Kereta Socrates: Melancong ke Dalam, Mencari Diri
Judul Buku : The Socrates Express: Menjaga Kewarasan di Tengah Ketidakpastian
Penulis : Eric Weiner
Penerbit : Qanita
Terbit : Desember 2020
Tebal : 520 Halaman
ISBN : 978-602-402-191-7
The Socrates Express adalah sebuah buku tentang perjalanan. Perjalanan menempuh sudut-sudut bumi. Tapi bukan cuma untuk belajar tentang tempat-tempat indah dalam cakrawala keindahan buah ciptaan Tuhan, apalagi cuma bersenang-senang kelayapan, melainkan perjalanan ke dalam. Mencari diri. Dalam buku ini, Eric Weiner—sang penulis—sebetulnya sedang mengekspresikan perjalanan intelektual yang berliku. Mengikuti jejak para pemikir besar dalam sejarah, ia menunjukkan kepada kita bagaimana para filsuf—dari Epicurus hingga Gandhi, Thoreau hingga Beauvoir—menawarkan kearifan serta kebijaksanaan praktis dan spiritual untuk masa-masa ambyar seperti sekarang.
Ya. Sesungguhnya, kita kembali berfilsafat dengan alasan yang sama ketika kita berkelana: melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, menggali keindahan yang terkubur, dan menemukan cara baru menjelaskan keberadaan kita. Kita ingin mempelajari cara merenung. Menghadapi penyesalan. Meneguhkan harapan.
Di dalam The Socrates Express ini, Weiner mengajak kita berkelana bersamanya, pada perburuan kebijaksanaan yang mengubah hidup dan menemukan jawaban atas perenungan-perenungan paling penting.
Dalam tulisan pendek ini, saya hanya ingin melengkapi renungan menawan sang penulis dengan sudut pandang tasawuf tentang perjalanan.
Dalam tasawuf, pergerakan atau perkembangan spiritual manusia disebut juga dengan istilah-istilah yang menggambarkan perjalanan (sayr wa suluk, bepergian dan menempuh perjalanan) atau bahkan perlancongan (travelling/journeying, safar). Ibn al-‘Arabi dan Mulla Sadra, misalnya, dikenal menulis tentang al-asfar al-arba’ah (four travelling/journeying). Yakni, perjalanan dari dunia ciptaan ke Tuhan (as-safar minal khalq ilal Haqq), perjalanan dalam Tuhan (as-safar fil Haqq), perjalanan dari Tuhan (kembali) ke dunia ciptaan (kali ini sudah) bersama Tuhan (as-safar minal Haqq ilal khalq bil Haqq), dan perjalanan di dunia ciptaan (yang kali ini sudah) bersama Tuhan (as-safar fil khalq ma’al Haqq). Bahkan, metafor perjalanan itu tidak berhenti sampai di situ. Di sepanjang perjalanan itu disebutkan terdapat banyak stasiun (tempat perhentian, atau maqamat). Termasuk dalam rangkaian stasiun itu siuman (dari ketidaksadaran rohani), taubat, hidup asketik (prihatin atau zuhud, cinta, dll). Tapi, juga, perjalanan spiritual ini bukanlah perjalanan yang hanya/sepenuhnya bersifat internal kerohaniahan). Bagaimana tidak? Difirmankan dalam Al-Qur’an bahwa perjalanan di muka bumi sesungguhnya adalah suatu cara sampai pada pemahamaman tentang Tuhan:
“…Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi sehingga mereka melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka dan bahwa sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka, tidakkah kamu memikirkannya?” (QS.Yusuf [12]: 109)
Lalu, dalam ayatnya yang lain Allah firmankan:
“Kami akan memperlihatkan kepeda mereka (para pendurhaka) tanda-tanda (kekuasaan dan kebesaran) Kami di seluruh ufuk (alam semesta) dan juga dalam diri/jiwamu agar jelas bahwa Dia (atau firman-Nya) adalah Sang Kebenaran” (QS. Fushshilat [41]: 53).
Jadi, benarlah kata Henry Miller, sebagaimana disitir Eric Weiner, bahwa sesungguhnya perjalanan menjelajah berbagai tempat di bumi sesungguhnya adalah persoalan mendapatkan cara-cara (baru) dalam melihat segala sesuatu (dalam kehidupan).
Pengamatan alam semesta, dalam tasawuf, adalah seperti proses mengetahui hal-hal yang abstrak (melakukan abstraksi)—termasuk hal-hal rohani—yang oleh Plato disebut sebagai “recollection“. Mengingat kembali apa yang sejak azali sudah ada dalam jiwa manusia. Bahkan, dalam epistemologi tasawuf, seluruh proses meraih pengetahuan empiris/natural sesungguhnya hanya meng-evoke (memicu) terciptanya pengetahuan mental-internal (dalam jiwa). Dalam tasawuf perjalanan di dalam jiwa itu disebut travel juga, safar. Bahkan, perjalanan di luar itu memang dengan eksplisit disebut sebagai pendahulu perjalanan di dalam. Dari mempersepsi wujud thabi’iy (keberadaan empiris) ke wujud dzihniy (keberadaan mental). Dalam ilmu tasawuf, pembahasan ini masuk ke dalam topik ilmu hudhuri (ilmu dengan kehadiran/knowledge by presence, atau presential knowledge).
Siapa mengenal ciptaan Tuhan, dia mengenal dirinya. Siapa mengenal dirinya, dia mengenal Tuhan.