Takdir dan Konsep Kebebasan Manusia (Bagian 2)
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang istimewa. Mereka memperoleh kemampuan yang luar biasa karena memiliki qalb dalam arti jiwa dan roh, dan merasakan sesuatu. Dengan instrumen ini, mereka dapat berpikir, mengetahui, menikmati, dan merasakan sesuatu. Kemampuan berpikir dan mengetahui sesuatu adalah lahir dari rasio. Merasakan atau menikmati sesuatu lahir dari emosi. Allah swt. menegaskan bahwa manusia itu ciptaan-Nya yang terbaik. QS. Al-Tin/95:4, yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”
Manusia sebagai makhluk hidup, kehidupannya bersifat teologis. Semua yang baik harus menjadi tujuan pencapaian. Manusia hendaknya bergerak maju ke arah pencapaian tujuan ini agar dapat meletakkan dasar-dasar bagi masyarakat yang mendapat julukan-julukan ketuhanan, seperti kesatuan, kemerdekaan, kasih sayang, keadilan dan kejujuran. Semua ini harus dikomunikasikan oleh pendidikan, untuk mencapai kebaikan termulia, material, dan spiritual, mereka bebas memilih caranya.
Akan tetapi, kemerdekaan bukanlah berarti jaminan atau anarki. Kemerdekaan dan tanggung jawab tidak dapat dipisahkan. Ilmu adalah salah satu sifat Tuhan dan manusia, dianugerahkan kebijakan Tuhan ini, yang memungkinkan mereka memahami, baik yang terbatas maupun yang tidak terbatas. Peran utama ilmu dalam Islam adalah untuk membantu manusia menyadari Tuhan, meyakini-Nya dengan utuh, dan bergantung kepada kehendak-Nya. Dengan anugerah fitrah, manusia turut menikmati sifat Ilahi itu (Jalaluddin Rahman, Konsep Perbuatan Manusia menurut Al-Qur’an: Suatu Kajian Tafsir Tematik, hal 84). Dengan anugerah kemerdekaan, manusia menjadi terhormat melebihi malaikat. Inilah yang dimaksud manusia mempunyai kedudukan tinggi dan mulia.
Secara alamiah sesungguhnya manusia telah memiliki takdir yang tidak bisa diubah. Manusia dalam dimensi fisiknya tidak bisa berbuat lain, kecuali mengikuti hukum alam yang melekat padanya. Misalnya, manusia ditakdirkan oleh Tuhan tidak bisa terbang seperti burung, berenang lepas bagaikan ikan, memanjat pohon dengan lincah seperti monyet, dan seterusnya. Tetapi, karena manusia juga ditakdirkan memiliki daya berpikir yang kreatif, organ tangan yang amat terampil dan serba bisa, kehendak yang dinamis, maka pada level pemikiran dan kehendak manusia semakin besar wilayah kebebasannya. Bahkan, kita bisa bertanya, siapakah yang bisa membatasi daya imajinasi manusia? Di mana batas akhir kreativitas manusia?
Dari pertanyaan-pertanyaan ini semakin jelas bahwa pengertian takdir bukanlah suatu pengertian yang tertutup dan serba final, melainkan justru menunjukkan dinamika dan selalu terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru (Kamaruddin Hidayat, Taqdir dan Kebebasan, dalam Rekontruksi dan Renungan religius Islam, editor Muhammad Wahyuni Nafis, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996, cet. 1 hal 124).
Dengan kata lain, manusia ditakdirkan memiliki kelebihan dan kebebasan berpikir dan berkreasi sehingga dengannya, bisa merakit dan merekayasa berbagai takdir yang melekat pada alam raya untuk dibudidayakan. Berangkali inilah salah satu isyarat Al-Qur’an ketika Allah berfirman, bahwa Dia telah mengajarkan nama-nama benda yang bertebaran di jagad raya ini.
Paradoks yang ada pada diri manusia, kebebasan dan terikatan ini, dalam kenyataan sejarah telah melahirkan dua aliran yang ekstrim tentang perbuatan manusia dalam hubungannya dengan perbuatan Tuhan. Misalnya, paham Jabariyah berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk menentukan perbuatan-perbuatannya, karena pada dasarnya Allah telah menentukan perbuatan-perbuatannya sejak azali dan mewujudkannya padanya (manusia) atas kemampuannya sendiri. Paham Qadariyah sebaliknya, berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuasaan sendiri untuk mewujudkan perbuatannya, Allah sama sekali tidak menentukannya sebelumnya (Muhammad Yusuf Musa, Al-Qur’an wa al-Falsafah, hal 102).
