Al-Qur’an sebagai Guru Spiritual Manusia

Oleh: Rahayu Syahidah Karbela

Mahasiswa Pascasarjana STFI Sadra Jakarta

Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah swt. untuk mengajarkan dan menyucikan rohani manusia. Ruh, di satu sisi adalah sebuah eksistensi abstrak yang tidak bersifat feminin ataupun maskulin. Al-Qur’an berbicara tentang pembersihan rohani, dan tidak membicarakan jenis perempuan atau laki-laki sehingga keduanya adalah sama.

Dunia Barat menganggap bahwa manusia ada dua macam, yaitu perempuan dan laki-laki. Namun, dalam hal menerima pengajaran dan pendidikan, keduanya disamakan. Artinya, mereka menganggap laki-laki setara dengan perempuan. Tetapi pernyataan mereka invalid karena predikatnya tidak ada. Itu berarti, ada perempuan dan laki-laki, tetapi keduanya tidak berbeda.

Ketika Islam mengatakan bahwa tujuan penurunan wahyu adalah untuk memberikan pengajaran dan pendidikan, serta menyucikan jiwa dan hati, tentunya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Hal itu invalid karena subjeknya tidak ada, bukan karena predikatnya tidak ada. Artinya, sasaran pengajaran dan pendidikan adalah ruh manusia. Ruh bukanlah laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, memberi predikat ‘sama’ tidaklah tepat dalam sebuah premis afirmatif. Pemberian predikat ‘tidak sama’ juga tidak tepat karena subjeknya (ruh) tidak dikategorikan laki-laki atau perempuan. Selain itu, hendaklah dibedakan antara premis afirmatif dan premis negatif yang memuat sebuah subjek dan yang tidak memuat predikat dari predikat negatif yang valid apabila tidak memuat subjek.

Kesimpulan dari pembahasan tersebut bahwa pertama, laki-laki dan perempuan hanya berkaitan dengan tubuh, bukan berkaitan dengan ruh. Kedua, pengajaran, pendidikan, bimbingan dan kesucian berkaitan dengan nafs (jiwa). Ketiga, nafs (jiwa) bukan jasad, dan jasad bukan nafs. Dalam Al-Qur’an terlihat bahwa ruh-lah yang dijadikan dasar, bukan raga. Ruh bukanlah laki-laki dan perempuan.

Baca Juga:  Takdir dan Konsep Kebebasan Manusia (Bagian 2)

Sesungguhnya dilihat dari satu sisi, ruh adalah eksistensi immaterial yang tidak memiliki kerangka untuk menjadi seperti ini atau itu. Allah swt berfirman;

“Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya!, lalu dia mengilhaminya (yakni memberi potensi dan kemampuan bagi jiwa untuk menelusuri jalan) kedurhakaan dan ketakwaannya” (QS. Al-Syams [91]: 7-8).

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)-nya, dan telah Ku-tiupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dalam keadaan bersujud.” (QS Al-Hijr [15]: 29)

“Hai manusia, sesungguhnya kamu giat (bekerja) menuju Tuhan Pemeliharamu dengan kesungguhan, maka kamu akan menemui-Nya” (QS. Al-Insyiqaq [84]: 6).

Lalu, apakah jasad itu ikut bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Allah, sehingga dikatakan bahwa mereka yang pergi ada dua unsur, yaitu sebagian mereka kaum laki-laki, sebagian yang lain adalah kaum perempuan? Tentu tidak. Yang pergi menuju Allah adalah ruh manusia, dan ia tidak berjenis kelamin perempuan ataupun laki-laki.

Dalam Al-Qur’an, Allah swt. mengatakan bahwa ada beberapa hal yang diajarkan-Nya kepada manusia, yang bukan saja jauh dari jangkauan manusia pada masa lalu, sekarang ataupun masa yang akan datang, tetapi lebih dari itu, manusia tidak akan mampu memahami dan menjangkaunya tanpa pengajaran langsung dari sisi-Nya. Itulah pengetahuan yang hanya dibawa oleh para Nabi.

“…Serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al-Baqarah [2]: 151).

Bukan hanya mengajarkan sesuatu yang belum diketahui, tetapi Al-Qur’an juga mengajari manusia sesuatu yang tidak mampu dipahami sendiri oleh manusia. Ayat ini akan selalu tetap segar setiap hari. Setiap hari, ia mengajak bicara kita dan berkata, “Sesungguhnya aku memiliki sebuah penjelasan yang baru dan segar yang tidak dijangkau oleh manusia.” Inilah ungkapan yang tinggi yang difirmankan oleh Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw., “Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al-Nisa [4 : 113)

Baca Juga:  Ateis yang Tulus Bukanlah Ateis

Maksud ayat tersebut bukanlah mengajarkan kepada Nabi saw. sesuatu yang belum dan tidak beliau ketahui. Nabi Muhammad saw. memiliki kecerdasan dan kemampuan yang sangat tinggi untuk menerima sesuatu yang spesial dan luar biasa. Sesungguhnya Allah swt. mengatakan bahwa diri-Nya telah mengajari Rasulullah saw. sesuatu yang diri Nabi sendiri tidak mampu mengajarkannya, antara lain, masalah ghaib, alam barzakh, kiamat, surga, neraka, al-asma al-husna (nama-nama Allah yang baik) dan ratusan masalah ghaib lainnya. Semua itu tidak dapat dijangkau oleh manusia tanpa anugerah pengajaran langsung dari Allah swt. Oleh karena itu, Kalam Ilahi setiap hari selalu baru dan segar. Allah swt. berfirman, “Serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (QS. Al-Bqarah [2]: 151)                 

Previous Article

Tafsir Sufi: Melihat Tuhan dengan Berimajinasi (2)

Next Article

Hamba Sempurna Tak Punya Kehendak

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