Hijrah (6): Dari Eksklusif Jadi Inklusif

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra

Manusia adalah wakil Tuhan (khalifah) di muka bumi. Kita mengemban misi agung untuk menjaga keharmonisan alam dengan cara berbuat hal-hal yang baik. Sebaliknya, manusia dilarang berbuat kerusakan yang menyebabkan penderitaan. Inilah inti dan prinsip dari ajaran Islam yang memperhatikan alam sekitar dan memanusiakan manusia.

Akan tetapi—meski sangat mudah disebutkan—dalam pelaksanaannya, manusia (di sepanjang sejarahnya) selalu mengalami kesulitan untuk menentukan sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Dari situ, manusia menyadari bahwa mereka tidak dapat hidup sendiri, sehingga muncullah kebiasaan alami manusia untuk hidup berkelompok. Dengan berkelompok, manusia bisa berdiskusi dan menentukan keputusan yang jauh lebih baik demi kelangsungan hidup mereka.

Selanjutnya, setiap kelompok manusia mempunyai tuntutan dan kebutuhan spesifik tersendiri, semisal tidaklah sama kebutuhan orang-orang yang tinggal di daerah padang pasir dengan orang-orang yang tinggal di daerah pegunungan bersalju. Perbedaan kebutuhan tersebut melahirkan pola kehidupan, watak dan kebudayaan yang berbeda pula. Dan tidak ada yang salah dengan perbedaan semacam itu. Sebab, perbedaan tersebut lahir dari upaya untuk mempertahankan kehidupan masing-masing kelompok.

Dalam perspektif sosiologi, perbedaan latar belakang, mulai dari tempat tinggal hingga cara bergaul dengan sesama  manusia dan alam tersebut, pada akhirnya menyebabkan munculnya keyakinan-keyakinan dan mitos-mitos di tengah masyarakat yang berbeda pula. Kelompok manusia pelaut akan membuat mitos dan kepercayaan tentang dewa-dewa laut, begitu pula komunitas manusia yang tinggal di daerah pegunungan akan membuat mitos-mitos tentang dewa pegunungan. Bahkan kelompok manusia yang tinggal di wilayah Indonesia yang tropis juga mempunyai mitos tentang Dewi Sri (dewi padi) yang menunjukkan identitas bangsa Indonesia sebagai masyarakat agraris (pertanian).

Mitos-mitos dan keyakinan itulah yang kemudian membentuk pandangan dunia (world view) suatu masyarakat. Dan ketika suatu pandangan dunia disakralkan, maka lahirlah kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama di tengah masyarakat. Keyakinan-keyakinan (agama) itu mampu menyatukan dan mengikat kuat suatu masyarakat, serta menjadi identitas masing-masing individu di dalamnya.

Masyarakat Terbuka dan Masyarakat Tertutup

Kehidupan berkembang dan masing-masing kelompok manusia (dalam sejarahnya) mulai menyadari bahwa mereka bukanlah satu-satunya kelompok yang eksis di muka bumi. Kelompok-kelompok tersebut mulai menyebrangi lautan, mendaki gunung, dan mengarungi luasnya gurun. Kemudian mereka bertemu dengan berbagai kelompok manusia lainnya. Interaksi pun terjadi. Sebagian pertemuan dan interaksi menimbulkan peperangan, namun sebagian lain menghasilkan kompromi bahkan kerjasama.

Baca Juga:  Menilik Filsafat Cinta Jean Paul Sartre

Henry Bergson—seorang filsuf Perancis modern—memperkenalkan dua istilah yang sangat terkenal yakni masyarakat terbuka dan masyarakat tertutup. Pembagian masyarakat ini bisa kita gunakan untuk mengidentifikasi tipe-tipe kelompok manusia sebagaimana yang disebut di atas.

