Muhammad Iqbal Bicara Mengenai Kesetaraan

Oleh: Raha Bistara

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Ajaran Islam dalam kancah dunia modern sudah direkontruksi ulang oleh pemikir-pemikir Islam. Pemikir Islam itu antara lain Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan bahkan Muhammad Iqbal. Mereka secara jelas dan tegas untuk meredam dominasi yang dibuat oleh bangsa Barat terhadap Islam karena sistem kolonialisasi yang terjadi pada tanah-tanah Islam. Bahkan, tidak itu saja, disamping menguasai tanah yang dijajah, mereka melakukan misionaris dan mengubah ajaran-ajaran yang ada di dalam agama yang mereka tidak yakini (Islam).

Islam sebagai agama yang hanif, ajarannya selalu memperhatikan masalah-masalah yang substil dan tidak membedakan dari segi apapun apalagi ketika berbicara mengenai kesetaraan. Dalam kita suci Alquran—yang dijadikan sumber utama oleh umat Muslim—juga jelas mengatakan, “Dan para perempuan berhak terhadap pria, sebagaimana pria juga berhak kepada mereka” (QS. Al-Baqarah [2]: 228). Ini menandakan di antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan sekalipun dalam ranah domestik. Munculnya gerakan feminisme, karena ada ketidakadilan yang dilakukan oleh pihak laki-laki terhadap pihak perempuan yang memunculkan sikap ketertindasan dalam diri perempuan.

Muhmmad Iqbal, sebagai pemikir modern yang selalu menggaungkan pembaharuan dalam tubuh Islam secara otomatis ia berbicara mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Iqbal sendiri sadar, dikotomi yang ada selama ini yang dibuat oleh para pemikir Muslim yang tidak tercerahkan dan ajaran yang dibuat oleh para orientalis itu bukan murni atas dasar keilmuan, tapi karena ada muatan politis yang membuat wanita selalu menjadi inferior di hadapan laki-laki.

Kesalahan-kesalahan seperti ini yang harus direkontruksi ulang di masa sekarang. Karena selama nilai perempuan seseungguhnya belum dapat dipahami, maka kehidupan bangsa tetap tidak sempurna (Muhammad Iqbal, 2016: 204). Jadi, perempuan menjadi pusat kajian yang jelas dari Iqbal sebagai Muslim modern yang menginingkan negara Islam maju dari negara non-Islam walapun tidak semudah itu mewujudkan sesuatu yang sudah menjadi budaya dalam tubuh Islam.

Baca Juga:  Filsafat, Keterbukaan dan Toleransi

Sebagai seorang filosof-penyair Alamah Iqbal juga mengungkapkan pemikirannya mengenai perempuan. Karena semangatnya yang besar terhadap keseteraan antara laki-laki dan perempuan. Ia ingin melihat adanya perubahan-perubahan secara radikal terhadap hukum keluarga Islam sepeti yang kita ketahui dan dipraktikan pada saat ini. Sekali lagi, Iqbal menegaskan selama perempuan dianggap hanya berhak memiliki separuh dari laki-laki dalam soal waris dan seperempat dari hasil perkawinan, maka baik keluarga maupun negara tidak akan memperoleh derajat yang tinggi (Muhammad Iqbal, 2016:204).

Banyak syair-syair Alamah yang berbicara mengenai perempuan baginya perempuan adalah sosok yang luar biasa, tanpa perempuan laki-laki tidak bisa berbuat banyak, bahkan dalam tatanan negara sendiri sebelum laki-laki memahami sosok perempuan secara utuh negara tidak akan makmur. Iqbal mengungkapan sosok perempuan dalam kitabnya yang berjudul Javid Nama sebagai berikut:

“Katakanlah padakau, o ibu, saudaraku perempuan, istri-istri !

             Berapa lama engkau akan hidup terus menjadi kekasih saja

            Mencintai hanyalah menjadikanmu sebagai budak, dikungkung.

