Falsafah Rajab dan Relevansinya bagi Kesempurnaan Insan dalam Sistematika Hikmah Israqiyah

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. al-Ankabut[29]: 69).

Pemaknaan Rajab

Secara etimologi kata rajab berasal dari bahasa Arab, yang bermakna memualiakan dan mengagungkan (Abdul Manan, Keagungan Rajab dan Sya’ban, 2006). Bahruddin bin Abdurrazzaq memaknai rajab melalui pendekatan huruf yang membentuk kata rajab yakni ra’-jim-ba’. Huruf ra‘ bermakna rahmatullah. Sedangkan kata jim diartikan juudullah dan ba’ dimaknai birrullah (kebajikan Allah). Setiap huruf dari kata rajab mengadung rahmat Allah, mendekatkan diri dari berbagai kebaikan, dan meraih kemurahan Sang Pencipta (Ridho Ilahi Dhohir, Kualitas Hadis-Hadis Viral tentang Keutamaan Bulan Rajab, 2019). Dalam surat Al-Taubah [9]: 36 juga dijelaskan bahwa Rajab merupakan satu dari empat bulan yang diharamkan bagi umat Muslim untuk melakukan berbagai perbuatan tercela di muka bumi.

Dari ragam pemaknaan di atas, dapat disimpulkan bahwa Rajab merupakan waktu bagi umat Muslim untuk menyempurnakan dan mengagungkan dirinya dari berbagai perbuatan tercela, demi meraih kemurahan Allah swt. dengan mendekatkan diri kepada-Nya dengan aneka ragam amaliah terpuji yang mengindikasikan terhindarnya eksistensi individu dari berbagai bencana-Nya di realitas.

Dengan demikian, kita bisa memahami bersama bahwa Rajab merupakan bulan yang diberikan Allah swt. untuk menyempurnakan eksistensi manusia yang teraktual melalui peribadahan di realitas, sebagaimana berfirman-Nya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya beribada kepada-Ku)” (QS. Adz-Dzariyah ayat 56).  

Penegasan surat Adz-Dzariyah ayat 56 terhadap pemaknaan Rajab mendeskripsikan relasi kesempurnaan dan penciptaan manusia, bahwa setiap individu diciptakan oleh-Nya untuk mencapai kesempurnaan sebagai tujuan hidupnya, sehingga Allah swt. memberikan 4 bulan, salah satunya Rajab untuk merealisasikan tujuan hidup dan penciptaan manusia, sehingga kita dapat memahami bahwa filosofi dari bulan Rajab, ialah menyempurnakan keberadaan insan untuk merealisasikan nilai penciptaannya di realitas.

Baca Juga:  Fakhr al-Din al-Razi: Sang Filsuf dan Mujaddid

Demi merealisasi kesempurnaan dan nilai penciptaan insan, tentu harus didasari oleh kesadaran individu untuk berbuat baik dan mencegah kemungkaran di bulan Rajab. Kesadaran merupakan basis yang sangat mendasar bahkan setiap niat perbuatan harus didahulu oleh kesadaran insan. Artinya, setiap niat tak akan hadir tanpa refleksi sadar. Tentu, dapat diketahui bahwa sadar begitu penting ditelaah dan dikaji dalam wacana kesempurnaan manusia.

Dalam diskursus kesempurnaan manusia, terdapat beberapa aliran yang membahas masalah eksistensi kesempurnaan insan, seperti Eksistensialisme Barat, Materialisme Barat, dan Filsafat Iluminasi. Akan tetapi, tulisan ini cenderung membahas kesempurnaan insan dalam wacana filsafat Iluminasi dengan mempertimbangkan falsafah Rajab dan kesadaran bersifat immateri atau nir-materi sebagai bandingan pandangan Eksistensialisme dan Materialisme Barat yang membaca kesempurnaan dan kesadaran manusia secara materi.

Kesadaran sebagai Basis Kesempurnaan Manusia

Suhrawardi melalui burhān fitrah menjelaskan setiap manusia telah diberikan pengetahuan bawaan sejak dilahirkan di muka bumi, seperti manusia mengetahui bohong itu perbuatan buruk. Pengetahuan manusia terhadap bohong tidak sekadar diketahui secara akal sehat, melainkan manusia merasakan ketakutan dalam perbuatan bohong. Sebaliknya, ketika manusia berkata jujur, dia tidak merasakan ketakutan dalam ucapannya yang mendeskripsikan jujur bukanlah sesuatu yang buruk. Dari ragam penjelasan tersebut, Suhrawardi memandang pengetahuan bawaan merupakan kendaraan yang dimiliki oleh manusia untuk memahami segala perbuatan baik dan buruk di realitas. Suhrawardi mempertegas burhān fitrat melalui hadis Nabi, “Siapapun yang bertindak berdasarkan pengetahuannya, Tuhan akan mengajarinya apa yang tidak dia ketahui”.

