Musik Sufi Perspektif Ulama Fikih dan Ulama Tasawuf

Oleh: Syahuri Arsyi

Mahasiswa Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sudah menjadi hal yang lumrah setiap kemunculan jenis genre musik, sudah ditakdirkan untuk bepolemik, ada yang sepakat dan juga yang kontra di kalangan para penikmatnya. Misalnya, dalam Ekonomi Politik Musik Rock: Refleksi Kritis Gaya Hidup (2017) garapan Abdullah Sumrahadi, menarasikan bahwa sejak awal, bahkan hingga saat ini kemunculan musik Rock, memang selalu dikaitkan dengan simbol seksualitas dan hiburan berisik serta musik penuh kebisingan.

Begitu juga dengan kemunculan musik Dangdut di tanah air yang dipelopori Rhoma Irama dan Soneta Group, sebelum terkenal hingga saat ini, juga harus mengalami nasib yang sama, terjadi perdebatan ada yang pro dan kontra. Moh. Shofan dalam Rhoma Irama: Politik Dakwah dalam Nada menarasikan bahwa kemunculan genre musik Dangdut mendapat cemoohan, cercaan, serta olok-olok dari berbagai kalangan, walaupun nada-nadanya dibalut dengan dakwah. Genre musik ini dicemooh karena dianggap tak autentik berlanggam tiruan dari genre musik Melayu.

Demikian juga dengan narasi kemunculan musik religus “Musik Sufi” dikalangan umat Islam. Jauh-jauh hari sebelum kemunculan perdebatan pro dan kontra dari musik rock dan dangdut, musik sufi sudah terlebih dahulu menjadi perdebatan klasik antara dua kutub ulama dalam sejarah intelektualisme Islam. Pada satu sisi ada ulama sufi, dan pada sisi yang lain ada ulama fikih. Di mana keduanya memiliki otoritas masing-masing dalam keilmuan Islam.

Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa polemik kemunculan musik sufi yang terjadi di antara kedua kubu ulama, lebih karena perbedaan pola pikir dan sudut pandang keduanya. Misalnya, para ulama fikih dalam memandang musik dengan menggunakan pelbagai landasan teologis Hadis Nabi dan pernyataan-pernyataan para sahabat yang secara general bisa dikatakan sangat keras menolak keberadaan segala jenis musik, apalagi musik sufi.

Baca Juga:  Menyikapi Warisan Peradaban Islam

Kalau kita mau mencermati misalnya, pandangan dan pernyataan para ulama fikih yang empat, khususnya mazhab Imam Syafi’i, bisa dikatakan hampir semuanya beranggapan bahwa musik dan lagu sebagai sesuatu yang tak baik. Imam Syafi’i sebagai ulama fikih yang paling banyak dianut, terutama di Indonesia, mengatakan musik memiliki kecenderungan pada suatu yang lebih banyak negatifnya, membuat umat Islam lupa pada Al-Qur’an.

Berbeda dengan filsuf dan ulama sufi dalam memandang musik. Keduanya memiliki pandangan sangat filosofis dan lunak, serta bisa dikatakan sangat bersahabat atas keberadaan musik. Mislanya, filsuf Muslim seperti Ibnu Sina (980-1037 M) atau Avieccena menyatakan bahwa mendengarkan musik bisa menjernihkan hati dan pikiran.  Al-Farabi (870-1037 M), merupakan filsuf Muslim yang paling suka mendengarkan dan pemain alat musik yang sangat terkenal di zamannya.

Sementara di kalangan ulama sufi, paling tidak ada, dua tokoh sufi besar yaitu Abu Hamid al-Ghazali (1111 M) merupakan sufi yang dikenal sebagai pembela dan memiliki pandangan sangat moderat atas musik, serta ada Maulana Jalaluddin ar-Rumi.

Melalui Ihya’ ‘Ulumuddin al-Ghazali sangat mendukung keberadaan musik religius, bahkan al-Ghazali secara gamblang tak mengharamkan atau memberi kiasan terhadap alat musik yang secara tekstual disebut dan tak disebut oleh Nabi, misalnya mizmar (seruling), autar (gitar), dan kaubah (gendang).

Maulana Jalaluddin ar-Rumi melalui Thariqah Maulawiyah juga dikenal sebagai kelompok (thariqah) sufi, dan beberapa thariqah seperti, thariqah Alawiyah dan thariqah Sanusiyah yang menggunakan alat-alat musik untuk mencapai dzauq (perasaan hati yang paling terdalam) lewat zikir kepada Allah. Dalam konteks keindonesiaan beberapa dekade thariqah sufiyah yang menggunakan alat-alat musik sudah mulai populer di kalangan Muslim kosmopolitan dan Muslim urban.