Ketika kelompok-kelompok manusia yang berbeda-beda itu mulai berinteraksi, kita akan melihat apakah mereka adalah masyarakat terbuka atau masyarakat tertutup. Dalam pandangan Henry Bergson, masyarakat tertutup adalah masyarakat atau agama yang membatasi diri dalam dinding-dinding asas, kepercayaan, konvensi dan lambang-lambang yang diciptakannya. Sebaliknya, masyarakat terbuka adalah masyarakat yang meruntuhkan dinding-dinding itu, sehingga mereka mampu menerima dan berdialog dengan berbagai ide baru yang datang dari luar kelompok mereka.

Selanjutnya, masyarakat ekslusif yakni orang-orang yang tertutup akan merasa bahwa ide-ide yang datang dari luar mereka adalah ide yang menyesatkan. Mereka merasa bahwa kebenaran adalah apa yang mereka yakini saja, lalu mereka akan menutup diri dari berbagai gagasan asing yang berasal dari kelompok yang berbeda. Hasilnya, mereka akan terperangkap dalam kondisi statis dan tidak mengalami perubahan signifikan. Atau bahkan dalam kondisi terburuk, kebudayaan mereka akan tergerus oleh kebudayaan lain yang lebih kuat.

Sedangkan masyarakat inklusif yakni orang-orang yang terbuka, selalu merasa bahwa apa yang ada pada diri mereka belumlah cukup, sehingga mereka sangat senang mengadopsi dan menyerap ide dari berbagai kelompok lain, lalu menyesuaikannya dengan kebutuhan mereka. Hasilnya, terjadilah perubahan (kemajuan) besar dalam kelompok mereka berupa lahirnya solusi-solusi jitu untuk berbagai permasalahan internal dalam kelompoknya.

Islam Inklusif

Islam adalah agama terbuka. Oleh karena itu, masyarakat Muslim seharusnya adalah masyarakat yang terbuka. Sejak awal kemunculannya di Makkah, agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. telah berusaha meruntuhkan dinding-dinding eksklusivisme masyarakat jahiliyah. Nabi membawa gagasan baru dan asing ke tengah masyarakat Makkah yang selama ini tertutup.

Baca Juga:  THE POWER OF MUHAMMAD SAW

Di awal dakwahnya, Nabi berkali-kali menyeru masyarakat Makkah untuk beriman. Bukan sekedar seruan, Nabi membawa argumen-argumen yang logis, menakjubkan dan menggunggah hati. Ini bisa kita lihat dari surah-surah Al-Qur’an yang mula-mula turun yang kebanyakan membicarakan tentang alam semesta, matahari, rembulan, bumi yang terhampar, pergantian siang dan malam dsb. Itu semua menjadi bahan diskusi untuk membuktikan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang membawa kebenaran.

Namun, betapapun indah dan benarnya wahyu-wahyu yang disampaikan Nabi, masyarakat jahiliyah tetap menolak. Keterikatan terhadap ajaran nenek moyang dan kecintaan mereka terhadap tanah kelahiran membuat mereka merasa perlu untuk mempertahankan identitas itu dari serbuan ide-ide sesat Muhammad saw. Dengan demikian, tak ada diskusi ataupun dialog, satu-satunya yang mesti dilakukan adalah mengusir Muhammad saw. dari Makkah.

Pada akhirnya, Nabi betul-betul terusir dari kampung halamannya. Nabi dan pengikutnya berhijrah. Akan tetapi, justru inilah yang akan menjadikan ajaran Islam semakin berkembang. Sebab, sebagaimana dalam pandangan Ali Syariati, hijrah sesungguhnya merupakan pemutusan keterikatan masyarakat terhadap tanah kelahirannya, sehingga pindahnya seseorang atau sekelompok orang dari kampung halaman ke tempat baru dan asing mampu mengubah cara pandang manusia terhadap dunia. Dari yang sebelumnya tertutup dan sempit, menjadi terbuka dan luas serta menyeluruh.

