Sufisme dan Ottoman

Ottoman mempunyai peradaban yang sangat luas di berbagai sektor. Dinasti yang telah menguasai hampir sepetiga dunia selama 600 tahun lebih ini telah melahirkan beragam  peradaban seperti: keagamaan, intelektualitas, politik, sains dan sejarah. Salah satunya adalah praktik keagamaan para Sufi atau Darwis dalam bahasa Turki. Dinamika sufisme pada era Ottoman sangatlah kompleks, sufisme atau tarekat pada era ini telah menjadi sebuah satu kesatuan yang kukuh dengan kerajaan.

Akar berdirinya kerajaan Ottoman sendiri tidak bisa dilepaskan dari peranan sufi. Pendiri kerajaan Ottoman, Osman (1299-1324) jatuh cinta dengan Malhatun putri dari Syekh yang bernama Edebali yang masih keturunan dengan Syekh Baba Vefai. Syekh Baba Vefai pun memberikan sebuah pedang dan meramalkan kelak dari keturnannya akan menjadi penguasa dunia (John Curry dalam Lloyd Ridgeon, 2020: 409).

Setiap persaudaraan sufi (tarekat) didirikan atas asas kesetiaan, pengabdian keyakinan kepada seorang guru/mursyid yang ada pada saat itu, dan dianggap sebagai seorang yang suci. Para pengikutnya telah menganggap seorang Syekh sebagai pembimbing mereka (mursyid) berkumpul di pondok sufi (tekke) untuk melakukan shalat jamaah dan berzikir.

Para sufi mempunyai pemahaman yang berbeda dengan beberapa ulama kerajaan, ini tak lepas dari sejarah munculnya tasawuf. Menurut berbagai pengamat, tasawuf mendapatkan pengaruh dari luar Islam seperti, Kristen, Budha, Hindu, filsafat dan gnosis.  

Ulama Ottoman mempunyai hak yang istimewa di pemerintahan, mereka yang mengatur undang-undang negara dan hukum Islam yang ditampilkan secara legal formalistik. Sehingga praktik Islam ini juga mendapatkan kritik dari beberapa Syekh sufi yang berpendapat bahwa praktik agama Islam bisa ditampilkan dengan sebagaimana praktik kegamaan yang mereka lakukan. Layaknya kritik kepada para sufi yang seperti biasanya ditunjukan oleh ulama, ulama dinasti Ottoman menganggap praktik agama yang dilakukan oleh para sufi sebagai bidah dan bukan bagian dari agama Islam.

Baca Juga:  Mencari Identitas Sejati dalam Diri

Ulama Ottoman merupakan representasi kerajaan dan memiliki wewenang untuk menafsirkan hukum Islam sebagai inti pemikiran Islam dan menekankan Tauhid atau keesaan Tuhan. Sebaliknya, para Sufi mendakwahkan gaya hidup asketik yang menolak perbedaan antara Sang Pencipta (Tuhan) dan ciptaan-Nya dengan mengajarkan bahwa ciptaan-Nya adalah manifestasi dari Sang Pencipta.

Ketika kerajaan Ottoman diidentikan dengan Islam Sunni yang legal-formalistik dan para sufi mendapat popularitasnya di daerah Ottoman seperti Balkan dan Anatolia dan memungkinkan mereka untuk menarik berbagai peran penting dengan masyarakat kekaisaran. Daya tarik para sufi ini menjelaskan mengapa ada beberapa pemberontakan sufi dengan kerajaan.

Misalnya, pemberontakan Syekh Bedreedin pada 1416 melawan otoritas Sultan Usmani, Mehmed 1 dan membawa kerajaan ke ambang kehancuran. Syekh Baderrdin dipengaruhi oleh tulisan mistik, filsuf dan penulis terkenal Ibn ‘Arabi bahwa dunia itu kuna, tidak ada awal, tidak ada akhir, dan tidak diciptakan dalam waktu. Jika dunia fisik menghilang, maka dunia spiritual akan menghilang juga. Dunia sekarang dan dunia selanjutnya adalah fantasi imajiner. Syekh sufi revolusioner menolak adanya surga dan neraka serta hari Penghakiman dan Kebangkitan. Dia juga menolak perbedaan antara Muslim dan Non-muslim, mengizinkan para pengikutnya untuk minum anggur, dan menganjurkan pembagian tanah bagi para pengikutnya. Ulama Ottoman menuduhnya telah melakukan bidah dan Syekh Badreddin akhirnya dieksekusi atas perintah Mehmed 1 pada tahun 1416. (Mehrdad Kia, 2011:168)

BEKTASHI

Persaudaraan sufi besar pertama di kerajaan Ottoman yaitu Bektashi. Muncul sebagai kekuatan sosial politik yang kuat pada abad ke 14. Para pemimpin dari tarekat Bektashi memainkan peran penting pada korps Janissari­.