            Kita layaknya menjadi penjepit rambut, mengira laki-laki menjadi mangsa kita.

            Tetapi dalam realitas laki-laki adalah anjing pemburu ketika dia berpura-pura

            mengejar kita sebagai buruannya.

            Dan, ketika dia menari-nari mengelilingi kita, dia hanya memenjarakan kita.

            Antusiasme dan cinta, kepedihan dan kepayahan dan kesedihan hanyalah tipuan

            belaka.

            Sia-sialah si kafir ini membakar dupa diperaduan kita: ketahuilah ini semua

hanyalah manis di bibir dan kemunafikan saja.

            Tetapi, begitu sedihnya dia membawakan haodah untuk kita.

            Dengan persatuan dengannya hanyalah racun yang dia tebar sedang ketika

berpisah hanya keringat saja yang dia lulurkan.

            Menjadi pasangan adalah siksaan belaka.

            Hati-hatilah pada ular berbisa ini, jangan biarkan racunya megalir dalam

darahmu.

Jangan biarkan pipimu pucat, matangkanlah: emansipasikan dirimu dari pernikahan dan segala ikatannya, dan biarkanlah engkau diberkahi” (Muhammad Iqbal, 2000:123-124).

Pesan Iqbal yang diguratkan dalam kitabnya Javid Nama telah amat jelas. Sebagai perempuan seyoganya tidak mudah tertipu, terperdaya oleh racun-racun yang mematikan dari seorang laki-laki. Perempuan harus bisa membentengi dirinya dari racun-racun itu. Bergegas dan bergeraklah dalam segala bidang terutama ilmu pengetahuan supaya sebagai perempuan tidak hanya bergantung pada seorang laki-laki.

Baca Juga:  Sufisme dan Ottoman

Selanjutnya dalam syair di atas, Alamah juga menjelaskan harusnya sebagai perempuan tidak perlu mencintai tetapi harus dicintai. Artinya ketika perempuan mencintai dan terlena atas nama cinta, maka secara tidak sadar dia terlena dengan racun-racun yang ditebarkan olek laki-laki yang membuat sifat ketergantungan dalam diri perempuan.

Sebagai seorang yang dimuliakan, perempuan harus bisa membuat emansipasinya sendiri dalam meruntuhkan dominasi laki-laki terhadap dirinya. Tanpa adanya kesadaran dari diri sang perempuan, maka sama saja seorang Alamah seperti Iqbal dalam meramu martabat perempuan akan sia-sia belaka. Karena nilai-nilai yang ada di dalam diri perempuan sangat besar dan nilai-nilai itu tidak bisa digunakan jika perempuan itu sendiri tidak bisa menggali apa yang ada di dalam dirinya.

Seorang perempuan dalam pandanga Iqbal bukanlah seorang budak, tetapi seorang pendamping laki-laki untuk menyempurnakan kehidupannya. Seperti yang tergambar jelas dalam syairnya:

“Karena pandangan pendeknya, manusia sudi menjadi budak.

 Dalam dirinya ia memiliki kekayaan.

Namun menyerahkan seluruhnya pada raja-raja.

Oleh karena penghambaan ini

Ia menjadi lebih buruk dari anjing.

 Tak ada anjing menjilat anjing lain

Dan memujanya sebagai majikan”(Muhammad Iqbal, 1986:88).

Sekali lagi, tergambar jelas bagaimana perempuan bukanlah budak dari seorang laki-laki yang menyerahkan segala kehidupannya. Seorang yang menyerahkan seluruh kehidupannya atas nama perbudakan berati hidupnya telah hina seperti binatang, karena fitrah perempuan adalah dimuliakan. Dimuliakan artinya bukan menjadi budakdari laki-laki perempuan harus menjadi penyeimbang dari kehidupan laki-laki dan harus membentuk emnasipasi bagi dirinya sendiri.           

0 Shares:
You May Also Like