SAINS ITU PRODUK KHAYAL (JUGA). YA, KHAYAL! BAHKAN DIILHAMI KITAB SUCI JUGA

Oleh: Haidar Bagir

Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Suatu kali sebuah buku ditulis dengan judul menarik: The Poetry and Music of Science (diterbitkan oleh Oxford University Press). Penulisnya Tom McLeish, seorang ahli Fisika Teoretis, yang dikenal sebagai peneliti materi lunak (soft matter). Isinya berusaha berargumentasi bahwa sesungguhnya perkembangan sains tak pernah bisa terlepas dari seni, tepatnya dari kekuatan imajinasi  yang biasanya mencirikan seni.

Saya khawatir, memang belum banyak orang yang tahu bahwa tak ada satu pun penemuan besar di bidang sains yang tak melibatkan kerja imajinasi. Ya, khayal. Orang bisa sangat kagum kepada Einstein, tapi jangan-jangan tak ada yang menganggap serius ucapannya: “Saya ini boleh dibilang adalah seniman juga, yakni dalam hal saya banyak mengambil dengan bebas dari imajinasi saya. (Sesungguhnya) imajinasi lebih penting daripada pengetahuan (rasional). Pengetahuan itu terbatas. Imajinasi merangkul dunia”.

Menurut Einstein sendiri, teori relativitas khusus dan umum tak akan pernah ditemukannya kalau saja dia tak berimajinasi menunggangi gelombang-gelombang cahaya sambil mengamati perilaku cahaya gelombang lain yang bergerak sejajar dengan gerakannya.

Einstein tidak sendirian. Imajinasi model begini amat mudah ditemukan dalam proses penemuan ilmiah yang mengubah dunia, termasuk penemuan gelombang elektromagnetik oleh Michael Faraday, tabel periodik unsur kimia oleh Mendeliyef, ratusan gagasan matematis oleh Srinivasa Ramanuja—yang hampir semuanya diperoleh langsung dari para dewa-dewi yang datang dalam mimpi ketika dia sedang tidur—dan penemuan struktur atom oleh Niels Bohr. Imajinasi-imajinasi semacam ini biasa disebut sebagai imajinasi kreatif.

Dilihat dari satu sisi ada 2 jenis imajinasi, satu  yang terbentuk waktu seseorang dalam keadaan jaga, yang lain berupa mimpi. Mendeliyef, misalnya, juga mendapatkan ilham tentang tabel unsur kimia lewat mimpi. Masih ada lagi penemuan lain yang diperoleh lewat mimpi, yakni rumus kimia (anorganik) benzene. Dan banyak lagi. Hal seperti ini sebetulnya dicatat dalam buku-buku filsafat dan sejarah sains. Sedemikian sehingga Hans Reichenbach memperkenalkan pembedaan antara context of discovery dan context of justification. Dalam teori—yang belakangan dikembangkan lebih jauh—ini terkandung pandangan bahwa penemuan teori saintifik bisa saja terjadi lewat cara-cara nonsaintifik, termasuk lewat imajinasi atau mimpi. Maka, bagi sebagian teoretisi sains, yang menjadikan sebuah inovasi atau teori bersifat saintifik bukanlah context of discovery, melainkan context of justification. Yakni bagaimana sebuah teori dibuktikan kebenarannya sepanjang cara-cara justifilasi saintifik. Termasuk di dalamnya cara koherensi (logis), korespondensi (empiris), atau pun kegunaan praktis (pragmatis).

Baca Juga:  Hikmah Muta'aliyah dan Kontribusinya untuk Paradigma Beragama

Karena prinsip ini juga, maka panitia Hadiah Nobel Fisika tahun 1979 tidak mempersoalkan ketika mereka memberi hadiah Nobel di bidang ilmu Fisika kepada Prof Abdus Salam, yang mengaku mendapatkan inspirasi penemuannya yang menyumbang dalam penyusunan teori penyatuan gaya elektromagnetik dan gaya nuklir lemah, dari Alquran. Ya, Alquran, Kitab Suci Agama Islam. Maka jangan jadi orang yang gampang gumunan (terkagum-kagum sampai melongo) akibat kurang wawasan, sehingga gagal melihat bahwa sains sesungguhnya tak sesaintifik itu. Atau bahwa khayal, bahkan, agama bisa berbagi ilham dengan sains. Dari sini, mari kita soroti sekadarnya uraian tentang epistemologi dalam sains. Setelah ini.

0 Shares:
You May Also Like