Jika melacak sejarahnya, Bektashi asal usulnya berasal dari seorang guru sufi dari Persia, Haci Bektas Veli yang diyakini hidup pada abad ke-13. Ajaranya mencapai bentuk terbaik ketika Balim Sultan mempimpin tarekat tersebut sekitar abad ke-16. Praktik keagamaannya dipengaruhi oleh kepercayaan, adat istiadat setempat dan beberapa praktik yang dilakukan oleh Islam Syiah serta mendapat pengaruh dari gerakan Hurufi.

Baca Juga:  Kebenaran Bermuka Ganda?

Para anggota Bektashi mengakui dan menghormati ajaran Syiah 12 Imam dan menyakini bahwa Imam Ali sepupu dan menantu Nabi Muhammad saw., yang mereka yakini sebagai satu kesatuan dengan Allah, dan Nabi Muhammad saw. dalam satu kesatuan. Seperti halnya dengan Syiah, tarekat Bektashi juga berduka atas kematian Imam Husain, yang merupakan cucu Nabi yang meninggal pada peristiwa Karbala pada bulan Muharram.

Di bawah pemerintahan Ottoman, para pemimpin Bektashi memperkenalkan ajaran-ajaran mereka ke berbagai wilayah di Balkan, Anatolia dan Arab Timur Tenga, termasuk Mesir. Ketika ajaran tersebar ke wilayah Balkan banyak orang Kristen di Albania, Kosovo dan Makedonia masuk Islam melalui ajaran dan aktivitas Bektashi. (Mehrdad Kia, 2011:171)

MAULAWI / MEVLEVIS.

Saingan terbesar Bektashi adalah Mevlevi, yang menikmati populatitas luar biasa di antara elit penguaasa Ottoman. Pendiri tarekat tersebut, salah satu penyair besar Persia yang sangat dicintai, adalah Maulana Jalaluddin Rumi, lahir pada 1207 di Balkh daerah Afghanistan. Sebelum penyerbuan Mongol pada 1215 Rumi meinggalkan kotanya dan menetap di Konya ibukota Seljuk di Anatolia Tengah. Rumi di sana tinggal dan menulis hingga ia meninggal pada 1273, dia dimakamkan di samping ayahnya, Bahauddin Walad.

Rumi semasa hidupnya sangat dipengaruhi oleh gurunya seorang sufi Persia, Shams Tabriz. Syam mempengaruhi Rumi untuk mengarang salah satu masterpiece puisi Persia, Divan-i Shams-i Tabriz-i, di mana pada karya tersebut Rumi mengungkapkan cinta yang dalam, kekaguman, dan pengabdian untuk Syams.

Seperti halnya Bektashi, Maulawiyah juga menjadi sasaran serangan  dari ulama kerajaan, yang mengkritik penggunaan musik dan tarian sebagai cara beribadah dan menganggapnya tidak Islami. Pada tahun 1516 ketika Selim 1 bergerak melawan dinasti Safwi di Iran, Syeikhul-Islam membujuk sultan untuk memerintahkan penghancuran makam Rumi di Konya yang merupakan jantung aktivitas kegiatan Maulawiyah, tetapi perinah itu dicabut oleh sultan.

Baca Juga:  Yang Sirna dari Kita: Tabayun

Namun situasi sangat berbeda pada masa berikutnya, para anggota dan pemimpin Maulwaiyah mendapatkan penghormatan dari kerajaan. Misalnya pada tahun 1634, Murad IV menyerahkan hasil pajak dari non-Muslim Konya untuk kepada pemimpin Maulawiyah. Pada tahun 1648 pemimpin tarekat ini mendapatkan sebuah penghormatan dengan melantik sultan baru. Pada masa Sultan Selim III, sang Sultan mengunjungi tekke atau pondokan tarekat, upacara musik yang dulunya dilakukan hanya pada hari Selasa dan Jumat dilakukan setiap hari. (Mehrdad Kia, 2011:175)

Selain dua tarekat di atas masih ada tarekat-tarekat lain yang mempunyai nama besar di kerajaan Ottoman seperti Naqsabandi dan Suhrawardi. Naqsabandi yang berasal dari Asia Tengah datang pada masa Ottoman sekitar abad ke-15 berbeda dengan dua tarekat di atas, Naqsabandi masih mempraktikan praktik-praktik keagamaan yang sesuai dengan aturan hukum Islam. Tarekat ini mempunyai kecenderungan anti-Safawi sehingga pada penyerbuan Safawi, Sultan Ottoman membuat koalisi dengan tarekat ini.  Beberapa tokoh seperti Abdullah Ilyas dan Ahmad Bukhari mendapatkan tempat di kerajaan. (John Curry dalam Lloyd Ridgeon, 2020: 410)

0 Shares:
You May Also Like