Hikmah Muta’aliyah dan Kontribusinya untuk Paradigma Beragama

Al-Hikmah al-Muta’aliyah (Hikmah Transenden) merupakan gabungan atas berbagai aliran pemikiran filsafat yang membentuk gugusan hikmah yang solid mengenai realitas ‘ada’ (wujud). Target utamanya adalah penyingkapan makna ‘ada’ dengan sebenar-benarnya ada tanpa intervensi ruang dan waktu yang membuat ada begitu terbatas.

Pelbagai kendala memahami realitas yang menjungkirbalikkan filsuf Muslim maupun Barat selama ini setidaknya telah teratasi oleh Hikmah Muta’aliyah-nya Mulla Sadra. Ia mengubah sejumlah konsep filsafat yang sebelumnya dianggap mapan dan berkaliber tinggi, namun faktanya memiliki kerapuhan yang sulit dijangkau bahkan bagi para pencetusnya sendiri.

Beberapa kontribusi hikmah (filsafat) yang bisa membuat siapapun tercengang setelah memahaminya antara lain kemendasaran ada (ashalah al-wujud), beberapa kalangan menyebutnya kesejatian atau fundamentalitas wujud. Konsep kemendasaran esensi (ashalah al-mahiyah) yang dijunjung tinggi oleh Suhrawardi dan partisipan Iluminasionisme kini telah tumbang berhadapan dengan Ashalah al-Wujud.

Kerapuhan Ashalah al-Mahiyah

Kelemahan mahiyah dihadapan wujud bisa dibuktikan dari argumen berikut: Jika mahiyah adalah entitas yang hakiki dan wujud adalah entitas yang majasi (al-i’tibari), maka selamanya tidak akan terjadi kesatuan hakiki (al-wahdah al-haqiqiyah). Oleh karena tidak terjadi kesatuan hakiki, maka mustahil pula terjadi penyatuan antara dua mahiyah. Hasilnya, tidak akan terjadi predikasi maupun relasi sebagai bentuk kesatuan dua maujud, yakni penyatuan antara wujud subyek dengan wujud predikat. Perlu diketahui, terjadinya predikasi merupakan suatu hal yang niscaya dan tidak mungkin diingkari.

Jika argumen di atas dirasa masih sukar dimengerti, berikut akan diperjelas lagi. Mahiyah merupakan konsep yang merangkum berbagai maujud berikut sifat-sifatnya untuk mengenal entitas tertentu. Filsafat Islam mengartikannya sebagai ke-apa-an suatu maujud. Singkatnya, ia adalah sesuatu yang secara zat bukan sesuatu yang lain melainkan dirinya sendiri. ‘Sesuatu yang bukan sesuatu yang lain melainkan hanya sesuatu itu’ sendiri tentu sangat banyak ragamnya.

Oleh karena itu, mahiyah menjadi biang munculnya keberagaman, kejamakan, dan perbedaan. Ashalatul Mahiyah berpendapat bahwa mahiyah adalah sesuatu yang hakiki, fundamen, dan sejati. Jika tiap-tiap sesuatu yang saling berbeda itu bersifat fundamen dan tentunya berdiri sendiri, maka bayangkan begitu banyaknya sesuatu yang terpisah-pisah tanpa bisa direlasikan. Danau Toba, misalnya, tak mungkin Toba bisa dipredikasikan ke Danau kalau toh keduanya memiliki fundamentalitasnya masing-masing.

Baca Juga:  Ibadah Terbaik untuk Tuhan: Membahagiakan Orang-orang Yang Sedih

Danau ada untuk diri dia sendiri, Toba ada untuk diri dia sendiri, keduanya jelas berbeda secara mahiyah. Danau adalah genangan air yang melimpah di atas kubangan bumi, Toba adalah suku yang mendiami bagian wilayah di Sumatera Utara. Dua hal yang berbeda secara zat dan sifat bagaimana mungkin bisa menyatu?

