ANARKISME EPISTEMOLOGIS PAUL FEYERABEND DAN IMPLIKASINYA BAGI PEMIKIRAN ISLAM

Perkembangan filsafat dari hari ke hari semakin menunjukan satu trend yang positif. Hal tersebut setidaknya terjadi di Yogyakarta dengan adanya Ngaji Filsafat. Fakta tersebut setidaknya terlihat dari antusias para santri yang menghadirinya. Dari waktu ke waktu semakin bertambah, dan berasal dari latar belakang yang beraneka ragam. Perkembangan ini setidaknya menjadi cahaya baru dalam dunia filsafat yang harus terus dijaga dan dikembangkan demi kemajuan filsafat di masa yang akan datang.

Perkembangan ini tidak hanya terjadi dari segi kuantitas saja. Dalam cermatan penulis, perkembangan lebih jauh, juga terjadi pada aspek kualitas, baik itu dari banyaknya mahasiswa/i yang serius belajar filsafat dan mempunyai wawasan bagus dalam bidang ini, juga banyaknya tokoh-tokoh baru yang kemudian dikaji, diangkat menjadi bahan pengkajian serta diskusi baru, seperti Paul Feyerabend. Hal ini akan menjadi semangat baru dan juga perspektif baru dalam mengembangkan teori-teori filsafat.

Pada masa Feyerabend, wacana besar yang berkembang dalam dunia sains adalah positivisme logis yang digagas oleh kelompok ilmuan di Wina yang tergabung dalam Vienna Circle (Lingkaran Wina atau Lingkungan Wina). Kelompok ini sangat dipengaruhi oleh gagasan Auguste Comte tentang positivisme dalam mengembangkan teorinya. Oleh sebab itulah kemudian kelompok ini juga disebut sebagai neo-positivisme. Gagasan- gagasan penting kelompok ini terbagi ke dalam empat pokok pikiran, yaitu:

(1) Penolakan terhadap pembedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial; (2) menganggap pernyataan yang tidak dapat diverifikasi sebagai pernyataan yang tidak bermakna atau nonsense; (3) berusaha mempersatukan semua ilmu pengetahuan ke dalam satu bahasa universal; dan (4) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan (Budi Hardiman, 2009: 27).

Baca Juga:  Bahagia Bersama Tuhan: Catatan Ngaji Kimiya-u as-Sa’adah

Selanjutnya, Feyerabend menjelaskan bahwa, teori mengajari kita apa yang dapat kita pahami. Di sinilah kritik Feyerabend terhadap spesialisasi keilmuan. Feyerabend tidak setuju dengan hal tersebut, sebab dapat mempersempit kemampuan dan pengetahuan manusia yang seharusnya bisa lebih dari itu. Kuhn, menurut Feyerabend juga lebih fokus pada komunitas ilmiah, sehingga memunculkan anggapan bahwa, sains yang benar dan yang harus diikuti adalah yang disepakati oleh komunitas ilmiah (M. Shofiyyuddin, 2015: 188).

Ilmuan besar layaknya The Beatels, yang menjadi patron musik, bahkan hingga mereka pensiun. Ilmuan besar ini, hakikatnya adalah penemu. Sementara, ilmuan kecil adalah band-band yang meniru The Beatels, tanpa punya kreativitas dan originalitas. Jika hanya mengikuti dan meniru begitu saja, menurut Feyerabend sains tidak akan berkembang (Lihat Ngaji Filsafat Fahruddin Faiz).

Secanggih apapun sains menurut Feyerabend, ia tergantung pada observasi, dan observasi tergantung pada bahasa. Terlihat bahwa, sains menurut Feyerabend sangat subjektif. Pandangan Feyerabend sering disebut sebagai “anarkisme epistemologis”, sebab sains menurutnya harus tanpa aturan apapun. Sehingga sains itu memiliki dua prinsip: prinsip anything goes dan prinsip proliferation. Anything goes bermaksud tidak ingin membatasi aspek apapun dalam sains, apapun silahkan jalan.

Implikasi pemikiran Paul Feyerabend bagi pemikiran Islam, penulis kira dapat sangat banyak. Terutama karena metode Feyerabend bisa menjadi salah satu alternatif pemikiran atau metode yang mungkin dikembangkan dan diterapkan dalam dunia Islam, misalnya dalam tafsir, seperti yang diungkapkan Kurdi dalam tulisannya: “Melalui prinsip anything goes (“apapun boleh”), Feyerabend ingin menghidupkan kembali ilmu pengetahuan sebagai ekspresi kebebasan kaum intelektual dalam menyuarakan hasil pemikirannya.