Dua paham ini, jika dipegangi secara ekstrim, akan menimbulkan kesulitan dalam kehidupan manusia sendiri, karena manusia terbentuk dari keduanya. Ia tidak akan lepas sama sekali dari keterikatan, karena ia terbentuk dari materi, selain rohani. Unsur materi akan tunduk kepada hukum-hukum materi, seperti keterjaringan dalam ruang dan waktu, perubahan dan akhirnya kerusakan susunan. Dengan adanya paradoks dalam dirinya ini, manusia seharusnya tidak berusaha untuk menghapus atau menyisihkan salah satu dari keduanya, melainkan menyiasati keduanya dan memanfaatkan untuk kepentingannya (Machasin, Meyalami Kebebasan Manusia, hal 124-125).
Paham Jabariyah, kalau dipegangi secara ekstrem, akan menimbulkan hilangnya rasa tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Jika semua yang terjadi pada manusia sudah ditentukan oleh Allah sejak azali, mengapa manusia harus bertanggung jawab atas perbuatannya? Kalau manusia sudah hilang rasa tanggung jawab, maka akibatnya, ia akan berbuat semaunya sendiri. Hukum, norma-norma, aturan-aturan dan semisalnya tidak ada lagi gunanya. Keberadaan manusia pun terancam karenanya.
Mungkin orang dapat mengatakan, bahwa kepunahan atau kekacauan yang diperkirakan dapat timbul akibat tidak adanya rasa tanggung jawab itu tergantung juga pada ketentuan Allah, kalau Allah menghendaki, tiada daya apapun yang mampu menghalanginya dan kalau tidak, tiada sesuatu apapun yang dapat mewujudkannya. Orang lalu dapat membenarkan perbuatannya sendiri dengan dalih adanya paksaan dari Allah swt.
Di dalam Al-Qur’an diberitakan sikap orang-orang musyrik terhadap ajakan rasul, tidak jauh berbeda dengan pembenaran dengan perbuatan sendiri ini. Mereka menyatakan, kemusyrikan itu semata-mata paksaan dari Allah, mereka tidak mempunyai kemungkinan lain. Argumen mereka ini tidak diterima Allah. Betul, bahwa tanpa Allah mereka tidak akan ada, karena keberadaan mereka tergantung pada keberadaan Allah. Namun, ini tidak berarti bahwa mereka dapat melemparkan tanggung jawab kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam QS. Al-An‘âm/6:148. Jawaban mereka terhadap ajakan Rasul ini menunjukkan adanya pengacauan antara persoalan etika dengan persoalan metafisika.
Secara metafisik, manusia tergantung sepenuhnya kepada Allah, namun secara etik praktis, ia bebas untuk memilih sendiri perbuatan-perbuatan etiknya (Lihat pembahasan tentang serangan-serangan terhadap kaum Mu`tazilah lantaran paham kebebasan iradah manusia yang mereka ajukan, dalam Subhi, Al-Falsafah, h. 158-162). Serangan-serangan itu menurut Subhi salah alamat karena didasarkan atas argumen metafisik, sementara masalah kebebasan iradah manusia lebih bersifat etik.
Menurut Muhammad Abduh, seseorang yang menginginkan suatu keberhasilan dalam hidupnya, ia harus menempuh prosedur yang terkait langsung dengan keberhasilan itu (Muhammad Abduh, Risalah al-Tawhid, Kairo: Dar al-Manar, 1366 H.) hal 60). Ia juga mengemukakan betapa penting peranan kasab (usaha), kehendak dan potensi manusia dalam menentukan keberhasilan suatu hajat, sesuatu yang didambakan. Memang betul adanya, bahwa Allah adalah tempat bergantung segala kebutuhan, tetapi untuk mencapai sesuatu yang diinginkan, peranan dan usaha atas dasar kehendak dan daya yang ada pada manusia amat menentukan. Pemikiran ini memperlihatkan sikap dan pandangannya mengenai dinamika dan kebebasan manusia dalam menentukan kemauan dan perbuatan dalam hidupnya di dunia ini.
