Falsafah Politik Muhammad Iqbal
Oleh: Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Islam menyakini suatu bentuk pemerintahan semesta, yakni suatu sistem etikareligius atau bentuk pemerintahan sosial berlandaskan dasar-dasar yang telah diwahyukan kepada Nabi. Tatanan sosial inilah yang berkembang menjadi suatu bentuk pemerintahan dengan persepsi-persepsi hukum yang tersirat di dalamnya. Sedangkan struktur dan bekerjanya negara Islam bergantung pada suatu analisis dan sistematisasi landasan-landasan ini ke dalam suatu bentuk peraturan yang dinamakan syariat.
Muhammad Iqbal sebagai pemikir dan penyair yang dilahirkan di Sialkot, daerah Punjab pada tanggal 22 Februari 1873 M. Iqbal dikenal sebagai pribadi yang memiliki keteguhan dalam berpikir dan bertindak. Masa mudanya dihabiskan dalam menuntut ilmu pengetahuan terutama mengenai bidang filsafat dan tasawuf. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Rumi, Ibn Arabi, Al-Jili, Dante, Ficthe, Kant, Nietche, Bergson, dan dua gurunya yakni Sir Thomas Arnold sewaktu di Lahore dan Mac Taggart sewaktu di Inggris.
Sebagai pemikir dan penyair Iqbal diberi julukan Sang Alamah. Alamah adalah sebutan bagi orang alim yang berilmu, yang ilmunya di atas orang yang berilmu. Sebutan Alamah disematkan pada dirinya karena ia memiliki banyak keahlian. Di samping sebagai pemikir, ia juga sebagai penyair, penulis prosa, filosof, ahli bahasa, ahli hukum, guru dan politisi, begitulah sang genius Iqbal, seorang yang memiliki kecakapan luar biasa. Banyak karya yang Alamah hasilkan di antaranya dua karya filsafatnya yang besar yakni The Development of Metaphysics in Persia dan The Recounstruction of Religious Thought in Islam.
Bagi Alamah, Islam bukanlah masalah yang terpecah-pecah, ia bukanlah cuman pikiran, cuman perasaan, ia adalah pengungkapan keseluruhan manusia. Islam bukan satu agama dalam arti kata yang biasa, ia adalah satu falsafah hidup yang berusaha menjaga perkembangan pribadi yang harmonis dan transformasi kemanusiaan. Dengan demikian cita-cita religius Islam secara organis berkaitan dengan tatanan sosial, dan tatanan sosial dengan tata pemerintahan Islam.
Kemudian, Iqbal juga menjelaskan agama yang benar adalah Islam dan organisasi yang paling baik adalah tata pemerintahan dan sturktur Islam yang universal, dan pemimpin umat manusia yang paling tepat adalah millat muslim. Dengan kata lain Iqbal diilhami oleh suatu wawasan mengenai negara Islam dari millat muslim yang bersatu, tidak lagi dipilah-pilah oleh pertimbangan rasial atau teritorial. Millat adalah persaudaraan muslim yang bebas dan utuh dengan Ka’bah sebagai porosnya, serta dipertautkan dengan kecintaan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul (Aziz Ahmed, 1983:13).
Millat Islam yang berdasarkan prinsip keesaan Tuhan (tauhid) dan penutupan Rasul tidak terbatas pada garis batas teritorial. Nasionalisme merupakan suatu hal yang asing bagi pemerintahan Muslim. Bagi seorang Muslim seluruh dunia adalah tempatnya tinggal dan tempat peribadatannya, karena terletak adalam wilayah kedaultan Allah, dan ini bertolak belakang dengan gagasan nasionalisme yang berlandaskan situasi geografis, ras, atau kesamaan warna dan bahasa yang kebetulan.