Dari penegasan hadis di atas, dapat diketahui bahwa Suhrawardi memandang pengetahuan manusia bersifat berkelanjutan atau continuous yang meggambarkan kesempurnaan manusia juga bersifat berkelanjutan seiring dengan pengetahuan yang diperolehnya di realitas. Pengetahuan manusia bergantung pada berbagai tindakan manusia dengan mempertimbangkan pengetahuan yang dimilikinya. Sebab setiap tindakan didasari oleh pengetahuan yang mengarah pada kesadaran manusia terhadap objek yang diketahui. Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa dasar atau prinsip dari kesempurnaan manusia ialah kesadaran insan yang dipertegas dalam salah satu hadis, “من عرف نفسه فقد عرف ربه”, bermakna barang siapa mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.

Baca Juga:  Memaknai Kebahagiaan dan Kesedihan

Suhrawardi menyebutkan bahwa kesadaran yang utama, ialah mengenal kedudukan dirinya dan Tuhannya. Manusia yang memahami kedudukan Allah swt. sebagai pemilik alam semesta akan senantiasa berjalan di sisi-Nya dan cenderung menjaga diri dari berbagai perbuatan tercela di muka bumi, sebagaimana tertuang dalam surah Al-Kahfi:18/101 yang artinya: Orang-orang yang matanya dalam keadaan tertutup dari memperhatikan tanda-tanda kebesaran-Ku, dan adalah mereka tidak sanggup mendengar“. Allah swt. menutup setiap mata manusia yang senantiasa berbuat dosa, sehingga ia tidak mengetahui hidayah Tuhan di muka bumi. Implikasinya, manusia tidak memperoleh kesempurnaan terhadap keberadaan Tuhan yang menyebabkan ia jauh dari Tuhan. Jika manusia jauh dari Tuhan, maka ia tidak mengetahui keberadaan dirinya yang menyebabkan hilangnya kesadaran terhadap keberadaannya di realitas.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa konsep kesadaran dalam pandangan Suhrawardi berhubungan dengan fondasi pengetahuan dan perbuatan insan untuk mengetahui keberadaan dirinya dan Tuhannya di realitas. “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini kamu pun dilupakan” (QS. Taha [20]:126).

Relevansi Falsafah Rajab dan Pandangan Suhrawardi

Salah satu relevansi antara falsafah Rajab dan pandangan Suhrawardi, ialah kesempurnaan manusia. Falsafah Rajab berusaha merefleksikan manusia untuk senantiasa berbuat baik, guna mencapai kesempurnaannya sebagai tujuan hidup. Sedangkan, filsafat Suhrawardi menawarkan kesadaran sebagai pengetahuan dan perbuatan manusia untuk mengenali dirinya dan Tuhannya sebagai representasi kesempurnaannya di realitas. Suhrawardi dalam konstruksi filsafat Israqiyah menjelaskan manusia harus menjaga diri dari berbagai perbuatan tercela, sehingga Tuhan memberikan cahaya di hati mereka. “Tuhan senantiasa melemparkan cahaya pengetahuan di hati siapa saja yang dikehendaki-Nya”. Cahaya pengetahuan merupakan media kesempurnaan individu dengan memandang pengetahuan semakin kesempurnaan insan, sehingga semakin manusia menerima cahaya pengetahuan, semakin manusia menyempurna. Akan tetapi, diperlu diperhatikan juga bahwa kesempurnaan yang diperoleh manusia mendeskripsikan keterbebasan dirinya dari berbagai perbuatan tercela.

Baca Juga:  Jangan Putus Harapan dan Teruslah Berdoa

Keterbebasan manusia dari berbagai perbuatan tercela tidak bisa serta-merta terjadi secara langsung dalam kehidupan manusia. Bulan Rajab yang dipandang sebagai bulan keagungan untuk meningkatkan derajat manusia merupakan saran untuk membiasakan diri insan dari keterlepasan perbuatan buruk. Di satu sisi, bulan Rajab juga dinilai sebagai bulan membangun diri dengan menanamkan jiwa manusia dengan amalan-amalam terpuji, seperti berpuasa, perbanyak shalat sunnah, bersedekah, dan membaca Al-Qur’an yang dipandang sebagai perbuatan baik untuk memperoleh pahala terbaik di bulan berkah (Rajab), sebagaimana hadis Nabi Saw, “Barangsiapa yang berpuasa 3 kali di bulan haram, Allah swt. tulis baginya (pahala) ibadah selama 900 tahun”.

Terlepas dari kebenaran hadis di atas, perlu dipahami bahwa bulan Rajab berusaha mendorong manusia untuk berbuat terpuji dan meninggalkan berbagai perbuatan yang sia-sia, guna membangun kesempurnaan diri, sebagaimana Allah berfirman, “Setiap orang hendaklah berbuat menurut keadaan (jiwa: pembawaan dan kecenderungan serta budi pekertinya) masing-masing” QS. Al-Isra’ [17]:84. Artinya, hanya diri sendirilah yang dapat membangun kesempurnaan eksistensinya, bukan orang lain. Manusia harus berusaha dan mencoba membangun kesempurnaan dirinya melalui perilaku terpuji di bulan Rajab, sembari mengawasi dirinya dari perbuatan tercela, sehingga ia meraih kemurahan Allah swt. dengan tujuan memperoleh jalan-Nya menuju kesempurnaan eksistensi di realitas.Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Ankabut [29]: 69).

0 Shares:
You May Also Like