Idealitas dan Realitas Aktualitas Pancasila: Sebuah Perbincangan Bersama Yudi Latif
Oleh: Cusdiawan
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran
Judul Buku : Wawasan Pancasila Bintang Penuntun untuk Pembudayaan (Edisi Komprehensif).
Penulis : Yudi Latif
Penerbit : Mizan
Tahun Terbit : Juli 2020
Jumlah Hlm : 444
Buku Wawasan Pancasila Bintang Penuntun untuk Pembudayaan ditulis oleh seorang cendikiawan yang sangat berintegritas, yakni Yudi Latif. Ya tentu ini merupakan buku yang sangat baik untuk dibaca oleh semua anak bangsa. Buku tersebut dapat menghadirkan sebuah kontemplasi yang tajam bahwa mendekati satu abad Pancasila ditahbiskan sebagai dasar dan ideologi negara, serta kepribadian bangsa Indonesia, apakah Pancasila masih relevan dengan perkembangsan zaman?
Dalam buku tersebut, nampak jelas bagaimana keresahan Yudi Latif sebagai seorang pemikir yang juga seorang anak bangsa terhadap perkembangan bangsa yang amat dicintainya. Yudi Latif berpandangan, bahwa di satu sisi, yakni sebagai sebuah kerangka konsepsi, Pancasila merupakan ideologi yang tahan banting yang kian relevan dengan perkembangan global. Namun di sisi lain, terdapat jurang yang begitu lebar antara idealitas Pancasila dan realitas aktualisasinya.
Adanya kesenjangan antara das sollen dan das sein tersebut, saya rasa bukan hanya menjadi keresahan seorang Yudi Latif, tapi menjadi keresahan kita bersama sebagai anak bangsa yang mengimpikan Indonesia sejahtera, mempunyai sosial capital yang kuat, trust antara segala elemen bangsa, serta menjadikan Indonesia sebagai rumah yang inklusif.
Yudi Latif sendiri berpandangan bahwa untuk mempertahankan Pancasila sebagai titik temu, titik tumpu, dan titik tuju bersama diperlukan usaha pembudayaan (penanaman) secara terus menerus, terencana dan terpadu. Yudi Latif menuturkan, bahwa ibarat budidaya tanaman, laju pertumbuhan Pancasila tidak dengan sendirinya akan berjalan baik-baik saja, tanpa kesengajaan merawatnya dengan penuh pemahaman, kecermatan, dan ketekunan.
Bagi Yudi Latif, pembudayaan Pancasila memerlukan penguatan modal mental-karakter (kultural) yang meliputi dimensi mentalitas, sosialitas, moralitas dan spiritualitas. Selain itu, sudah barang tentu memerlukan juga modal institusional-struktural, karena untuk mengaktualisasikan imperatif-imperatif kultural itu ke dalam praksis kehidupan kebangsaan-kenegaraan diperlukan modal institusional-struktural yang terkonseptualisasikan dalam kerangka yuridis, ideologis dan paradigmatis.
Apa yang dikemukanan oleh Yudi Latif tersebut, sudah barang tentu berkaitan karena pemahaman Yudi Latif bahwa realitas kehidupan bangsa bukan hanya tercermin dari kondisi-kondisi material, melainkan juga kondisi-kondisi mental-karakter (kultural). Sehingga tidak mengherankan, pembudayaan Pancasila yang diajukan oleh Yudi Latif agar Pancasila mampu menjawab tantangan zaman dan berbagai persoalan kebangsaan pun bersifat multidimensional, dan tidak hanya bertumpu pada institusi-struktural semata, tetapi mental-karakter (kultural) juga.
Bagi Yudi Latif, para pendiri bangsa telah mewariskan suatu kemampuan untuk memadukan antara visi global dan kearifan lokal, antara kepentingan nasional dan kemanusiaan universal. Tugas kita selanjutnya adalah memperjuangkan visi dengan suatu optimisme realistis, bukan optimisme buta. Yudi Latif menerangkan bahwa harapan tidaklah datang dengan sendirinya tanpa dijemput, tanpa diusahakan dengan perjuangan dan pengorbanan.
Kita tahu, Indonesia begitu luas, begitu majemuk. Oleh sebab itu, untuk mengelola negara seluas ini dengan tingkat keragaman yang begitu luar biasa, tentu tidak cukup mengandalkan sumber daya alam, sumber daya finansial, dan sumber daya keterampilan, melainkan harus dibarengi dengan bahkan mungkin didahului dengan modal sosial.
Yudi Latif menulis “bila tenunan sosial robek, konflik sosial sulit direkonsiliasikan, maka modal sumber daya alam, finansial, dan keterampilan itu tidak banyak menolong. Modal sosial bisa diperkuat dengan memperluas ruang-ruang perjumpaan, merentangkan jaring-jaring konektivitas, serta memperkuat semangat inklusivitas yang bisa menumbuhkan rasa saling percaya” (hlm.11).
Sudah barang tentu, untuk mengembangkan jaring-jaring konektivitas tersebut, tidak hanya membutuhkan infrastruktur keras (hard infrastructures), tetapi infrastruktur lunak (soft infrastructures) juga.
Dalam buku tersebut, dengan mengambil pelajaran dari sejarah, yakni peristiwa Sumpah Pemuda, Yudi Latif dapat menghadirkan perenungan yang tajam untuk kita, terlebih lagi para generasi muda. Mengapa para pemuda di zaman pergerakan, yang meskipun dengan konektivitas fisik yang sangat terbatas, namun dapat mewariskan modal sosial yang kuat bagi perkembangan bangsa ini? Para generasi sumpah pemuda ini menunjukkan adanya konektivitas hati dan pikiran yang kuat.
Sementara di generasi kita dengan kemudahan konektivitas fisik yang jauh lebih baik, seperti transportasi dan sebagainya. Ditambah dengan kehadiran ‘media sosial’, malah kerapkali yang terjadi menjadi media ‘a-sosial’ (saling mencaci dan sebagainya yang menimbulkan diskoneksi).
Oleh sebab itu, Yudi Latif menegaskan pentingnya konektivitas bisa diperkuat dan keragaman jaringan sosial itu perlu disatukan, dan semen perekat yang bisa menyatukan keragaman ke dalam suatu ikatan sosiabilitas itu disebut dengan moral. Singkat kata, persatuan nasional memerlukan kesepakatan mengenai nilai inti sebagai basis moral publik.
Yudi Latif menuturkan bahwa dalam Pancasila, nilai-nilai inti yang membentuk moral publik itu disuling dari nilai-nilai universal (etika spiritual) agama-agama, untuk kemudian dikombinasikan dengan gagasan (nilai-nilai) dari luar agama namun tidak bertentangan, malahan sejalan dengan nilai etis agama-agama. Dengan demikian, Pancasila memiliki kapasitas untuk memenuhi sebagai “agama sipil” (civil religion).
Saya rasa buku Wawasan Pancasila Bintang Penuntun untuk Pembudayaan Edisi Komprehensif ini sangat penting dibaca bagi siapa saja yang serius memikirkan persoalan-persoalan kebangsaan. Yudi Latif mampu menghadirkan gambaran yang komprehensif mengenai Pancasila, baik dari sisi historis, filosofis, berbagai macam tantangannya dan sebagainya, serta yang tidak kalah penting, yakni memberikan juga gambaran mengenai langkah-langkah strategis yang bisa diupayakan agar Pancasila, sebagaimana ungkapan Bung Karno, mampu menjadi “leitsar [Sic] (bintang penuntun) yang dinamis”, yang dapat mengarahkan pergerakan bangsa ke depan, serta responsif terhadap tantangan zaman.