Iqbal membela pandangan tentang suatu negara dunia yang di dalamya seluruh kaum Muslimin akan membentuk satu umat yang tak tebagi-bagi. Ia mengecam nasionalisme (dalam artian yang sempit) seperti juga imperalisme yang menghancurkan persaudaraan, menaburkan benih peperangan serta merenggut manusia dari kenimatan. Nasionalisme hanya dibutuhkan sebagai suatu tahapan perkembangan sosial. Tujuan utamanya hendak bersifat internasional, suatu federasi dunia dalam satu dan lain bentuk (M.M Syarif, 1993:64)
Organisasi suatu millat bersandarakan pada suatu hukum, dan hukum millat Islam adalah Al-Qur’an. Millat Islam harus diorganisasi menurut hukumnya sendiri yang khas,. Allah bukan hanya sebagai Pencipta dan tujuan dari peribadatan, tetapi juga sebagai Pemberi Hukum. Hukum Al-Qur’an menjelmakan kehendak Allah dan syariat sebagai jalan kebajikan atau kode etik dan berupa hukum-hukum sosial Ilahi. Secara politis individu serta amir yang menjadi anggota millat Islam dinaungi hukum yang sama, tidak pernah dianggap kebal atau absolut.
Oleh karena itu, menurut aturannya bahwa millat tidak mempunyai kekuasaan legislatif. Kebebasan individu dijamin melalui hukum Illahi. Millat harus tunduk kepada Rasul, karena sebagai Rasul, telah menyeru dan menafsirkan perintah-perintah Allah (Aziz Ahmed, 1983:23). Semua Muslim memiliki status yang sama dan menikmati hak-hak yang sama atas lembaga politik. Bentuk kebebasan sipil dan teori peluang yang sama yang bergantung pada bentuk tersebut merupakan wajah politik Islam yang khas.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa sistem pemerintahan Islam bukanlah demokrasi ala Barat yang mana hukum dapat dipaksakan, diubah atau dimodifikasi sesuai kehendak mayoritas. Tetapi, bentuk pemerintahan yang terbaik bagi masyarakat demikian adalah demokrasi yang memiliki ajaran membiarakan manusia untuk mengembangkan segala kemungkinan-kemungkinan alamamiahnya dengan bebas dan praktis (Muhammad Iqbal, 1970:36).
Dalam hal ini pemimpin dalam Islam, khalifah misalnya, bukanlah pribadi-pribadi yang maksum tanpa memiliki kesalahan. Seperti muslim lainnya mereka tunduk kepada hukum yang sama. Mereka dipilih oleh rakyat dan diturunkan oleh rakyat pula. Inilah bentuk demokrasi yang dicita-citakan Iqbal yang mana semua elemen masyarakat ikut andil di dalamnya untuk menjalankan hukum-hukum Tuhan tanpa adanya pandang bulu.
Dalam tatanan politik Islam, perang untuk merebut suatu kekuasaan tidaklah diperkenankan. Begitu juga dengan gagasan Iqbal, Iqbal bukanlah pendukung perang (dalam hal ini merebut kekuasaan), dan tidak ada seorang Muslim pun yang akrab dengan imannya dapat menjadi penyokong perang semacam itu. Menurut ajaran Al-Qur’an hanya ada dua alasan kuat yang memperbolehkan untuk berperang (jihad): pertama, untuk mempertahankan diri, dan kedua untuk menegakan kondisi-kondisi perdamaian dunia atau memaksakan rezim hukum dalam masyarakat manusia.
Jadi, perang dalam mengambil tatanan politik yang sah tidak diperkenankan, terlebih ketika seorang pemimpin Islam dipilih oleh masyarakat Muslim secara mayoritas dengan ditetapkan sebagai seorang pemimpin sesuai dengan hukum-hukum Tuhan. Dalam Islam, perang demi pemuasaan orang-orang yang lapar akan wilayah dan kekuasaan adalah melanggar hukum
Ringkasnya, Iqbal memimpikan suatu dunia yang diatur oleh agama bukan politik. Secara tegas ia mengecam Machiavelli sebagai penyembah tuhan-tuhan palsu. Iqbal adalah orang pertama yang menyuarakan pembentukan sebuah negara Muslim di Barat Laut India di mana terdapat kemungkinan meletakkan dasar-dasar masyarakat Islam yang sebenarnya. Di samping Ali Jinnah, Muhammad Iqbal juga salah satu faunding father Pakistan,