Mengenal Al-Faruqi (2): Jiwa Juang Isma’il Raji’ Al-Faruqi

Semenjak Al-Faruqi hijrah ke Amerika pada tahun 1948 dan kemudian lulus studi magister dan doktoralnya, dirinya dikenal para sarjana Barat sebagai warga Arab yang menguasai warisan modernisme Islam dan empirisme Barat. Tidak hanya menguasai, melainkan mendapatkan gelar ahli yang diakui para akademisi Barat. Keberhasilannya ini merupakan buah daripada perjuangannya dalam menjunjung Islam di manapun berada, khususnya di USA.

Perjuangan Al-Faruqi tidak cukup hanya itu, melainkan lebih luas dan luar biasa. Bagaimana tidak, Al-Faruqi menetap di Barat dalam waktu yang cukup lama, akan tetapi pendiriannya terhadap keyakinannya tidak semakin surut melainkan semakin berkobar. Jiwa juang Al-Faruqi dalam mengenalkan Islam di Barat dengan konsep trasendentalnya yang khas, dengan harapan supaya para akademisi Barat menyoroti Islam dengan bijak; dengan pengetahuan yang benar dan dengan pemahaman yang sesuai bukan dugaan negatif atau dorongan lain.

Al-Faruqi bekerja dengan baik, menimbang segala pilihannya dengan takaran-takaran yang arif, sangat pantas apabila dirinya dikenal khalayak ramai, sebab, kobaran jiwa juangnya dalam mengibarkan Islam tidak layak dipandang remeh. Hidup di antara orang-orang yang minim pengetahuan akan Islam dengan disertai isu-isu negatif tentang Islam dan pemeluknya, Al-Faruqi hadir menjawab berbagai kegagalpahaman orang Barat dalam memproduksi pengetahuan tentang Islam. Dampaknya pun sangat baik, Islam lebih dapat dipahami secara bijak dan bahkan dihormati. Meskipun, secara tidak langsung hal tersebut dikecam oleh para akademisi yang fanatis untuk mengolok-ngolok Islam dan menyebarkan isu negatif tentang Islam, bahkan menghancurkannya.

Selain itu, perjuangan Al-Faruqi juga terlihat pada akhir abad 19-an, ia mulai berinovasi dalam tabligh ilmiahnya. Al-Faruqi mulai menyampaikan kajian-kajian yang membawa pesan bahwa agama Islam adalah agama logis kritis yang menganjurkan manusia untuk memfungsikan akalnya, agama Islam adalah agama menganjurkan umatnya untuk memencari ilmu dengan sungguh-sungguh, dan juga menganjurkan umatnya untuk berupaya demi kemajuan dalam tubuh Islam yang tidak hanya berhenti pada pengetahuan, melainkan termanifestasikan dalam aksi nyata dalam tindakan dan etika kerja yang seharusnya.

Baca Juga:  Inilah Cita-Cita Peradaban Islam!

Hal di atas membuktikan bahwa Al-Faruqi mulai merubah arah fokus kajian dan tindak yang dilakukan. Ini menunjukkan bahwa Al-Faruqi bukanlah orang yang mudah puas dalam menerima suatu hasil, melainkan terus mencari solusi teradil dan tercocok untuk menjawab tantangan zaman, khususnya dalam memberikan tawaran pemikiran kepada umat Muslim. Hal ini dilakukan Al-Faruqi dilandaskan pada kegelisahannya terhadap kondisi umat Muslim yang cenderung tidak memprioritaskan Islam, melainkan lebih kepada Arabismenya, sehingga Al-Faruqi memberikan perhatian penuh atas fenomena ini.

Sebagai aktivis sekaligus akademisi Islam, Al-Faruqi memberikan beberapa tawaran solutif berupa kerangka konsep fokus acuan tentang pergantian fokus kajian Arabisme ke arah Islam. Tawaran ini menjadi titik awal dirinya menawarkan ide-idenya untuk Islam dalam produksi pengetahuan pada masanya. Arab tidak lagi dijadikan sebagai acuan daripada ideologi Muslim, melainkan diubahnya menjadi Islam. Sebab, bagi Al-Faruqi, Islam merupakan ideologi yang meliputi berbagai aspek, baik segi identitas khalayak orang beriman maupun pedoman masyarakat untuk berbudaya dan hidup. Untuk itulah, Al-Faruqi mulai mengubah orientasinya pada acuan Islam bukan Arabisme.

Pergeseran orientasi dari Arabisme ke wilayah dunia Islam merupakan hasil daripada pembacaan luasnya terhadap kondisi keislaman saat itu. Arabisme yang awalnya menjadi konsep pemikirannya hingga menjadi dominasi setiap wacananya berubah ke arah yang lebih komprehensif yakni ihwal Islam. Konsep Al-Faruqi yang pada mulanya mengidentikan Islam dengan Arab lambat laun disadarinya tidak sesuai dengan prinsip Universalitas Islam itu sendiri. Kesadarannya timbul akibat daripada pengembaraannya di dunia Islam dan penyaksian-penyaksiannya terhadap muamalat umat Muslim di berbagai wilayah. Imbas dari pada perubahan orientasi tersebut, Al-Faruqi melihat bahwa Arabisme menjadi konsep nasionalisme sendiri yang kemudian seakan menjadi ‘sembahan’ para pemeluknya (seperti orientasi awal Al-Faruqi).

Baca Juga:  Dosa & Ibadah dalam Bait Puisi Jalal al-Din Rumi

Pembacaan di atas memfokuskan pada aspek jiwa juang seorang cendekiawan Islam Isma’il Raji’ Al-Faruqi. Oleh sebabnya, tulisan ini mengajak siapapun untuk menakar dominasi wacana kita selama ini ‘sebetulnya’ berorientasi kemana dan mengapa demikian. Tentu, akan lebih bijak jika seandainya dapat melahirkan Al-Faruqi baru yang memperjuangkan Islam di tengah kegentingan yang terjadi, pun dit engah tantangan zaman yang semakin brutal menelan siapa saja.

Previous Article

Tilik Buku: Berislam Seperti Kanak-Kanak

Next Article

Kereta Socrates: Melancong ke Dalam, Mencari Diri

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