Oleh: Azam Bahtiar
Direktur Nuralwala
“Saya pernah melihat dari sebagian penganut kekufuran (ahlul kufri), dalam sebuah karyanya yang berjudul al-Madinah al-Fadhilah—persisnya dari tangan seorang sahabat di Mursyanah Zaitun (Seville, Spanyol), dan belum pernah kulihat karya ini sebelumnya—kuambil karya ini dari tangan sahabat itu, untuk kulihat apa isinya. Hal pertama yang tertatap oleh pandangan kedua mataku adalah pernyataan: ‘Saya ingin, dalam bab ini, kita berpikir bagaimana menempatkan Ilah (Tuhan) dalam [struktur] alam’, di mana ia tidak mengatakan: Allah. Aku pun heran. Maka kulempar buku itu kembali ke pemiliknya. Dan hingga saat ini, aku tak pernah lagi bertemu buku tersebut”.
Kisah di atas adalah pengalaman dan kesaksian dari Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi, yang diabadikannya dalam master piece-nya, al-Futuhat al-Makkiyyah, persisnya di Bab 344.
Saya membacanya entah berapa bulan yang lalu. Ketika itu, hati bergejolak, penuh tanda tanya. Kita semua tau, al-Madinah al-Fadhilah—yang selengkapnya berjudul Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah wa Mudhaddatuha—adalah buah karya Abu Nashr al-Farabi, filsuf Muslim yang dinobatkan sebagai Guru Kedua setelah Aristoteles. Mengapa Ibn al-‘Arabi, dalam kesaksian di atas, menyebut penulis al-Madinah al-Fadhilah sebagai di antara penganut kekafiran? Saya tak tau apa alasan dan bagaimana penjelasannya. Saya lewati, saya tinggalkan begitu saja, tanpa jawaban.
Tampaknya tak mudah untuk memasukkan nama Ibn al-‘Arabi ke dalam barisan para pegiat takfirisme. Namun, begitulah kesan yang segera dapat kita tangkap dari narasi kisah di atas. Apakah hanya gara-gara menyebut nama ‘Ilah’, sebagai ganti dari ‘Allah’, lantas al-Farabi pantas dikafirkan? Sesederhana inikah?
Bagi Syaikh Akbar, nama ‘Allah’ itu memang sakral. Sebagai Nama Diri, nama ini selalu dikenali dan tak pernah diingkari, bahkan oleh para penyembah berhala sekalipun. Dalam terminologi Alquran, nama ‘Allah’ memang tidak pernah digunakan sebagai setara dengan kata ilah maupun alihah (plural). Bahkan dalam praktik kemusyrikan kaum pagan sekalipun, kata ‘Allah’ digunakan sebagai nama yang berbeda, tak sejajar dengan nama sesembahan-sesembahan lainnnya. Dalam QS. al-Zumar [39]: 3, misalnya, “Kami tidak menyembah mereka (sesembahan-sesembahan) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”.
Perhatikan, kata Syaikh Akbar, di sini tidak dikatakan: “kepada Sesembahan (Ilah) Besar” atau “kepada Sesembahan Terbesar”, tetapi “kepada Allah”. Artinya, bahkan kaum pagan sekalipun tak dapat menyangkal kenyataan bahwa Allah adalah ‘Tuhan sebenarnya’. Alasan kekafiran dan penyangkalan mereka terhadap Alquran dan Sunnah adalah karena keduanya menyebut ‘Allah’ sebagai satu-satunya Ilah (QS. Shad [38]: 5)—sementara mereka meyakini ada banyak ilah/sesembahan, bukan ‘Allah’. Ringkasnya, mereka tak pernah menyangkal Allah. Jelas, kalau sedari awal mereka menyangkal Allah, maka tak kan pernah ada perilaku kemusyrikan. Lha, bagaimana mau syirik? Syirik itu terjadi justru karena mereka menerima—bukan menyangkal—dan mengakui ‘Allah’, namun menciptakan sesembahan-sesembahan lain untuk disembah. Dengan kata lain, kata ilah (sesembahan) di dalam dirinya mengandung tankir (kemungkinan untuk ditolak, sekaligus tidak definitif).
Apa hanya gara-gara ini al-Farabi disebut kafir? Saya coba periksa beberapa edisi al-Futuhat al-Makkiyyah, ternyata semua sama. Baik edisi lama (3: 178) maupun edisi baru (5: 264), sama-sama menyebut ahlul-kufr, penganut kekafiran. Saya sendiri tak tau, di bagian manakah al-Farabi mengatakan demikian? al-Madinah al-Fadhilah yang saya pelajari adalah edisi Albert Nasri Nader, dan belum ketemu di bagian mana ada kutipan seperti di atas. Memang, alih-alih menyebut kata ‘Allah’, al-Farabi hampir selalu menggunakan kata: ‘al-Maujud al-Awwal’ dan ‘al-Sabab al-Awwal’ (Prima Causa), sebagaimana jamak dipakai dalam tradisi filsafat.
Saya pun tak bisa berkomentar banyak. Saya tetap percaya, sosok sekaliber Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi bukanlah orang yang sembrono dan dengan mudah melemparkan tuduhan kafir atas orang lain. Apalagi, bagi sebagian orang, beliau dikenal sebagai sufi yang mempromosikan pluralisme agama—dalam makna yang mudah untuk kita diskusikan lebih jauh, setuju atau pun tidak.
Alhasil, belakangan saya baru menemukan jawaban bagi keganjilan ini. Ya, seperti pernah saya tuliskan dalam catatan-catatan pendek sebelumnya—dan ratusan tahun sebelum ini pernah dikeluhkan juga oleh Syaikh Abdul Wahab al-Sya’rani—sebagian karya-karya Syaikh Akbar diterbitkan tanpa melewati penyuntingan-kritis yang memadai dan, karenanya, melahirkan kekeliruan-kekeliruan, baik fatal maupun sederhana. Sebagian terjadi karena keteledoran, sebagian lagi karena memang dengan sengaja diubah, baik dengan niat baik maupun buruk.
Nah, sialnya, bagian kisah yang kutip di awal ini termasuk yang mengalami kekeliruan penyuntingan itu. Saya dapatkan data ini dari wawancara panjang ‘Abdul Aziz al-Manshub—salah seorang penyunting al-Futuhat al-Makkiyyah pasca Osman Yahya—yang dimuat dalam sebuah koran berbahasa Arab pada 2011.
Dalam wawancara itu, sambil menunjukkan foto manuskrip Konya (lihat di komentar pertama di bawah ini), al-Manshub mengatakan bahwa teks yang benar adalah: ahlul-fikr (kaum pemikir), bukan ahlul-kufr (penganut kekafiran). Al-Farabi memang lah seorang pemikir besar, seorang filsuf.
Dahsyat, bukan?! Kekeliruan dalam membaca naskah mengakibatkan kesalahan fatal semacam ini. Dari fa-ka-ra (pikir) ke ka-fa-ra (kafir). Kekeliruan terjadi hanya dalam menempatkan ‘ain fi’il; terjadi semacam taqdim wa ta’khir sebagaimana dalam Ilmu Qira’at Alquran. Tapi dampaknya?!
Wa-Allahu a’lam.
Tulisan ini diambil dari, dan sudah pernah dimuat sebelumnya di, sini.