Ini masih soal perbedaan antar makhluk/maujud. Jika kita ambil contoh manusia dan Tuhan, akan sangat besar dampaknya. Manusia, dengan segala sifat dan zatnya tentu berbeda dengan Allah. Lalu, kita menyebut bahwa manusia adalah hamba Allah. Bagi yang meyakini Ashalatul Mahiyah, ia akan jatuh pada kemusyrikan. Sebab keyakinannya mengatakan bahwa manusia dan Allah berbeda dan mempunyai fundamentalitasnya masing-masing.

Keduanya selamanya tak akan pernah memiliki relasi bahkan mustahil menyatu karena berdiri masing-masing. Implikasinya, Allah ada karena diri-Nya sendiri, manusia ada karena dirinya sendiri. Predikasi hamba atas diri manusia terhadap Allah dengan sendirinya gugur karena masing-masing memiliki kesejatiannya sendiri-sendiri. Pun demikian predikasi pencipta atas diri Allah terhadap makhluk-Nya seketika lenyap karena makhluk menjadi setara dengan-Nya.

Jika Allah itu Maha Pencipta, bagaimana mungkin ia menciptakan manusia yang ada karena dirinya sendiri? Keyakinan ini jelas bisa membatalkan iman umat Muslim.

Kokohnya Ashalah al-Wujud

Keganjilan pandangan inilah yang hendak diatasi dengan Ashalatul Wujud. Kekacauan argumen Ashalatul Mahiyah selamanya akan menemui kebuntuan jika tidak ada rekonstruksi pemahaman mana yang paling sejati antara mahiyah atau wujud. Untuk itu, Mulla Sadra yang menengarai terjadinya kekeliruan dalam pandangan Ashalatul Mahiyah, menjelaskan bahwa semua mahiyah dapat saling mempredikasi dan berelasi jika mengedepankan Ashalatul Wujud.

Tanpa mengurangi makna wujud, perlu diketahui bahwa wujud merupakan hakikat yang tidak memiliki batasan dan kekurangan. Segala sesuatu ada berkat wujud itu sendiri, hatta mahiyah sekalipun pun. Oleh karenanya, segala mahiyah sejatinya dapat terhubung dengan mahiyah yang lain berkat perantaraan wujud.

Baca Juga:  Iktikaf ke Iqra': Dari Ritual ke Zikir Sosial

Pasalnya, wujud sendiri menyelimuti beragam mahiyah. Wujud menjadi dasar dan semestinya ia menjadi garis start sebelum berlanjut ke mahiyah. Sampai di sini, kita telah membuktikan bahwa wujudlah yang sejati, bukan mahiyah. Dengan begitu, Ashalatul Mahiyah telah gugur dan harus rela bertekuk lutut di hadapan Ashalatul Wujud.

Selain prinsip hikmah di atas, Sadra juga telah membuat klaim pluralitas ada (katsrah al-wujud) milik Ibnu Sina dan simpatisan Peripatetik babak belur dengan tiga pukulan konsep sekaligus: wujud mandiri (wujud mustaqil), wujud bergantung (wujud rabith), dan unitas wujud yang beragam (al-wahdah fi ‘ain al-katsrah). Di samping gagasan-gagasan tersebut, masih banyak lagi kontribusi Sadra di bidang filsafat yang bila dipahami secara serius dapat dijadikan fondasi yang kokoh dalam keyakinan, khususnya beragama.

Paradigma Beragama: Memahami Wujud, Memahami Tuhan

Dalam konteks Ashalatul Wujud, di sana orang yang memahaminya akan beranggapan bahwa sesuatu yang ada tak mesti terindra. Sebab, jika mengakui realitas sebatas pada apa yang terindra, maka terjadi kontradiksi besar atas berbagai keyakinannya. Contoh tentang keyakinan adanya Tuhan, manusia bisa mengatakan ia bertuhan tapi tidak melihat Tuhan itu sendiri. Namun, pada saat yang sama ia beranggapan bahwa sesuatu yang ada ialah apa yang dapat dilihat, diraba, dirasa, didengar, dicium dan sifat-sifat empirisme lainnya.

