Anak Abnormal: Rasionalitas & Keimanan

Di sore hari saya bertemu dengan seorang nenek dan cucunya yang tidak normal. Saya melihat si nenek itu begitu menyayangi cucunya. Meskipun saya sedikit risih melihat anak itu menarik-narik rambut neneknya. Sontak si nenek merasa sakit. Namun, si nenek tidak marah. Sebuah pemandangan yang menyalakan rasa simpati saya kepada si anak di tengah perbedaannya dengan anak-anak lain yang kita sebut normal; tak memiliki penyakit mental, matanya yang seperti tak fokus. Saya mengenal orang tuanya. Sepertinya memang sengaja diserahkan ke neneknya.

Pemandangan tersebut membuat saya berpikir, kenapa anak bisa seperti itu? Pertanyaan ini mengundang memori-memori saya soal anak-anak abnormal yang pernah saya jumpai. Suatu hari saya diminta mengisi ceramah di sebuah lembaga yang fokus terapi anak-anak abnormal. Istilahnya adalah sekolah segresi—dalam kajian pendidikan—sebuah sekolah yang khusus bagi yang abnormal. Di Lombok Timur—tempat tinggal saya—bisa dibilang tidak banyak, masih bisa dihitung dengan jari. Lembaga tempat saya ceramah itu hanya ada dua yaitu Mataram dan Lombok Timur. Sedang Sekolah Luar Biasa (SLB) sendiri hanya dua setahu saya; daerah Masbagek dan Selong untuk di Lombok Timur.

Di dalam ceramah itu, saya sampaikan bagaiamana pandangan Islam terhadap anak. Bahwa anak adalah amanah Tuhan untuk dijaga dan dirawat. Anak tidaklah untuk disesali dan dilihat sebagai masalah dalam kehidupan—mungkin ini sulit dipraktikkan dengan mereka sendiri yang merasakan. Saya hanya menyampaikan perspektif Islam terkait soal ini, tanpa merasa menjadi manusia yang paling kuat dalam menjalani yang secara kasat mata adalah sebuah ujian. Bayangkan saja seorang tua dan anaknya yang abnormal. Mungkin sulit.

Namun saya pikir, menyalahkan keadaan, menyesalkan anak terus menerus bisa membunuh kita secara perlahan. Betapa tidak menyenangkan hidup yang seperti ini. Kita tak punya pilihan lain selain harus realistis dalam memposisikan hal-hal yang memang tidak bisa kita kendalikan. Orang yang seperti ini banyak di masa lalu, meletakkan sesuatu pada tempatnya. Adalah Stoikisme yang menyebut hal-hal yang bisa kita kendalikan adalah apa yang ada dalam diri kita saja, sedang segala yang berada di luar diri kita tak mungkin dan tak bisa. Sehingga memikirkan hal yang memang tak bisa kita kendalikan adalah sebuah sikap konyol, bodoh, tidak realistis dan logika kita yang salah.

Baca Juga:  Menjadi Hamba, Menjadi Mulia

Dalam bahasa agama itu disebut rida terhadap ketentuan Tuhan; tepatnya menerima takdir Allah. Untuk orang yang beragama, Tuhan adalah premis awal yang akan menentukan pandangan mereka berikutnya. Seperti kasus ini, premis pertama adalah, semua hal sudah ditentukan oleh Tuhan. Supaya koheren dan benar logikanya, maka, jika tidak menerima apa yang terjadi, bermakna secara otomatis tidak setuju dengan ketentuan Tuhan. Hal semacam inilah yang juga dikritik oleh Islam dulu di awal-awal; perempuan-perempuan yang menyiksa diri karena meninggal suaminya. Tindakan menyiksa diri ini yang dikategorikan sebagai ketidak setujuan terhadap ketentuan Tuhan, sehingga dalam Islam, tak boleh bersedih lebih dari 3 hari.

Begitu juga dengan kasus yang lain. Termasuk soal anak yang saya sebut di awal. Demikian sebuah tawaran cara pandang yang saya pikir bagus untuk dipakai. Rasional sekali menyebut sebuah kekonyolan memikirkan hal yang memang tak bisa dikendalikan. Saya pikir bagusnya seperti itu. Telah jelas, baik perspektif yang meyakini Tuhan dan tidak, memiliki pandangan yang sama soal lebih utama untuk tidak melihat kehidupan sebagai suatu masalah. Hidup diletakkan sebagai hal lain. Anugerah misalnya. Perspektif ini penting dalam memastikan kebahagian hidup kita. Banyak filsuf menyebut, hidup itu soal sisi yang kita lihat layaknya Anda tidak jadi mandi di pantai karena ombak yang besar dan seorang nelayan yang habis memancing dan mendapatkan ikan yang banyak. Nelayan sangat bersyukur, sedang yang lain mungkin tidak. Betapa relatifnya sebenarnya. Coba perhatikan bagaimana peneliti bencana alam melihat bencana terjadi. Minimal mereka akan bersyukur karena bisa menjadi objek penelitian. Secara sederhana, kesyukuran itu, karena sudut yang kita lihat.

Hidup kemudian adalah soal cara pandang kita. Ia dapat menentukan bahagia tidaknya kita. Meletakkan hidup bukan dari masalah adalah cara pandang dari mereka yang mengusung pendidikan inklusi; anak tidaklah dilihat sebagai sebuah masalah. Tugas kita menurut pengusung pendidikan berparadigma inklusi adalah memastikan segala tindakan yang diberikan kepada anak, berorientasi kepada kebutuhan anak sendiri. Beginilah pendidikan inklusi dibuat. Kurikulumnya diharuskan sesuai dengan setiap kondisi anak. Berbeda dengan sekolah yang mengharuskan anak mengikuti kurikulum. Bagi pendidikan inklusi, anak abnormal membutuhkan lingkungan yang mendukung. Bukan hanya untuk yang abnormal bahkan, tetapi ke semua anak. Karena pada dasarnya pendidikan inklusi adalah bentuk dari pengembangan pelayanan dari sebuah institusi pendidikan, bukan yang lain. Soal pendidikan adalah hak setiap anak. Kekurangan lembaga pendidikan selama ini adalah persoalan akses yang disediakan bagi setiap anak.

Baca Juga:  FILSAFAT ISLAM: MENYELAMATKAN DAN MENDAMAIKAN

Pendidikan inklusi sendiri adalah hasil evaluasi dari kekurangan dari sekolah segresi dan reguler; memisahkan yang abnormal dilihat kurang bagus, apalagi memaksakan yang abnormal mengikuti kurikulum mereka yang normal. Sehingga paradigma inklusi mewacanakan pendidkan yang harus berpihak pada kebutuhan setiap anak dengan segala perbedaannya. Seperti inilah orang Skandanavia memulai lalu membuat gerakan dalam menciptakan sekolah yang kondusif untuk siapapun, tidak memandang rupa, fisik dan kekurangan. Pendidikan diletakkan sebagai hak universal bagi setiap manusia. Anak dilihat memiliki keunikan masing-masing. Anda mungkin pernah menonton film India; tentang seorang anak yang mengalami kesulitan dalam memahami semua mata pelajaran menghitung, namun memiliki kelebihan dalam hal seni. Keadaannya si orang tua mengganggap jika pintar eksak bermakna Anda itu cerdas. Film ini diambil dari kisah nyata. Gurunya juga dulunya merupakan seorang abnormal yang kemudian sangat memperjuangkannya. Anda perlu menontonnya.

Previous Article

ANARKISME EPISTEMOLOGIS PAUL FEYERABEND DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMIKIRAN ISLAM

Next Article

Sufisme dan Ottoman

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