Laku Tasawuf Menjadikan Manusia yang Memanusiakan Manusia

Oleh: Darul Siswanto

Alumni Universitas Al-Azhar Kairo dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Tasawuf merupakan salah satu dimensi keagamaan Islam yang sangat dinamis. Dikatakan dinamis tidak hanya dari sisi perkembangannya, namun juga dari sisi akseptabilitasnya. Berbeda dengan akidah (iman) dan fikih (Islam) yang secara umum diterima oleh umat Islam, meski dengan berbagai perbedaan aliran dan mazhab di dalamnya. Di sisi lain, tasawuf masih menjadi polemik di kalangan umat Muslim, sehingga pertanyaan yang sering terlontar ialah apakah tasawuf merupakan bagian dari syariat Islam atau tidak?

Kelompok yang menolak tasawuf cukup gencar mengkampanyekan pendapatnya. Menurutnya bertasawuf merupakan sebuah bentuk kesesatan dalam beragama Islam, dengan argumen bahwa tasawuf merupakan suatu hal bid’ah yang tidak pernah ada pada masa Nabi saw.. Mereka juga melakukan generalisai dalam menghukumi para ulama sufi, dengan menukil hal-hal kontroversial yang dinisbatkan kepada sebagian sufi—seperti hulul, ittihad, dan meninggalkan ritual peribadatan formal—mereka menganggap seperti itulah tasawuf, dan mengesampingkan aspek-aspek lain dalam tasawuf.

Ihsan Sebagai Jalan Tasawuf

Secara etimologis, tasawuf berasal dari bahasa Arab. Yakni tashawwafa – yatashawwafu – tashawwufan (تَصَوَّفَ – يَتَصَوَّفُ – تَصَوُّفًا). Sedangkan ulama berbeda pendapat tentang asal-usul kata tersebut. Ada yang berpendapat berasal dari kata “shaf” yang berarti barisan, “shafa” yang berarti kejernihan, “shuf” yang berarti bulu domba, dan ada pula yang yang berpendapat bahwa tasawuf dari bahasa Yunani yang kemudian diserap oleh bahasa Arab. Yakni dari kata “sophia” yang artinya kebijaksanaan.

Jumhur ulama yang sepakat dengan kesahihan tasawuf berpendapat bahwa tasawuf adalah bentuk perwujudan ihsan, salah satu dari tiga dasar syari’at Islam. Di mana dua lainnya adalah iman yang diwujudkan dalam akidah, dan Islam yang diwujudkan dalam fikih. Dengan begitu, perlu untuk menelaah kembali pada hadis yang diriwayatkan dari Umar bin al-Khattab ra., ketika malaikat Jibril mendatangi Nabi dalam wujud manusia. Jibril bertanya kepada Nabi tentang Islam, Iman dan Ihsan. Terkait Ihsan, Nabi bersabda sebagai jawaban dari pertanyaan Jibril:

Baca Juga:  Kekuasaan: Jebakan dan Perusak Terhebat Bagi Agama.

(أن تعبد الله كأنك تراه ، فإن لم تكن تراه فإنه يراك (مسلم

“Beribadahlah kepada Allah seakan kamu melihat-Nya, jika kamu belum mampu melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu” (HR. Imam Muslim).

Istilah “beribadahlah” dalam hadis di atas, ternyata di kalangan umat Islam terjadi semacam penyempitan makna, di mana ibadah banyak orang memaknainya hanya sebatas shalat atau sembahyang. Padahal Allah berfirman dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya manusia diciptakan itu adalah untuk beribadah kepada-Nya”. Jadi, segala hal yang dilakukan manusia mulai bangun tidur hingga memejamkan matanya kembali di malam hari, dari dilahirkan ke dunia hingga maut menjemputnya, memiliki potensi/bernilai ibadah.

Setidaknya ada dua jalan yang dapat dilalui seorang hamba untuk mencapai atau berada pada kedudukan ihsan. Pertama yakni menjalani kehidupan yang penuh dengan potensi nilai ibadah, seakan melihat pen-tajallian Tuhan. Jalan pertama ini oleh kalangan sufi disebut sebagai al-musyahadah. Kedua yakni menjalani kehidupan yang penuh dengan potensi ibadah, jika tak dapat melihat kehadiran Tuhan, maka sesungguhnya Tuhan melihat dan mengawasinya oleh kalangan sufi disebut dengan al-muraqabah.

Musyahadah berarti penyaksian. Yang dimaksud penyaksian dalam ihsan sebagaimana disebutkan dalam hadis ialah ketika seorang manusia dalam penghambaannya menyaksikan Tuhan (tajalli-Nya yang tampak pada ciptaan). Sebagian sufi menyebutnya dengan istilah wahdatu al-syuhud. Yakni segala apa yang dilihat oleh seorang salik atau hamba, selalu membawanya pada kesaksian dan penyaksian akan wujud dan kebesaran Tuhan. Semua yang disaksikan adalah bentuk manifestasi kekuasaan Tuhan.

Sebagian kalangan sufi ada pula yang menyebutnya dengan konsep wihdatu al-wujud. Yang dimaksud di sini adalah konsep wujud yang tunggal, dan bukan dalam arti al-ittihad (penyatuan) dan atau al-hulul (bersemayam). Yakni konsep yang pada maqam tertentu, seorang hamba memahami dan meyakini bahwa yang wujud hanyalah Tuhan, dan semua selain Tuhan adalah tidak ada pada hakikatnya. Karena wujud Tuhan tidak didahului oleh ketidakadaan, Tuhan tidak memiliki awal dan akhir. Sedangkan semua selain Tuhan, keberadaannya didahului oleh ketidakadaan, ada karena dicipta dan diadakan. Sehingga tujuan dari hidup (ibadah) tidak ada yang lain kecuali Tuhan sebagai wujud tunggal.

Baca Juga:  IMAN KEPADA YANG GAIB SEBAGAI KRITERIA TAKWA

Sedangkan muraqabah artinya pengawasan. Yang dimaksud dengan pengawasan adalah keyakinan seorang hamba, bahwa Tuhan melihat segala apa yang dilakukan manusia dalam kehidupannya. Sehingga dalam laku ibadah dan penghambaan, manusia berusaha untuk dapat mengendalikan diri karena sadar bahwa Tuhan melihatnya. Sebagian sufi menjadikan al-muraqabah sebagai suatu sebab yang dapat membawa seorang hamba sampai pada Tuhan. Dalam maqam al-muraqabah, seorang hamba tidak akan melakukan sesuatu yang tidak disukai dan diridai oleh Tuhan.

Dengan demikian, secara sederhana tasawuf sebagai bentuk manifestasi ihsan adalah bagaimana manusia mendidik dan mengendalikan dirinya melalui dua hal. Melihat apapun yang ada di hadapannya sebagai perwujudan dari kekuasaan, kasih sayang dan kebesaran Tuhan, atau jika itu belum dapat ditempuh, maka seorang manusia hendaknya merasa berada dalam lingkup pengawasan Tuhan. Sehingga tidak lain yang dihasilkan oleh laku tasawuf kecuali manusia dengan akhlak yang mulia, manusia humanis yang memanusiakan manusia, manusia yang dengan prilakunya membawa rahmatan li al-alamin. Wallahua’lam

0 Shares:
You May Also Like