Baca Juga:  Kopi dan Tiket Masuk Surga

Kendati demikian, ada sebagian dari kalangan ulama sufi yang dengan sangat ekstrem hingga mengharamkan atas musik. Sebut saja misalnya, Imam Fudhail bin Iyadh, yang menyatakan bahwa “Nyanyian merupakan perisai zina”, bahkan Abdullah bin Mas’ud menyatakan “Nyanyian dapat menimbulkan dan menumbuhkan sifat munafik”.

Bahkan lebih dari itu, ada juga sebagian ulama sufi memiliki pandangan bahwa ajaran tasawuf sangat tak layak terkontamenasi dengan suatu yang tak berbau keseriusan. Mengingat ajaran tasawuf selama ini lebih menekan pada kesungguhan dan keseriusan. Misalnya, Imam al-Dhahhak menyatakan, “Nyanyian bisa merusak hati dan membuat Tuhan murka”, sementara Imam al-Junaid juga berpendapat, “Bila ada seorang pesuluk melakukan aktivitas sama’ (mendengarkan musik), maka ketahuilah bahwa ia sesungguhnya telah melakukan aktivitas sangat sia-sia”.

Diakui atau tidak, polemik mengenai musik sufi di antara ulama fikih dan ulama tasawuf ini cukup pelik dan komplek. Pada satu sesi bisa saja musik sufi dipandang negatif, dan bisa menghantam kelompok sufi itu sendiri. Oleh karenanya, sebagian ulama sangat berhati-hati dalam menyikapi perkembangan musik sufi yang selama ini digunakan oleh kelompok-kelompok sufi tertentu, sebab sebagian para ulama memiliki pelbagai pertimbangan dalam menyikapi penggunaan musik sufi.

Kehatian-hatian para ulama dalam menyikapi perkembangan musik sufi yang selama ini begitu akrab di telinga, bukan tanpa alasan dan dasar. Musik dan sufi merupakan dua hal yang tak dapat disatukan dalam satu wadah. Jika kemudian bahwa musik bisa dikatakan sebagai wadah dalam mencerminkan kekuatan dan kedalaman spiritualitas kelompok sufi tertentu, secara tak sengaja telah menyatukan kelompok sufi dengan musik.

Sebab selama ini yang berkembang, musik dikenal sebagai hal-hal yang berbau hiburan dan kesenangan serta lebih mengarah pada suatu bersifat negatif. Konsepsi ini lebih mengacu pada literatur, semisal kamus atau bahasa Arab yang memang, alat musik dikonsepsikan sebagai alatul malahi yang memiliki arti alat-alat yang bisa melalaikan diri pada Allah.

Baca Juga:  ANAK-ANAKMU BUKANLAH ANAK-ANAKMU. MEREKA BERASAL DARIMU, TAPI MEREKA MILIK MASA MEREKA (BAGIAN 2)

Diakui atau tidak, memang spektrum terkait musik perspektif Islam sangat beragam, mulai dari yang memperbolehkan, memperingati hingga melarang. Misalnya, dalam buku Merayakan Islam Dengan Irama (2019) karya Anne K. Rasmussen dijelaskan bahwa dunia Islam sangat kaya dengan genre musik dan seni pertunjukan, mulai dari nyanyian religus hingga musik yang terkenal secara internasional seperti qawali Pakistan atau repertoar musik dan tarian tarekat Maulawiyah di Turki. Di Indonesia sendiri musik genre religius mulai dikenal sejak abad 18 dan 19 ketika ada kontek dengan Timur Tengah, dan sejak 1945 ekspresi seni berbahasa Arab dari dunia Timur Tengah sudah semakin populer hingga melibatkan penyanyi dan instrumental, seperti tilawah Al-Qur’an, azan, dan lagu-lagu religius lainnya.

Pada dasarnya, polemik terkait musik sufi yang digunakan kelompok sufi tertentu hanyalah merupakan alat atau wadah untuk mencapai dzauq bagi para pesuluk dalam mendekatkan diri kepada Allah. Dalam hal ini, musik yang digunakan tak seperti musik-musik yang pada umumnya berkembang saat ini, layaknya seperti musik Jazz, Pop, Keroncongan, apalagi musik Rock dan Dangdut.

Bagi para kelompok dan kaum sufi, merdu dan indahnya suara musik hanya dianggap sebatas rasa peransang jiwa yang kering kerontang, zikir, syair-syair merupakan komponen terpenting dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maka pada akhirnya, kita harus menyadari atas larangan Imam Sahal at-Tasturi, Imam Sari as-Saqathi bahwa seorang pesuluk yang notabene belum memiliki kemampuan spiritual untuk tak melakukan aktivitas sama’ layaknya kaum sufi.

 

0 Shares:
You May Also Like