai “plot“. Muhammad Asad memilih kata “devising” (perekaan). Maknanya, saya kira adalah suatu cara Allah membuat plot (wacana), atau merancang suatu proposisi, yang membuat kita merasa ragu, dan terus berada dalam kebimbangan, tentang kebijaksanaan (hikmah) Allah dalam mengambil keputusan akhir. Kalau mau, kita bisa menggunakan istilah “pengelabuan” atau, mungkin lebih tepat, “penyamaran” atau “pen-samaran”. Pemaknaan sejenis ini oleh Ibn ‘Arabi pernah dipakai—dalam Fushush al-Hikam, dalam konteks Dia membuat Nabi merasa telah melakukan hal yang benar tentang cara dakwahnya kepada umatnya (QS.71:5) (Pembahasan menarik tentang hal ini, baca Toshihiko Isutzu, Sufism and Taoism).
Keputusan akhir tentang apa? Yakni tentang apakah Dia akhirnya akan menyiksa manusia atau tidak. Dan seberapa keras siksaan-Nya. Dan, bagi sebagian orang, apakah akan ada siksa kekal abadi atau tidak. (Kenyataannya, meski di banyak tempat Dia seperti memastikan keras bahkan kekal-abadinya siksaan itu, tapi suatu kali Dia juga menyatakan, dalam Surat Hud, ayat 107, bahwa siksaan itu hanya akan ada “selama ada langit dan bumi…” Bahkan, bisa jadi Allah tidak jadi menyiksa dengan bagian firman-Nya yang berbunyi: “…kecuali jika Allah menghendaki (sesuatu yang lain).”
Apa tujuan makar Allah ini? Dengan membuat kita terus berada dalam keraguan, maka Allah ingin menjaga agar kita terus berada di antara dua posisi : khauf (rasa takut) dan raja’ (harapan akan pengampunan). Yakni agar kita tak pernah putus asa akan rahmat Allah (yang hanya orang kafir akan bersikap demikian). Tapi, pada saat yang sama, hal ini juga tak akan membuat kita ber-tamanni (berpanjang angan-angan) sehingga kehilangan rasa takut kepada-Nya. Apalagi mengingat bahwa khauf adalah cara Allah untuk mengajarkan cinta kepada-Nya. Bagaimana cara khauf bisa menimbulkan cinta?
Ketakutan kepada Allah sangat berbeda dengan ketakutan pada makhluk. Jika kita bertemu macan, maka kita lari menjauh sejauh-jauhnya dari macan itu. Jika kita dalam keadaan berisiko konflik dengan preman menakutkan, kita akan memilih pergi menjauh dari preman itu. Tapi, takut kepada Allah bagi orang yang paham, seharusnya membuat kita lari dari-Nya, kepada/menuju-Nya. Mengapa? Karena pada akhirnya siapa lagi kalau bukan Dia sendiri yang bisa melindungi kita dari Dia?
Dengan berlari dan mencari perlindungan kepada-Nya kita akan makin memahami dan merasakan kasih-sayang-Nya, lalu kita jatuh cinta kepada Sang Pengasih ini. Pada kenyataannya, bukankah Dia. Di atas segalanya adalah Yang Maha Belas-kasih.
Demikianlah ketakutan kepada Tuhan—dalam pemahaman seperti ini—justru adalah awal dari cinta kepada-Nya. Tuhan terkadang “terpaksa” tampil dalam wajah-Nya yang menakutkan, karena sedang berbelas-kasih kepada manusia dalam “upaya”-Nya menyempurnakan diri si manusia dan membantunya menggapai kebahagiaan dalam kedekatan dengan-Nya.
Akhirnya, kembali kepada ayat yang saya kutip di awal tulisan ini, tak ada yang boleh merasa aman dari makar Allah ini. Dengan kata lain tak boleh ada yang meremehkannya. Karena, pada akhirnya, Allah adalah Sang Maha Bijak yang berkuasa penuh untuk mengambil keputusan serta melakukan apa yang dikehendaki-Nya. Maka, marilah kIta terus rawat khauf dan raja’ dalam diri dan kehidupan kita. Jangan sampai kita kehilangan harapan atas rahmat dan pengampunan-Nya. Tapi juga jangan sampai kita berpanjang angan sehingga membiarkan kita hidup dalam dosa. Jangan henti berharap pada Allah, tapi jangan sampai kita su’ul adab (beretika buruk) kepada-Nya. Karena keduanya hanyalah sikap dan sifat orang-orang kafir