Tafsir Sufi: Kenal Diri Kenal Allah (1)

Oleh: Ammar Fauzi, Ph.D

(Founder Indonesia Berfilsafat dan Pengajar di Nuralwala)

Mengawali serial kajian Kenal Diri Kenal Allah, hal pertama yang perlu didiskusikan bersama ialah apa subjek atau pokok pembicaraan/bahasan  Al-Qur’an?

Menjawab pertanyaan tersebut setidaknya ada dua jawaban: Pertama, fokus bahasan Al-Qur’an dari ayat pertama sampai ayat terakhir adalah tentang diri Allah swt. atau tentang Allah swt. Ketika Al-Qur’an berbicara tentang Allah itu Esa, maka Ia (Allah) sedang berbicara tentang diri-Nya sendiri. Sedangkan ketika Al-Qur’an berbicara tentang manusia, langit, bumi dan seluruh komponen alam lainnya, semuanya itu menghantarkan manusia dalam rangka mengenalkan Allah. Maka, apa pun kandungan yang terdapat pada Al-Qur’an pada intinya ialah berbicara tentang Allah swt.

Kedua, pendapat ini mengatakan pokok pembicaraan Al-Qur’an itu bukan Allah tetapi diri manusia. Ayat Al-Qur’an dari awal sampai akhir itu berbicara tentang seluk beluk manusia. Artinya ketika Al-Qur’an sedang menjelaskan Allah itu Esa, sebetulnya itu agar manusia memiliki gambaran yang paling sempurna untuk dirinya sendiri. Al-Qur’an menyodorkan satu gagasan atau idealisme tauhid. Karena itu, ketika Al-Qur’an berbicara tentang Allah bukan hanya berhenti pada deskripsi semata, melainkan memberi daya motorik atau daya penggerak supaya menumbuhkan motivasi agar kita mendapatkan gambaran yang lebih sempurna dan yang lebih tinggi yaitu ada pada Allah swt.

Hemat saya dua pendapat tersebut bisa disatukan bahwa sesungguhnya Al-Qur’an berbicara tentang Allah juga tentang manusia. Allah sebagai awal kehidupan manusia dan Allah juga sebagai tujuan manusia. Oleh karena itu, doktrin sufi mengatakan bahwa, “Bidayah itu adalah nihayah artinya awal itu adalah akhir.” Yakni Allah sebagai sumber kehidupan di mana kita datang dari Allah secara terpaksa dan kodrati, harusnya bisa kita kembali dengan cara tidak kodrati melainkan dengan cara sukarela dan penuh kesadaran. Apa yang akan kita jangkau, apa yang akan kita capai itulah yang pertama kali kita datang dari-Nya.

Baca Juga:  Laku Ihsan Mengundang Cinta Tuhan

Kalau kita bertanya kepada banyak kalangan tentang Allah, maka pertanyaan yang pertama ialah siapa itu Allah? Pada umumnya kita memahami, bahwa Allah itu Pencipta (al-Khaliq). Jawaban tersebut biasanya dilontarkan oleh kalangan awam dan para teolog. Karena mereka mengenal Allah lewat ciptaan-Nya.

Sedangkan di kalangan para filsuf Allah sering disebut sebagai Wajib al-Wujud yakni Allah yang niscaya adanya, keberadaan-Nya ada dengan sendiri-Nya, maka Dia tidak diadakan oleh yang lain. Terkait term Wajib al-Wujud tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, sedangkan term al-Khaliq akan mudah kita jumpai seperti termaktum dalam QS. Al-Ra’d [13]: 16, QS. Al-An’am [6]: 102 dsb.

Kaum sufi tidak seperti teolog ataupun filsuf dalam menyebut Allah. Kaum sufi lebih suka menyebut Allah dengan sebutan al-Haqq. Term al-Haqq termaktub di dalam Al-Qur’an,

سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ

Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kebesaran Kami di cakrawala di penjuru-penjuru dunia bahkan dalam diri-diri mereka sampai tampak jelas pada diri-diri mereka bahwa sesungguhnya Dia adalah al-Haqq. (QS. Fushilat [41]: 53)  

Kebanyakan para penerjemah mengartikan al-Haqq pada ayat tersebut sebagai kebenaran atau yang benar, sehingga terjemahannya, “Kami akan memperlihatkan  kepada mereka (para pendurhaka) tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Kami di seluruh ufuk (dan juga) pada diri mereka, sehingga jelaslah pada meraka bahwa Al-Qur’an dalah haq (benar mengandung kebenaran)”.

Di tangan sufi ayat tersebut diterjemahkan menjadi “Kami akan memperlihatkan kepada mereka (yakni kepada para pendurhaka, orang yang patuh dan taat, orang awam, maupun pandai dsb) tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah yang ada di luar diri mereka dan dalam diri mereka (jadi harusnya semua orang bahkan orang awam pun bisa melihat Allah di dalam diri mereka) sampai tampak jelas bahwa sesungguhnya Dia (Allah) adalah al-Haqq”.

Dalam kamus Al-Qur’an dan kamus unduk lainnya, term al-haqq memiliki dua makna; Pertama, al-haqq bermakna kebenaran. Kedua, al-haqq diartikan sebagai yang ada dengan sendirinya dan mengadakkan yang lainnya (al-tsabit bi nafsihi wa al-mutsbit li ghairih) artinya yang tetap ada pada diri-Nya sendiri dan menjadikan yang lainnya menjadi tetap ada, maka Dia sebetulnya ada dan keberadaan-Nya ada pada diri-Nya sendiri, lalu Dia mengadakan yang lain.    

Baca Juga:  Makrifat Mengenal Diri

Melalui nama-Nya yaitu al-Haqq para sufi lebih senang menggunakan kata al-Haqq daripada nama-nama lain dalam memperkenalkan atau menyebut Allah swt. Dari ayat di atas Allah menjanjikan bahwa Dia tampak di luar diri manusia juga tampak di dalam diri manusia.

Pertanyaan yang muncul ialah bagaimana agar kita bisa melihat Allah, melihat tanda-tanda kebesaran-Nya, bahkan bagaimana melihat Allah sebagaimana yang ada pada diri-Nya dan bisa mengadakan selain-Nya? Jawabnya ialah kita bisa melihat-Nya pada diri kita sendiri. Mungkin perlu dilakukan penafsiran yang lebih lanjut sehingga kita bisa meresapi ayat tersebut secara lebih lengkap. Di akhir ayat tersebut disebutkan

اَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ اَنَّهٗ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيْدٌ

‘Dan apakah belum cukup bahwa Tuhan Pemeliharamu Maha Menyaksikan segala sesuatu?”

Ungkapan tersebut untuk menegaskan bahwa sesungguhnya apa yang diperlihatkan tanda-tanda kebesaran Allah swt. kepada kita semua—baik di dalam diri kita atau pun di luar diri kita—untuk menyatakan agar kita dapat melihat secara langsung bahwa Dia adalah al-Haqq yakni wujud keberadaan yang ada pada diri-Nya dengan sendiri-Nya dan mengadakan selain-Nya.

(Keterangan: Tulisan ini hasil transkip dari video berjudul Pengantar Tafsir Sufi 03 oleh Ammar Fauzi, Ph.D di kanal Youtube Nuralwala dan telah disesuaikan oleh tim Nuralwala)

 

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Menguak Alam Imajinal

Haidar Bagir Dewan Pembina Nuralwala Dalam khazanah spiritualitas Islam (sufisme, ‘irfan, isyraqiyah, atau hikmah), biasanya diterima adanya tiga…