Intelektualitas Manusia Menurut Ibn Sina

Oleh: Hardiono

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Manusia mempunyai dua unsur yang sangat besar memungkinkan lahirnya pengetahuan, yakni panca indra dan akal budi. Dua unsur mendasar inilah menghasilkan dua bentuk pengetahuan manusia, yakni pengetahuan indrawi dan pengetahuan intelektif yang masing-masing memiliki karakter tersendiri. Kedua bentuk pengetahuan ini mengiringi hidup manusia dalam mengembangkan diri dan membangun dunia ke arah yang lebih baik.

Ibn Sina yang bernama lengkap Abu ‘Ali al-Husain Ibn ‘Abd Allah Ibn Hasan Ibn ‘Ali Ibn Sina. Kalo di Barat populer dengan sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin (Madjid Nurcholish, 1994: 97). Dengan lidah Spanyol kata Ibn diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan abad kedua belas di Spanyol (Zar Sirajuddin, 2014: 93).

Ibn Sina dilahirkan pada bulan Safar 270 H atau Agustus/September 980 M di Afsyanah, sebuah kota kecil di wilayah Uzbekistan. Saat ini di dunia Barat dia juga dijuluki sebagai Pangeran para dokter beberapa bangsa Turki, Persia dan Arab mengakui bahwa Ibn Sina adalah berkebangsaan mereka. Yang jelas ibunya adalah berkebangsaan Turki, sedangkan ayahnya mungkin peranakan Arab/Persia atau Turki (Hasbullah Bakry, 1972: 41). Orang tuanya adalah seorang pegawai tinggi semasa pemerintahan Dinasti Saman, ia dibesarkan di Bukhara dan belajar falsafah kedokteran dan ilmu-ilmu Islam lainnya.

Ibn Sina juga mempunyai pemikiran filsafat tentang manusia. Sebagaimana halnya Al-Farabi. Menurut Ibn Sina manusia terdiri atas unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktivitas. Jasad menurut Ibn Sina selalu berubah, berganti, bertambah, dan berkurang sehingga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa.

Dengan demikian, hakikat manusia adalah jiwanya, dan perhatian para filsuf Islam dalam membahas manusia lebih terfokus pada jiwanya dari pada jasadnya (Hasbullah Bakry, 1972: 50). Maka muncullah unsur imateri seperti akal. Akal adalah pemberian Allah yang paling sempurna. Dengan akal, manusia dapat mempelajari alam semesta. Akal mendorong manusia untuk terus menggali ilmu pengetahuan, dan diharapkan manusia akan mampu mengemban amanah sebagai khalifah Allah (Iberani Syarif Jamal, 2003: 59-60).

Baca Juga:  KONSEP THUMA’NINAH SEBAGAI UPAYA MENGELOLA KECEMASAN PADA PANDEMI COVID-19

Intelektual merupakan salah satu mekanisme paling kompleks dari eksistensi manusia. Kalau mekanisme ini bekerja dengan benar, maka terbuka jalan yang luar biasa bagi manusia untuk mengenal dirinya. Melalui jalan ini manusia dapat mengetahui banyak realitas yang tak dapat diketahuinya melalui indranya, khususnya pengetahuan filosofis tentang Allah swt.

Manusia tidak menghendaki pengetahuan yang hanya tentang alam saja dan yang hanya bermanfaat untuk peningkatan kualitas kehidupan materialnya saja. Dalam diri manusia ada naluri untuk mengetahui kebenaran. Manusia menginginkan pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan menyukainya. Di samping sebagai sarana untuk dapat hidup lebih enak dan untuk melaksanakan tanggung jawab dengan lebih baik, pengetahuan seperti itu diperlukan sekali.    

Sejauh menyangkut kehidupan manusia, tak ada bedanya apakah manusia tahu atau tidak tahu misteri-misteri dari apa yang ada di luar galaksi sana, namun manusia tetap lebih suka untuk mengetahui misteri-misteri itu. Karena sudah menjadi fitrahnya, manusia membenci kebodohan, dan tertarik untuk mencari pengetahuan. Karena itu pengetahuan merupakan dimensi intelektual dalam eksistensi manusia (Muthahhari Murthada, 2002: 222).

Dalam hal kebajikan moral manusia justru mengukur dan menilai banyaknya perbuatan manusia. Dengan kata lain, manusia melakukan banyak hal hanya karena nilai moralnya tanpa mempertimbangkan segi materialnya. Manusia juga memiliki dimensi mental yang lain. Yaitu rasa tertariknya kepada keindahan dan apresiasinya terhadap keindahan. Rasa estetisnya ini penting perannya dalam segenap bidang kehidupan.

Namun, manusia juga memandang penting keindahan apapun yang menurut mereka itu menarik kebahagiaan untuk dirinya. Apapun yang manusia inginkan contohnya, membangun rumah saja, manusia cenderung  memperhatikan prinsip-prinsip estetis dalam memilih aksesoris rumahnya. Pendek kata, manusia ingin segenap hidupnya di keliingi kebaikan dan keindahan.

