MODEL KAJIAN AL-QUR’AN DARI MASA KE MASA

Bagi mereka yang meyakini kebenaran Al-Qur’an sebagai teks suci, Al-Qur’an merupakan rujukan utama dalam penyelesaian berbagai permasalahan yang dihadapinya. Posisinya yang penting di kalangan umat Islam ini, mengharuskan adanya upaya pengkajian untuk memahami isi kandungannya. Sejarah mencatat, bahwa upaya untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an telah dimulai sejak masa awal perkembangan Islam, yaitu pada masa Nabi Muḥammad saw. dan para sahabatnya. Usaha tersebut dilakukan melalui proses penafsiran.

Pada masa awal perkembangan Islam, Rasulullah saw. adalah orang yang paling pertama dan utama dalam memberikan penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an. Ketika para sahabat menemui kesulitan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an, mereka datang kepada Rasulullah untuk memperoleh penjelasan tentang makna dari ayat tersebut. Dalam hal ini, ada dua cara penafsiran yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Pertama, penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, misalnya kata ulm dalam QS. al-An‘ām [6]: 82 ditafsirkan dengan syirk dalam QS. Luqmān [31]: 13. (Imam Musbikin, 2014: 6). Kedua, beliau juga menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis, misalnya al-alawāt al-wusā pada QS. al-Baqarah [2]: 238 ditafsirkan dengan Shalat Ashar. Setelah wafatnya Rasulullah saw., upaya memahami Al-Qur’an dengan jalan penafsiran ini juga dilakukan oleh para sahabat.

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, ada empat hal yang menjadi pegangan para sahabat. Pertama, Al-Qur’an, yaitu mencari penjelasan suatu ayat tertentu pada ayat yang lain. Kedua, penjelasan dari Rasulullah (hadis). Ketiga, pemahaman dan ijtihad, yaitu usaha para sahabat melalui ijtihad dengan mengerahkan kemampuan nalar. Keempat, cerita isrā’iliyyāt, yaitu keterangan dari ahli kitab baik dari kalangan Yahudi maupun Nasrani.

Pada masa ini, ada sepuluh sahabat yang dikenal sebagai mufassir, yaitu al-Khulafā’ al-Rāsyidūn, Ibn Mas‘ūd, Ibn ‘Abbās, ‘Ubai ibn Ka‘ab, Zaid ibn Ṡābit Abū Mūsā al-Asy‘arī dan ‘Abdullāh ibn Zubair. (Manna Khalil al-Qattan, 2013: 510). Mereka para mufassir periode ini juga mempertimbangkan pendapat para sahabat. Upaya untuk menguak makna Al-Qur’an terus berkembang hingga masa pembukuan (kodifikasi) yang dimulai sejak akhir pemerintahan Bani Umayyah dan di awal Bani Abbasiyah.

Baca Juga:  Etika dan Agama Sebagai Basis Bermasyarakat

Pada periode ini banyak bermunculan para mufassir ternama seperti Ṣufyān ibn ‘Uyainah, Ibn Jarīr al-Ṭabārī, Fakhruddīn al-Rāzī dan Abū ‘Abdullāh al-Qurṭubī. (Imam Musbikin, 2014: 12-14). Di Indonesia, kajian terhadap Al-Qur’an dilakukan bersamaan dengan masuknya Islam di wilayah ini. Al-Qur’an diperkenalkan oleh para dai kepada penduduk pribumi. Sistem pengajaran Al-Qur’an bahkan telah diperkenalkan kepada setiap Muslim sejak kecil melalui kegiatan yang dinamakan “Pengajian Al-Qur’an”.

Di Sumatera misalnya, model pengajaran Al-Qur’an ini begitu berkembang. Kegiatan ini dilakukan di beberapa tempat seperti surau, langgar, masjid, di kediaman guru atau di kediaman orang tua murid. (Islah Gusmian, 2003: 42-43). Setelah selesai dari pengajian Al-Qur’an, para murid kemudian melanjutkan ke Pengajian Kitab untuk memahami Al-Qur’an secara mendalam melalui kajian tafsir Al-Qur’an.

