Judul : Menjadi Manusia Menjadi Hamba
Penulis : Fahruddin Faiz
Penerbit: Noura Books
Tebal : 309 halaman
ISBN : 978-623-242-154-7
Semarak zaman modern yang memanjakan manusia justru membuat manusia kehilangan fitrahnya. Semuanya serba ada dan bebas. Manusia melakukan apapun serba bebas, tentunya dengan resiko yang ditanggung. Setiap orang bisa bebas memanjakan diri tanpa ada rasa malu dengan sekitar. Namun, pada titik tertentu, manusia modern akan merasakan masalah batin (keserakahan, kerakusan, dll) di tengah-tengah hiruk pikuk kehidupan dunia. Permasalahan tersebut hanya dapat diobati dengan belajar dan mengamalkan agama dengan cara yang benar, serta kembali ke fitrah manusia.
Buku Menjadi Manusia Menjadi Hamba yang ditulis oleh Fahruddin Faiz merupakan buku yang sangat bagus dan tepat untuk dibaca, terutama bagi peminat agama maupun filsafat. Buku tersebut, menyajikan bagaimana cara menjadi manusia yang manusiawi dan cara menjadi hamba yang baik.
Buku ini terdiri dari tiga bagian utama, yaitu: manusia, waktu, dan penghambaan. Di dalam setiap bagiannya, Fahruddin Faiz menyajikan suatu pelajaran yang sangat indah untuk direnungi sebagia manusia dan sebagai hamba. Di bagian pertama, ia menyajikan kisah Rumi dan guru spiritualnya (Syams al-Tabriz), kisahnya mengajarkan kita agar tidak mebanggakan diri, baik berupa status, nama besar, maupun kewalian. Karena kebanggaan kita terhadap status akan membuat diri kita menyesal dikemudian hari. Perbuatan yang kita kumpulkan seluas samudra akan tertupi oleh kotornya satu tetes air yang kita perbuat, itulah pandangan masyarakat terhadap kita. Hal itu, bisa membuat kecewa jika kita mengandalkan kebaikan kita. “Tidak ada atribut, tidak ada nama, tidak ada kebesaran, tidak ada kebanggaan, begitulah manusia memandang orang lain. Maka, jangan menyombongkan nama besar, jangan menyombongkan nama baik” (hlm. 219).
Bagian kedua menyajikan tentang Ateisme Praktis. Ia membagi ateis menjadi dua, yaitu ateisme teoritis dan ateisme pratis. Ateisme praktis yaitu meniadakan atau menyisihkan Tuhan di dalam pratik kesehariannya. Hal itu juga bisa terjadi pada orang yang mengaku beragama walaupun ia tidak mengaku sebagai orang ateis. “Ketika sakit, Anda baru mengingat Tuhan. Ketika menjelang ujian, baru Anda berdoa. Tuhan sering hilang dalam hidup kita. Tuhan sering tersisihkan. Itulah ateisme praktis. Yang kita dewa-dewakan adalah ambisi kita, ego kita, keinginan kita. Dengan begitu Tuhan hilang, tersisihkan dari hidup Anda” (hlm. 260).
Ketiga tentang Diogenes Si Anjing. Anjing adalah gelar atau panggilan dari Diogenes. Bagi Diogenes, Anjing memiliki filosofi tersendiri “…Watawa shaubil-haq dengan cara menggonggong, kalau ada orang yang tidak memberi apa-apa, tidak memberi manfaat. Dan yang terakhir, menggigit kalau ada yang jahat. Jadi, menyenangkan bisa, mengagetkan bisa, menyakiti juga bisa” (hlm. 306).
Pembahasan dalam buku ini secara tidak langsung memiliki kaitan dengan teori jalan tengah (nadzar aus’at) yang dikemukakan oleh Ibnu Miskawaih. Miskawaih menjelaskan bahwa keutamaan akhlak terletak pada posisi tengah antara ekstrem kekurangan dan ekstrem kelebihan. Posisi tengah antara pengecut (al-jubm) sebagai kekurangan dan nekat (al-tahawwur) sebagai kelebihan yaitu keberanian. Inti dari teori tersebut adalah keseimbangan antara akstrem kekurangan dan ekstrem kelebihan merupakan perilaku yang utama. Perilaku yang tidak bisa menyeimbangkan antara kedua ektrem tersebut merupakan perilaku yang tercela.
Sejalan dengan hal itu, buku Menjadi Manusia Menjadi Hamba mengajarkan tentang kesimbangan. Mengajarkan tentang keseimbangan antara doa dan usaha, bermain dan keseriusan. Selain itu, dalam hal ibadah juga harus seimbang (tidak mementingkan salah satu) antara lahir dan batin.“…Segala hal di dunia ini pasti ada sisi lahir dan batinnya. Kedua-duanya harus baik…. Lahir dan batin harus beriringan. Kalau keduanya baik, akan menemukan ‘ilmul haqiqah, kebenaran sejati” (hlm. 272-273).
Buku Menjadi Manusia Menjadi Hamba, sangat cocok untuk dibaca oleh siapapun, baik kalangan muda maupun orang tua. Buku ini menyajikan bagaimana bermain, humor, dan berdoa yang baik. Nasihat-nasihar tentang tidak terlena dengan permainan, berhumor dengan tepat tanpa unsur kebohongan, tentang pernikahan, terkait alasan pernikahan, manfaat pernikahan dan bahayanya seks di luar pernikahan. Pentingnya memanfaatkan waktu sebaik mungkin juga menjadi pembahasan di buku ini. “Waktu bisa jadi senjata Anda untuk bangkit menaklukkan dunia, atau ia justru akan menggilas Anda” (hlm. 252). Di samping itu, Fahruddin Faiz menjelaskan tentang pentingnya bertasawuf, semua perbuatan manusia harus bermuara pada Allah.
Selain itu, buku tersebut menyajikan berbagai khazanah keilmuan dari Timur maupun Barat. Cerita-cerita tentang masa lalu baik dari dunia Timur maupun Barat dapat ia sajikan dengan apik. Ia dapat menganalogikan cerita satu dengan yang lain, sepeti cerita Kronos dan Zeus dengan Resi Bisma, dll. Hal itu menjadi kekayaan tersendiri dari buku karya Fahruddin Faiz. Berbagai sudut pandang digunakan dalam buku tersebut, baik dari sosiologi, psikologi maupun teologi. Kearifan lokal juga menjadi pelengkap dalam buku ini, seperti: cerita pewayangan Bisma dan konsep Cakra Manggilingan. Masih banyak hal lain yang menarik dari buku Menjadi Manusia Menjadi Hamba.