Laku Ihsan Mengundang Cinta Tuhan

Oleh: Darmawan

Ketua Program Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Syahdan, ada seorang sahabat bertanya kepada Nabi, apa itu kebajikan? Nabi menjawab, “Kebajikan itu ialah sesuatu yang membuat hatimu menyenangkan dan penuh keindahan. Sebaliknya, keburukan ialah  sesuatu yang membuat hatimu tidak tenang”.

Dalam bahasa Al-Qur’an, “Kebajikan bukanlah sekedar menghadapkan wajah ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan ialah orang yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, Nabi-Nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta dan untuk memerdekakan kepada hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang yang menempati janji apabila ia berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan bertakwa. (QS. Al-Baqarah [2]: 177)

Ayat di atas menunjukan bahwa yang dimaksud dengan kebajikan ialah bukan hanya perihal yang bersifat ubudiyyah—kesalihan spiritual: kebajikan bersifat akidah dan syariah—semata seperti beriman kepada Allah, salat dan ritus ibadah lainnya. Melainkan kebajikan itu juga mencakup perbuatan-perbuatan amal saleh berupa akhlak yang baik kepada sesama makhluk Allah seperti; membantu, menolong makhluk Tuhan yang memerlukan bantuan, bertutur kata yang baik, bersikap bijak, adil, jujur, amanah, menempati janji, tidak mengeruk dan memeras keringat bumi secara tidak wajar seperti buang sampah sebarangan, menebang pohon tanpa aturan, melakukan kerusakan di laut dan merusak udara dan sebagainya. Dan kebajikan seperti itu disebut dengan kesalihan sosial (akhlak/ihsan).  

Berpijak pada penjelasan di atas, maka menjadi jelas setidaknya kebajikan itu terdiri dari tiga macam: Pertama, kebajikan bersifat akidah yang berkaitan dengan keberimanan seseorang (rukun iman). Kedua, kebajikan bersifat syariah (rukun Islam). Ketiga, kebajikan akhlak (rukun ihsan).

Baca Juga:  Al-Qur’an sebagai Laku Spiritual (Bagian 1)

Syaikh Abdullah al-Anshari dalam kitab Manazil al-Sa’iriin menyatakan bahwa ihsan (kebajikan) itu adalah nama yang menghimpun seluruh bab-bab dari segala hakikat. Ia membagi tiga tingkatan Ihsan.

Pertama, kebajikan dalam tujuan (al-ihsan fi al-qashdi) yaitu dengan menjadikan tujuannya berdasarkan keilmuan, menetapkan tujuan berdasarkan tekad dan mengusahakan tujuan dalam keadaan yang benar. Maknanya bisa kita tangkap, bahwa dalam melakukan kebajikan itu perlu ilmu dan jika ilmu sebagai titik pijaknya, maka aktifitas kebajikan seorang insan tidak memiliki efek pada kerusakan alam sekitar dan tidak mencederai rasa kemanusiaan.

Kedua, kebajikan dalam segala ahwal (al-ihsan fi al-ahwal) yaitu menjaganya dengan penuh semangat, menutup keadaannya supaya tidak diketahui oleh orang lain dan berupaya memurnikan keadaannya. Kebajikan jenis ini akan menghantarkan manusia pada kesempurnaan amal dan kemurnian ikhlas, bukan berbuat baik karena caper (cari perhatian) atau berbuat baik demi pencitraan diri seperti kebanyakan para politisi saat kampanye berlangsung. 

Ketiga, kebajikan dalam waktu (al-ihsan fi al-waqt) yaitu menjaganya supaya tidak terpisah dari penyaksian (musyahadah) selamanya, tidak menggantungkan himmah kepada orang lain dan senantiasa berhijrah kepada Allah. Inilah yang disebutkan dalam sebuah hadis ihsan; “Engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak—mampu—melihat-Nya, maka Dia melihatmu”. Aplikasi praktisnya, kita menyadari bahwa ibadah spiritual dan sosial dalam kesendirian itu berat karena nafsu, maka hadis di atas menyakinkan kita bahwa Allah melihat kita, Allah bersama kita di mana pun engkau berada. Karena itu, pupuklah sikap tuk berbuat baik dalam kondisi apapun dan berusahalah untuk melaksanakan perintah-Nya.

Ihsan itu adalah salah satu dari sifat Allah yaitu al-Muhsin (Sang Maha Bijaksana/Kebajikan), maka hanya hamba yang memiliki kesamaan sifat dengan Allah—yaitu ia yang selalu berbuat kebajikan (muhsin)—yang akan meraih cinta-Nya. Inilah perintah takhallaqu bi akhlakillah (berakhlak-lah dengan akhlak Allah), yakni menjadikan diri kita di alam realitas sebagai jelmaan dari Dzat Yang Maha Bijaksana (Al-Muhsin). Jika demikian niscaya kita akan mendapatkan seabrek curahan cinta-Nya. Sebagaimana janjinya-Nya. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan (muhsiniin)” (QS. Al-Baqarah [2]: 195)

Baca Juga:  Tasawuf Akhlaki Imam Al-Ghazali

Al-Qur’an lagi-lagi mengingatkan tidak cukup kita itu berbuat baik, tetapi yang diinginkan Al-Qur’an ialah hendaknya dalam setiap langkah dan perbuatan yang kita lakukan itu adalah yang terbaik (ahsanu ‘amalan). Inilah makna yang tersirat dalam surat al-Mulk ayat kedua. Semoga Allah memudahkan kita untuk berlaku ihsan dan menutup rapat-rapat laku keburukan.

0 Shares:
You May Also Like