Demi menjustifikasi keberadaan Tuhan yang belum ia temui dengan daya indrawinya, di samping juga agar dipandang bertuhan dengan mayoritas sesamanya, Tuhan pun ia jadikan konsep dalam khayalannya. Tuhan tak lebih hanya imajinasi yang dipaksakan ada untuk kemudian ia sembah dan ia merasa nyaman dengannya.

Ashalatul Wujud membawa kita untuk memaknai ada tanpa adanya batasan empiris. Lagi pula, memang seperti itulah yang dinamakan ‘ada’. Ada tidak terikat dengan ruang, massa, dan waktu. Ada justru melingkupi hal itu semua. Ada membuat beragam yang ada (empiris) menjadi ada. Tanpanya, semuanya adalah ketiadaan.

Pandangan mengenai ‘ada’ tersebut menjadi titik tolak untuk memahami realitas sebagai bekal pandangan dunia agar manusia tidak terkurung dalam pandangan yang meruang. Efek turunan pandangan yang meruang sangat besar terhadap keyakinan beragama. Sesuatu yang meruang adalah pola yang tertanam dalam keyakinan materialisme. Seorang materialis hanya akan menganggap nilai itu sebagai angka-angka, ukuran, ataupun kuantitas.

Baca Juga:  MANUSIA DAN KEMUNGKINAN ULTIMNYA DALAM AL-QUR’AN

Jika ini diadopsi oleh orang yang mengaku beragama, maka segala ajarannya mesti menghasilkan nilai materi, di samping ia juga butuh nilai non-materi yang sebenarnya hanyalah keyakinan semu. Sedekah bagi dia harus ada nilai simbiosis mutualisme yang mengharuskan pundi-pundi rekening dan sahamnya bertambah karena itu yang menjadi orientasi dalam amalnya. Tanpa adanya feedback materi, ia akan menduga-duga bahwa sedekahnya itu bukan amal yang diterima oleh Tuhan versi dirinya.

Demikian jika ia melihat keberagaman makhluk yang ada di dunia namun di saat itu juga ia tidak melihat adanya Tuhan, ia akan kebingungan, mana sebenarnya yang ada, Tuhan atau makhluk? Mengapa makhluk-makhluk lebih ada dibanding Tuhan? Bukankah Tuhan yang menciptakan segala yang ada di alam. Lalu, di mana keberadaan yang menciptakan segala yang ada tersebut? Begitulah seterusnya ia gelagapan mengenal ‘ada’ karena terkurung dalam ruang. Orang seperti ini tanpa sadar telah jatuh ke dalam jurang agnostik.

Hikmah Muta’aliyah membuat kita sadar akan realitas, yakni bagaimana makna ada atau wujud itu serta seperti apa posisi kita terhadapnya. Di akhir perjalanan spiritualnya dalam menyingkap realitas, Mulla Sadra menyimpulkan bahwa wujud yang tak terbatas dan tak meruang itu adalah Tuhan. Dia yang Maha Wujud dan tak tunduk pada ruang dan waktu—justru ruang dan waktulah yang tunduk kepada-Nya—ternyata lebih ‘ada’ dibanding ada versi kita selama ini.

Pandangan hikmah Sadra semestinya yang harus ditanamkan dalam diri setiap manusia agar ia sadar bahwa ada realitas super yang membuat dirinya butuh kepada Sang Wujud. Berkat Hikmah Muta’aliyah, tauhid manusia justru menjadi kokoh tanpa khawatir runtuh akibat percikan-percikan wabah ateis, agnostik, dan beragam keragu-raguan lainnya. Tanpa Hikmah Muta’aliyah, maka keyakinan kita jadi taruhannya.

0 Shares:
You May Also Like