Juga di daerah Jawa, kajian Al-Qur’an dilakukan sejalan dengan penyebaran Islam yang dilakukan oleh para wali (Wali Sango). Sejak proses Islamisasi yang dilakukan oleh para wali dan berdirinya kerajaan Demak sekitar tahun 1500, pengajaran Al-Qur’an ini semakin berkembang, meskipun dilakukan dengan metode sederhana. Model pengajaran tersebut mirip dengan yang terjadi di Sumatera, namun dengan penyebutan yang berbeda.

Tempat yang biasa digunakan untuk pengajaran Al-Qur’an disebut dengan Nggon Ngaji. Pengajian ini terus berkembang hingga pada masa pemerintahan Belanda. Pada tahun 1831, pemerintah Belanda mencatat setidaknya terdapat 1.853 Nggon Ngaji dengan jumlah 16.556 murid. Jumlah ini terus bertambah hingga pada tahun 1885, tercatat 14.929 Nggon Ngaji dengan jumlah murid sebanyak 222.663, yang tersebar di berbagai kabupaten di Jawa. (Islah Gusmian, 2003: 44-45).

Pengkajian terhadap Al-Qur’an di Indonesia semakin menemukan momentumnya ketika berbagai lembaga pendidikan tradisional dan modern bermunculan di berbagai wilayah. Di Jawa Timur misalnya didirikan Pesantren Tebuireng pada tahun 1899 oleh K.H. Hasyim Asy‘ari dan Pesantren Rejoso Jombang tahun 1919 oleh K.H. Tamim. Selain memberikan pendidikan baca tulis Al-Qur’an, para santri juga mengkaji kandungan Al-Qur’an.

Baca Juga:  ILMU MANTIK DI DUNIA ISLAM (3): AL-KINDI

Umumnya, kitab yang menjadi referensi adalah Tafsīr Jalālain. Hal ini juga terjadi di berbagai wilayah seperti di Jakarta berdiri Madrasah Al-Irsyad tahun 1913. Yang pada tingkat lanjutan, para santri mengkaji Tafsīr Juz’ ‘Amma karya Muḥammad ‘Abduh, Tafsīr Jalālain dan I‘jāz al-Qur’ān. Berdiri pula Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) pada September 1951 di Yogyakarta, dan disusul dengan berdirinya Institut Agama Islam Negeri pada 9 Mei 1960 Fakultas Ushuluddin dan Syariah di Yogyakarta, Adab dan Tarbiyah di Jakarta.

Hal ini tentu membuat kajian Al-Qur’an secara formal semakin intens. Selain itu, buku-buku referensi pengajaran dalam perkembangannya pun semakin beragam. (M. Howard Federspiel, 1996: 17-18). Dari sejarah singkat yang telah dipaparkan, dapat dikatakan bahwa kajian Al-Qur’an di Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Sejak abad ke-16 atau bahkan sebelumnya telah banyak tulisan-tulisan ulama yang didistribusikan secara luas, bahkan hingga masa penjajahan Belanda (1600-1942).

Hal ini dapat dilihat dari katalog-katalog tentang manuskrip yang dibuat oleh Van Ronkel dan Snouck Hurgronje yang disusun pada awal abad ke-20, yang memuat berbagai tulisan tentang Islam dalam bahasa Arab, Melayu dan bahasa lokal di Asia Tenggara. Beberapa literatur tersebut ada yang menyebar hingga ke luar wilayah Asia Tenggara. Memasuki abad ke-20, tradisi keilmuan Islam, khususnya dalam hal pengkajian Al-Qur’an terus berkembang dan melahirkan berbagai tulisan, khususnya dalam bentuk buku.

Buku-buku tersebut pada akhirnya memberikan kontribusi penting bagi pengembangan kajian Al-Qur’an selanjutnya di Indonesia.

Daftar Bacaan:

Al-Qaṭṭān, Mannā’ Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS. Bogor: Pustaka Litera AntarNusa. 2013.

Federspiel, Howard M.. Kajian Al-Qur’an di Indonesia dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab. terj. Tajul Arifin. Bandung: Mizan. 1996.

Baca Juga:  Pentingnya Belajar Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia dari Hermeneutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju. 2003.

Musbikin, Imam. Mutiara Al-Qur’an: Khazanah Ilmu Tafsir & Al-Qur’an. Madiun: Jaya Star Nine. 2014.

0 Shares:
You May Also Like