Secara alami manusia mempunyai dinamika dan kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatannya. Manusia tidak berbuat sesuatu kecuali setelah mempertimbangkan sebab-akibatnya, dan atas pertimbangan inilah ia mengambil keputusan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan perbuatan yang dimaksud. Kalau manusia atas kemauannya sendiri mengambil keputusan untuk mewujudkan perbuatan itu, ia selanjutnya mengambil langkah-langkah untuk itu dan perbuatan yang ia lakukan, ia mewujudkan dangan dayanya sendiri. Maka, sejalan dengan keyakinannya, bahwa manusia menurut hukum alam ciptaan Tuhan, mempunyai kebebasan, kemauan dan kehendak, ia pun mempunyai daya dalam dirinya untuk mewujudkan perbuatan yang dikehendakinya. Hal ini ditegaskan ketika ia menyebut bahwa dalam melaksanakan perbuatannya, baik fisik maupun pikiran, manusia mempergunakan kemampuan dan daya yang diciptakan Tuhan dalam dirinya (Muhammad Abduh, Risalah al-Tawhid, hal 60. Lihat juga Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, Jakarta: Penerbit Paramadina, 2002, hal 124).
Sekurang-kurangnya ada lima alasan yang dapat dijadikan dasar, bahwa manusia memiliki hak kebebasan berkehendak (free will), memilih dan berbuat. Di antaranya adalah:
- Karena kejadian manusia oleh zat Pencipta Allah swt. dilengkapi dengan potensi khusus yaitu akal. Dengan akalnya, manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Apa yang harus dilakukan dan apa yang mesti ditinggalkan.
- Manusia dianugerahi kemampuan untuk melakukan apa yang disukai. Ia mampu melakukan hal-hal yang baik dan yang bermanfaat, atau mengerjakan hal-hal yang buruk dan merugikan, bahkan juga berkemampuan untuk berkata benar atau berkata dusta. Lebih dari itu, manusia memiliki kemampuan untuk memilih agama yang diyakini kebenarannya, pekerjaan yang akan digelutinya, tak terkecuali suami/istri yang akan menjadi pendamping hidupnya dan seterusnya.
- Adanya tanggung jawab yang dipikulnya kepada manusia di akhirat kelak atas pilihan-pilihannya ketika hidup di dunia.
- Kelanjutan dari adanya tanggung jawab tersebut, kelak di akhirat semua manusia akan dihadapkan ke pengadilan.
- Adanya pembalasan yang merupakan kelanjutan dari proses pengadilan. Siapa yang ternyata pilihan-pilihannya benar sesuai dengan apa yang diperintahkan Allah, maka ia akan dibalas dengan kenikmatan abadi di surga, sedangkan bagi yang memilih jalan sesat, menyimpang dari perintah-Nya, maka kelak akan dibalas dengan siksa neraka.
Lima hal ini adalah merupakan dasar dan alasan kuat, bahwa manusia dalam hidupnya di dunia ini, memiliki kebebasan berkehendak, memilih dan berbuat, karena ia dapat berpikir untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dan berkemampuan mengerjakan apa yang menjadi pilihannya. Apa saja yang ia sukai, lalu ia pilih kemudian ia kerjakan itu adalah semata-mata atas kehendak dan tidak ada unsur paksaan, maka kelak di akhirat ia akan mempertanggung jawabkan atas apa yang menjadi kehendaknya dan pilihannya itu. Sedangkan tanggung jawab adalah manifestasi dari adanya kebebasan memilih.
Tanggung jawab yang tidak dilandasi adanya kebebasan memilih adalah kezaliman. Padahal Allah sendiri telah menegaskan, bahwa Ia sekali-kali tidak akan berbuat zalim terhadap hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya QS. Fushshilat/41:46. Dengan demikian, adanya pengadilan dan balasan di akhirat nanti merupakan suatu rangkaian bukti yang kuat tentang dimilikinya kebebasan tersebut. Bagaimana mungkin seorang akan diadili kemudian diberi balasan kenikmatan atau siksa atas perbuatan yang tidak sepenuhnya atas kehendaknya dan dipilihnya sendiri bahkan atas kehendak dan pilihan Zat pemberi balasan itu sendiri?
Dari sinlah Mu‘tazilah tidak menerima pendapat Asy’ariyah bahwa perbuatan buruk muncul karena sifat tertentu, tidak ada kaitan bagi pelakunya. Artinya, perbuatan buruk dan baik bukan berasal dari pelakunya, melainkan sumber dari zat perbuatan itu sendiri. Atas dasar inilah, perbuatan baik atau buruk dapat dilakukan siapa saja. Dalam logika ini, apabila keburukan dapat bersumber dari hamba, dapat pula bersumber dari Allah. Selama Allah Maha Mengetahui, Dia dapat mengetahui keburukan dan dapat menghindarinya. Wallahu a’lam…