Dengan berhijrah, hilanglah kejumudan, kemerosotan sosial, dan sikap kaku dalam pemikiran dan perasaan. Hasilnya, masyarakat yang sebelumnya sangat ekslusif berubah menjadi masyarakat yang dinamis dan terbuka (inklusif). Dengan demikian, hijrah merupakan sebuah gerakan dan loncatan besar umat Islam. Atau dalam bahasa Syariati, ‘hijrah meniupkan semangat perubahan dalam pandangan masyarakat, dan pada gilirannya mampu menggerakkan dan memindahkan mereka dari lingkungan yang beku menuju tangga kemajuan dan kesempurnaan’.

Dan benar saja, Islam kemudian tumbuh menjadi sebuah kekuatan besar di Timur Tengah. Semangat keterbukaan (inklusivisme) itu terus dipertahankan oleh khalifah-khalifah setelah Nabi. Puncaknya, ketika Islam menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia di bawah kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah. Di mana semua orang dari berbagai belahan dunia berdatangan untuk belajar ilmu pada ulama-ulama Muslim.

Faktor kemajuan tersebut tidak lain adalah karena ulama-ulama Islam saat itu tidak segan untuk menyerap hikmah dari mana pun asalnya. Pada masa-masa kejayaan tersebut, ulama-ulama Muslim menerjemahkan dan mempelajari kitab-kitab dari Yunani, Persia, India dsb. Tak ada keraguan bagi mereka untuk mengakui bahwa ada begitu banyak hikmah dan kebenaran yang tersebar di penjuru bumi. Menutup diri dari kebenaran itu hanya menunjukkan kebodohan (kejahiliyahan).

Baca Juga:  Kopi dan Tiket Masuk Surga

Bahkan Al-Kindi—filsuf Muslim pertama yang mendapat gelar filsuf di antara bangsa Arab. Menyatakan bahwa kebenaran bisa datang dari mana saja, dan umat Islam tak perlu sungkan untuk mengakui dan mengambilnya dari mana pun ia berasal, meski dari bangsa-bangsa terdahulu ataupun dari bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kecuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tidak akan menurunkan derajat seorang pencari kebenaran, itu justru menjadikannya terhormat dan mulia (Sholeh, 2016: 75).

Semangat Keterbukaan di Era Globalisasi

Sekarang, umat manusia hidup dalam dunia yang saling terhubung. Manusia tak perlu lagi menyebrangi lautan ataupun mengarungi padang pasir untuk menjumpai dan berinteraksi dengan  masyarakat yang berbeda. Ada berjuta-juta informasi tentang berbagai kebudayaan yang ada di dunia dan kita hanya memerlukan kuota internet untuk mengakses semua itu. Inilah kenyataan di era globalisasi.

Pertemuan berbagai kebudayaan dan agama tak lagi dapat dihindari. Sebagai khalifah di muka bumi, kita mesti menemukan cara baru untuk hidup di lapangan dunia yang semakin terhubung. Sebab, kita telah melihat betapa banyak konflik terjadi dalam pertemuan dua (atau lebih) kebudayaan yang berbeda. Inilah tuntutan dan kebutuhan manusia sekarang demi menjalankan misi kemanusiaan yakni, menyeru kebaikan (ma’ruf) dan menghindari kemungkaran.

Di sinilah sikap inklusif menjadi sangat penting untuk kita gaungkan. Sebab, dengan sikap terbuka, akan terwujud diskusi dan dialog antarkebudayaan bahkan dialog antar-iman yang bertujuan untuk mencari solusi terbaik untuk umat manusia. Sudah seharusnya manusia modern meninggalkan cara-cara primitif dan jahiliyah dalam menyelesaikan persoalan. Dengan demikian, hijrah dari sikap ekslusif menuju sikap inklusif adalah keniscayaan bagi manusia modern demi masa depan yang lebih baik bagi seluruh umat manusia tanpa terkecuali.

0 Shares:
You May Also Like
Read More

Pemuda Profetik

Oleh: Himran Alumni Jurusan Sosiologi Universitas Tadulako Palu Sedikit mencurahkan refleksi pemikiran berkaitan dengan momentum  hari kelahiran sosok…