Baca Juga:  Islam dan Rasionalitas: Konstruksi Masyarakat Ideal

Dari uraian diatas jelaslah bahwa daya atau kekuatan manusia beda dengan daya atau kekuatan binatang. Manusia memiliki daya akal dan kehendak. Dengan daya ini manusia dapat menolak kecenderungan naluriahnya dan dapat membebaskan diri dari pengaruh kecenderungan naluriah yang bersifat memaksa itu. Manusia dapat mengendalikan kecenderungan naluriahnya dengan menggunakan akalnya. Manusia dapat menentukan batas bagi tiap kecenderungannya, dan ini merupakan bentuk kemerdekaan yang paling berharga.

Akal menurut Ibn Sina terbagi menjadi dua yaitu akal praktis dan akal teoritis. Akal praktis memusatkan pada bentuk prilaku manusia pada perbuatan tertentu. Akal praktis ini terbagi menjadi tiga bagian:

  1. Al-Quwwah Al-Nuzu’iyyah (daya pendorong yang menggerakan manusia pada perbuatan tertentu).
  2. Al-Quwwah Al-Mutakhayyilah (daya imajinasi yang menjadikan perbuatan manusia sebagai hasil dari sebuah pertimbangan).
  3. Al-Quwwah Al-Mauhimah (daya penerka yang menjalin hubungan antara akal teoritis dan akal praktis).

Sedangkan akal teoritis juga terbagi menjadi tiga bagian, akal ini tidak ada hubungannya lagi dengan akal praktis:

  1. Al-‘Aql bi Al-Quwwah (akal potensial yang berpotensi menangkap arti-arti murni).
  2. Al-‘Aql bi Al-Malakah (akal bakat yang mampu menangkap sebagian arti-arti murni tersebut, seperti contoh seorang anak kecil yang sudah mengenal huruf tetapi belum bisa membaca).
  3. Akal Aktual (terwujudnya semua kemampuan akal secara nyata, namun akal ini sifatnya hanya potensial jika tidak mendapat penerangan dari akal aktif (al-aql al-fa’al). Setelah mendapat penerangan, akal aktual ini akan menjadi akal perolehan sering juga kita sebut sebagai akal mustafad).

Menurut Ibn Sina puncaknya akal itu yaitu akal teoritis, bahkan banyak orang yang tidak sampai kepada akal teoritis ini. 

Teorinya tentang akal selanjutnya membawa pada munculnya falsafah wahyu dan Nabi. Ia mengatakan bahwa akal terdiri atas beberapa tingkatan, dan yang terendah adalah akal materil, tetapi adakalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materil yang lebih kuat. Hal ini oleh Ibn Sina disebut intuisi. Daya yang demikian besar ini bisa langsung berhubungan dengan akal aktif tanpa harus melalui latihan. Selain itu, bisa menerima cahaya atau wahyu dari Allah swt. (Kamaludin Ahmad Undang, 2012: 131).

Baca Juga:  Syekh 'Abd al-Qadir al-Jailani: Inilah Perbedaan Puasa Syariat dan Puasa Thariqat

Akal serupa ini memiliki daya suci yang hanya dimiliki oleh Nabi. Melalui pengetahuan manusia berhubungan dengan dunia dan orang lain. Dengan pengetahuan pula benda-benda dapat dimanifestasikan oleh manusia, dan orang-orang dikenal serta setiap orang dihargai melalui pengetahuan, manusia bisa berada secara lebih tinggi dan sekaligus mengatasi batas-batas badannya. Karena alasan ini pengetahuan bernilai bagi manusia (Sihotang Kasdin, 2018: 108-109).

 

Daftar Pustaka:

Madjid Nurcholish, Kaki Langit Peradaban Islam. Jakarta: Paramadina, 1997.

Zar Sirajuddin, Filsafat Islam Filosof dan Filsafatnya, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014.

Nasr Hossein Sayyed, Tiga Mazhab Utama Filsafat Islam, Terj. Three Muslim Sages: Avcena-Suhrawardi-Ibn ‘Arabi, Penerjemah: Ach. Maimun Syamsuddin, Yogyakarta: IRCisod, 2014.

Bakry Hasbullah, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam, Jakarta: PT. Tintamas, 1972.

Iberani Syarif Jamal, Mengenal Islam, Jakarta: El-Kahfi, 2003.

Muthahhari Murtadha, Manusia Dan Alam Semesta Konsepsi Islam Tentang Jagat Raya, terjemah Ilyas Hasan. Jakarta: PT Lentera basritama, 2002.

Kamaludin Ahmad Undang, Filsafat Manusia Sebuah Perbandingan Antara Islam dan Barat, Bandung: CV Pustaka Setia, 2012.

Sihotang Kasdin, Filsafat Manusia Jendela Menyingkap Humanisme, Yogyakarta: PT Kanisius, 2018.

0 Shares:
You May Also Like