Konvergensi Feminisme dan Islam: Pengalaman di Indonesia
Identitas Buku
Judul Buku : Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia
Penulis : Etin Anwar
Penerbit : Mizan
ISBN : 978-602-441-227-2
Tahun Terbit : Juni 2021
Jml Hlm : xi + 319
Buku Feminisme Islam: Genealogi, Tantangan, dan Prospek di Indonesia adalah buku yang menarik untuk dikaji. Buku yang ditulis oleh Etin Anwar, pakar kajian sosial Islam dari Hobart and William Smith Colleges ini berupaya untuk menemukan kembali kesetaraan dan keadilan gender dalam spiritual Islam serta berusaha untuk melacak pertautan antara feminisme dan Islam dalam lanskap sejarah Indonesia baik dalam konteks kolonialisme maupun postkolonialisme.
Usaha dari ilmuwan seperti Etin Anwar ini tentu perlu kita apresiasi. Pertama, karena kajian yang berusaha dirumuskannya mengandung kompleksitas yang rumit. Diskursus feminisme Islam mengundang tantangan dan perdebatan yang tajam, baik di intra umat Islam maupun dalam feminisme itu sendiri. Bagi sebagian kalangan umat Islam, feminisme adalah kosa kata Barat yang dianggap bertentangan dengan Islam, dan untuk sebagian kalangan feminisme, Islam dianggap tidak compatible dengan feminisme dan hal ini menjadi salah satu tantangan utama dalam diskursus feminisme Islam.
Kedua, diskursus feminisme Islam juga mengupas wacana dan pengalaman perempuan Dunia Ketiga dalam hal ini adalah Indonesia, yang bukan hanya dihadapkan pada beban ganda dalam sistem hierarkis relasi gender, tetapi juga pengalaman dikolonialisasi, dan bahkan dalam tataran wacana feminisme sendiri, kompleksitas dan pengalaman perempuan Dunia Ketiga ini kerap diabaikan akibat adanya pandangan Barat sentris yang banyak digelorakan oleh feminisme mainstream sebagaimana yang disorot oleh kajian feminisme pascakolonial, salah satunya oleh Chandra T. Mohanty dalam Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial (1984).
Ketiga, bisa kita pastikan bahwa semangat kajian yang dirumuskan oleh Etin bukan hanya untuk pengembangan akademis, tetapi juga berupaya untuk membongkar ketidakadilan sosial, ekonomi, dan juga politik yang salah satunya bersumber pada ketidakadilan gender, sehingga studinya juga bersifat praksis. Semangat ilmuwan seperti Etin ini adalah upaya perbaikan masyarakat dan kualitas demokrasi karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Larry Diamond dan Leonardo Molino dalam Assesing the Quality of Democracy (2005), bahwa salah satu syarat terwujudnya dimensi substantif demokrasi adalah tereduksinya ketimpangan sosial, ekonomi dan juga politik.
Menangkap Semangat Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam Diskursus Feminisme Islam
Dalam studinya tersebut, Etin menggunakan genealogi sebagai metodenya. Dalam genealogi yang diseldiki adalah pertautan antara kekuasaan dan pengetahuan, karena selama ini pengetahuan dalam kajian keisalaman sendiri mengandung ketidakadilan gender sebagai akibat pengetahuan yang dikonstruksikan oleh para ulama yang mayoritas adalah laki-laki (hlm 23-27). Dengan demikian, pengetahuan yang selama ini diklaim sebagai kebenaran tersebut tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa laki-laki selaku pemegang otoritatif tafsir agama.
Dengan cara kerja tersebut, Etin berusaha untuk membantah pandangan bahwa Islam tidak compatible dengan feminisme. Untuk menemukan semangat etis kesetaraan dan keadilan gender dalam Islam, Etin menggali dari sumber-sumber autentik Islam, seperti Al-Qur’an dan Sunnah, serta menempatkan ijtihad sebagai kerangka penting untuk merumuskan posisinya tersebut. Untuk menangkap semangat tersebut, ia melihat doktrin penciptaan yang menyebut manusia berasal dari satu jiwa (nafs wahidah), juga tradisi sufistik sebagaimana tafsiran Nasr terhadap QS. 17:85 yang berimplikasi pada pandangan bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama berpotensi untuk mencapai alam kebatinan dan spiritual (hlm.21).
