Apa yang saya tulis di bagian pertama dan kedua dalam serial tulisan ini tidak berarti bahwa orang tua atau pendidik tak boleh melakukan program-program intervensi untuk perbaikan—tepatnya, aktualisasi—potensi anak-anak kita. Tidak. Tak juga berarti bahwa orang tua atau pendidik tak boleh bersikap asertif. Yang hendak disampaikan adalah bahwa, sebelum yang lain-lain, kita harus berupaya memahami semua kondisi psikologis dan special neeeds anak-anak kita— yang telah saya uraikan secara agak Panjang-lebar sebelumnya—sebelum melakukan program intervensi apa pun, maupun dalam bersikap asertif kepada anak-anak kita. Karena, kalau tidak, bukan saja program kita tak akan tepat dan memenuhi sasaran. Bahkan, ditambah sikap asertif kita, hal ini bisa-bisa justru akan memperburuk keadaan karena akan diterima/terkesan sebagai penekanan tak semena-semena oleh orang tua. Yang lebih parah lagi, jika kita gagal memelihara kepala dingin dan empati dalam segenap sikap asertif kita, hal itu bisa menimbulkan kesan bahwa kita telah kecewa kepada anak-anak kita. Dan ini justru bisa berakibat amat destruktif secara psikologis.
Maka, di bawah ini saran-saran yang bisa bermanfaat bagi semua orang tua dan pendidik:
Pertama, jangan sampai anak kita tidak tahu pasti bahwa apa pun yang kita lakukan adalah karena cinta kita kepada mereka. Kadang kita take for granted, seraya menganggap bahwa anak-anak kita sudah tahu dan yakin tentang cinta kita kepada mereka. Kenyataannya tidak demikian. Maka, biasakan mengeskpresikan cinta kita dengan sikap, bahkan secara verbal, sampai mereka yakin akan hal ini.
Kedua, siap-siaplah minta maaf jika perlu. Dan pasti ada saatnya kita berbuat salah. Karena itu, kita harus membiasakan minta maaf kepada mereka. Dan jangan pelit mengeskspresikan permintaan maaf ini, karena kenyataannya mungkin kita sering melakukan kesalahan juga kepada anak-anak kita—kalau saja kita tidak gengsi mengakuinya.
Ketiga, kembangkan cara komunikasi yang terbuka, dialogis, dan sedapat mungkin setara, serta saling menghargai, tidak intimidatif, dan tidak mengesankan sok pinter atau sok baik, di pihak orang tua.
Keempat, orang tua atau pendidik tentu tetap boleh—bahkan, harus—mengembangkan disiplin pada anak-anak. Tapi, hendaknya itu bukan disiplin otoriter, apalagi gaya militer. Melainkan disiplin positif. Apa itu disiplin positif? Disiplin yang dirumuskan dan diterapkan dengan melibatkan secara aktif anak-anak/anak didik dalam perumusan dan penerapannya sedemikian, sehingga akan membuat mereka tak merasa dipaksa dan mau menerimanya sebagai sesuatu yang adil dan masuk akal. Pada puncaknya, mereka akan memiliki sense of ownership terhadap peraturan/sistem disiplin tersebut. Dengan demikian, diharapkan mereka pun akan berupaya untuk menaatinya dengan suka rela. Tanpa model disiplin seperti ini, saran-saran yang disampaikan sebelumnya, akan menjadi tidak mungkin dilakukan atau tidak efektif.
Catatan akhir: Ada saat-saat di mana anak-anak memiliki—secara bawaan atau di suatu tahap dalam hidup mereka—masalah kesehatan mental yang membutuhkan bantuan profesional yang ahli. Hal ini, normal-normal saja, tak ada yang luar biasa. Kita harus meyakinkan diri kita dan anak-anak agar tak segan-segan menjalani hal ini jika diperlukan. Dan, pada umumnya, kecuali dalam kasus-kasus khusus, intervensi dini dalam soal-soal ini akan memberikan dampak yang amat baik dan lebih segera untuk kesehatan mental dan masalah-masalah lain yang mungkin ada dalam diri anak-anak kita. Maka, membiasakan berkonsultasi dengan ahli, meski ketika kita tak merasa ada masalah yang amat serius atau urgen pada diri anak-anak kita, adalah kebiasaan yang bagus dan dianjurkan (habis).