Lalu, dalam konteks studi tafsir Al-Qur’an, prinsip “apapun boleh” ini telah mewarnai setiap aliran seperti dijelaskan di atas. Beberapa metode dan pendekatan tafsir di atas dihadirkan oleh para mufasir dengan ciri khas masing-masing. Satu metode ditawarkan kemudian muncul metode yang lain untuk mengimbanginya”. Metode tertentu yang pernah mendominasi panggung studi Al-Qur’an, kemudian metode yang lain hadir sebagai bentuk “perlawanan” sekaligus kritik atas kekurangan atau kelemahan metode pertama, dan begitu seterusnya.

Baca Juga:  Apa Benar Filsafat itu Rumit dan Menyesatkan?

Sebagian mufasir juga menggunakan pendekatan tertentu dalam menggali kandungan ayat, kemudian mufasir lain hadir memakai pendekatan yang lain. Hadirnya beragam metode dan pendekatan itu sebagai bentuk “kontestasi intelektual” dalam diskursus tafsir Al-Qur’an. Semuanya berada dalam prinsip “anything goes” (apapun boleh), sehingga satu metode atau pendekatan tidak boleh “mengebiri” metode atau pendekatan yang lain (Kurdi, 2015: 20).

Selain itu dalam bidang pemikiran Islam, implikasi dari pemikiran Feyerabend adalah, memungkinkan munculnya kreativitas dalam ragam disiplin ilmu keislaman. Hal tersebut sangat berguna bagi perkembangan Islam di masa yang akan datang. Kreativitas seseorang di mana pun ia berada, seyogyanya tidak harus dibatasi oleh seperangkat aturan-aturan ilmiah, bagitupun dalam Islam. Harus ada yang mau dan tergerak untuk terus mengembangkan teori apapun bentuknya, tidak peduli relevansi teori tersebut ketika diciptakan.

Sebab akan membuat sains dalam Islam juga tidak berkembang, yang seharusnya dilakukan adalah dengan terus berteori tanpa harus dihalangi oleh metode atau aturan-aturan tertentu, sehingga sains dalam Islam kaya akan teori. Hal tersebut yang sangat penting untuk dilakukan demi perkembangan sains dalam Islam ke depannya. Dari uraian di di atas, dapat diketahui dua prinsip utama dalam sains, yaitu prinsip anything goes dan prinsip proliferation. Anything goes bermaksud tidak ingin membatasi aspek apapun dalam sains.

Apapun silahkan jalan, tanpa harus terlalu mengikuti aturan-aturan ilmiah yang berlaku. Proliferation merupakan prinsip pengembangbiakan, biarkan sains berkembang, biarkan semakin banyak perspsektif, semakin banyak teori, tidak usah dipikirkan relevan atau tidak teori tersebut. Sebab akan ada seleksinya sendiri. Setidaknya itulah yang menurut penulis menjadi kunci dari teori Feyerabend yang dikenal dengan anarkisme epistemologi.

Baca Juga:  Muara Agama Esoterik: Menjadi Pribadi Transendental

Meskipun uraiannya panjang, secara singkat dapat dijabarkan demikian. Tentu pemikiran dan gagasan tersebut tidak lahir begitu saja dalam ruang hampa, hal tersebut muncul dari berbagai persentuhan dengan gagasan-gagasan, dan perenungan lainnya yang dilakukan Feyerabend.

Daftar Bacaan:

Hardiman, Budi F. 2009. Kritik Ideologi. Yogyakarta: Kanisius.
Kurdi. ‘Epistemologi Anarkisme Paul Feyerabend dalam Studi Ilmu Tafsir Al-Quran’. Religia 18.1 (April 2015).
Shofiyyuddin, M. ‘Anarki Epistemologis Paul Karl Feyerabend dan Relevansinya Pada Epistemologi Tafsir Al-Qur’an’. Hermeneutik. 9.1 (Juni 2015).
Faiz, Fahruddin. “Anarkisme Epistemologi: Paul Feyerabend” dalam
https://www.youtube.com/watch?v=ALDgeyyWADY, diakses pada tanggal 29 Oktober 2018, pukul 20.30 WIB.

 

0 Shares:
You May Also Like