Akan tetapi, untuk meneguhkan posisinya tersebut, Etin bergerak lebih jauh lagi. Baginya, untuk menemukan kembali argumen spiritual dan etis diperlukan konveregensi antara Islam dan feminisme. Baik feminisme sekuler maupun Islam bercita-cita mengubah praktik-praktik maskulin yang sudah mengendap dan berakar dalam politik (hlm.22).
Merekonstruksi Perjumpaan Islam dan Feminisme dalam Sejarah Indonesia
Dalam konteks perjumpaan Islam dengan feminisme dalam lanskap sejarah gerakan Indonesia, Etin membaginya ke dalam 5 periodesasi. Pertama, yakni emansipasi yang dimulai dari usaha R.A. Kartini (1879-1905), Dewi Sartika (1884-1947) dan lainnya, yang salah satunya dicirikan dengan semangat untuk mempromosikan pendidikan perempuan (hlm. 27-28).
Kedua, fase asosiasi. Pada periode ini ditandai dengan munculnya berbagai gerakan perempuan di berbagai wilayah. Etin mendiskusikan tentang wacana gerakan perempuan Muslim dan hubungannya dengan pembaruan Islam, persetujuan atau pertentangan mereka dengan RUU Perkawinan, serta kontribusi mereka bagi perluasan publik. Etin menelusuri fase ini dengan melacak sejarah beridirnya Aisyiyah Muhammadiyah (1917), Persisti- Persis (1936) dan Muslimat NU (1946) (hlm.28).
Ketiga, fase pembangunan yang ditandai dengan respon para aktivis gender dan feminis sekluler terhadap wacana kesetaraan gender yang disponsori oleh negara pada 1980-an dan awal 1990-an. Walau ada perbedaan antara yang diwacanakan oleh negara dengan para aktivis tersebut, tapi ada kesamaan nilai, yakni: (1). Promosi mereka akan kesetaraan gender berusaha untuk menangani masalah lokal; (2). Mereka berjuang melawan otoritas negara dan kebijakan pembangunan yang bersifat patriarkis; (3). Aspirasi mereka untuk kesetaraan gender berangkat dari konteks sekuler (hlm.181).
Keempat, adalah fase integrasi. Pada periode ini tuntutan feminisme dan Islam mengenai keadilan gender menciptakan ranah bersama mengenai kesetaraan. Pada fase ini berkaitan juga dengan respon Muslim terhadap asas tunggal Pancasila, serta bermunculan wacana mengenai peran Islam sebagai kerangka kerja etis yang digunakan dalam konteks yang disebut sebagai Islam Pancasila. Bersamaan dengan itu, muncul pula perdebatan ilmiah mengenai Islam sebagai etika publik, inklusi Islam oleh feminisme sekuler, dan inklusi feminisme ke lingkungan pesantren menciptakan ranah bersama bagi kesetaraan Islam dan feminisme. Semua gejala tersebut secara terpadu menciptakan proses integratif feminisme ke dalam Islam (hlm.31).
Kelima, disebut sebagai fase penyebaran. Pada fase ini Islam dan feminisme mengalami pola relasi yang bersifat konvergen antara feminisme dan Islam. Pada konteks ini, para perempuan merujuk pada Al-Qur’an dan Hadis serta mengontekstualisasikan keduanya dalam upaya mencari kemanusiaan yang inklusif atas dasar ajaran Islam yang sama, yakni tauhid (hlm.33-34).
Sebagai catatan penting, term feminisme Islam sendiri merujuk pada dua hal. Pertama, karya dan aktivisme feminisme dalam jaringan kerja budaya Islam. Kedua, merujuk pada gerakan sosial yang menyoroti dan menangani kesenjangan gender di ranah private dan publik. Para feminis Islam memilih Islam sebagai kerangka rujukan dalam produksi epistemik mereka (hlm.34).
Sebagai penutup, studi Etin yang terbit pertama kali dengan judul A Genealogy of Islamic Feminism: Pattern and Change in Indonesia (2018) ini berkontribusi untuk menguatkan betapa pengalaman dan keberbutuhan perempuan, termasuk menyoal nilai dan kerangka kerja etis untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan sangatlah kompleks dan beragam yang sangat dipengaruhi konteks politik lokasi atau juga posisionalitas dan hal tersebut dapat membuka cakrawala pengetahuan di tengah adanya kecenderungan pengabaian terhadap keberbutuhan dan agensi perempuan Dunia Ketiga dalam khazanah feminisme Barat. Dalam konteks Indonesia, kerangka kerja untuk mewujudkan kesetaraan dipengaruhi oleh semangat spiritual maupun sekuler dan atau konvergensi di antara keduanya.