Manusia, Agama, & Ketenangan

Manusia dengan keotentikannya sebagai makhluk pencari jawaban dengan segala belenggu-belenggu pikiran dan keinginan yang kemudian melahirkan percik-percik kegelisahan, tentunya telah disepakati sebagai ciri khas esensinya sebagai makhluk ‘penanya’. Sebelum adanya aturan dari agama yang dibentuk oleh budaya dan berbagai risalah langit yang dibawa para utusan, yang pada dasarnya manusia dengan fitrahnya, telah dapat menyimpulkan dirinya sebagai spesies lemah yang selalu mencari perlindungan dari berbagai kegelisahan yang membuatnya tidak tentram, yang pastinya sering membuat dirinya dalam kondisi tidak tenang. Akibatnya, tidak dapat menemukan kedamaian yang sesungguhnya, yakni kedamaian yang abadi dan menentramkan sebagai jawaban puncak atas kegelisahan yang sesungguhnya.

Dari kondisi tersebut, pada dasarnya dilatar belakangi oleh peran akal dan nafsu yang menjadi keistimewaan manusia, saling berlawanan seakan berdialog dan saling kontra. Keduanya boleh digambarkan layaknya malaikat dan hewan dalam satu ruang, yang satu penuh kebijaksanaan logis, sedangkan yang satunya penuh ambisi dan visi membara. Hal tersebut menjadikan manusia sering terjerumus pada jurang kebimbangan yang boleh jadi akibat daripada tidak terkontrolnya nafsu dan tidak teraktualnya pikiran dalam menjalankan tugasnya.

Akal hadir dengan beberapa fungsi dan kecenderungan yang dipahami dapat menuntun manusia untuk menemukan jawaban-jawaban logis yang dibutuhkan dan pastinya menuntut menemukan jawaban-jawaban bijak, sedangkan nafsu terus mengajak untuk mencari kepuasan-kepuasan baru yang dirasa mampu menentramkan, artinya, meskipun nalar telah menemukan solusi bijak, belum tentu nafsu dapat menerima atas apa saja yang akal temukan. Oleh sebab itu, dalam satu ruang terjadilah pertempuran hebat antara nafsu dan akal. Hal demikianlah yang memposisikan manusia dalam lembah kebimbangan dan penuh ke-ambigu-an.

Berbagai problem di atas menunjukan bahwa (sebenarnya) manusia butuh yang namanya aturan, meskipun kelak aturan-aturan yang manusia butuhkan menjadi topik persoalan pelik yang dikaji hingga kini. Bagaimana tidak, manusia pada dasarnya ingin bebas dengan kemerdekaan kuasa dirinya, kemudian diatur oleh aturan yang dianggapnya sebagai penyebab ketidakmerdekaan dirinya atas apapun. Hingga, secara tidak langsung ‘manusia menolak untuk bebas dan menolak untuk diatur’. Hal ini terjadi disebabkan oleh ketidaksinambungan solusi yang ditemukan dan egosentris yang memuncak dalam diri. Akhirnya, berimbas pada ‘kelinglungan berpikir dan kelinglungan bertindak’ yang beresiko pada hancurnya tatanan kedamaian dan kerugian-kerugian material maupun imaterial, jika diteruskan lingkungan sosial kemasyarakatan yang majemuk dengan budaya yang dikonstruk.

Baca Juga:  Kenapa Harus Marhaban Ya Ramadhan?

Berbagai kecenderungan dan kemungkinan hadir dalam ruang logis yang tertata rapih. Meskipun, jika ditilik dalam lingkup intinya (reason construct) boleh jadi tidak ada prinsip logis yang terpakai dan dijadikan pondasi, hingga tiadanya aturan yang menjadi standar kebenaran relatif konstruksi pengetahuan. Alhasil, manusia tidak dapat mendamaikan antara nafsu dan akal. Tentunya, hal tersebut tidak menjawab kegelisahan manusia dalam pencariannya menemukan ketenangan. Oleh sebab itulah, agama dibentuk dengan berbagai dogmanya dan didalamnya dihiasi aturan-aturan dalam mewujudkan jawaban logis dan tepat yang dibutuhkan manusia; dari problema hidup hingga ihwal kebertuhanan atau kekuatan luar biasa yang diluar nalar awam.

Agama menjadi solusi terbaik bagi manusia dalam menemukan jawaban yang diinginkannya. Secara tidak langsung, agama dibentuk sebagai alat yang mempermudah manusia untuk menemukan kemerdekaan dirinya dalam ketenangan, bukan sebaliknya. Didalam aturan-aturan yang telah disepakati, manusia diberikan berbagai solusi atas keguncangan hidup. Sehingga, manusia diharapkan menjadi agen yang mampu menimbang berbagai isi aturan dalam risalah agama yang telah dikodifikasikan.

Persoalan timbang-menimbang dibutuhkan manusia supaya manusia dapat menemukan jawaban yang kokoh dan kuat secara nalar hingga tidak dapat digoyahkan oleh argumentasi apapun. Kokohnya argumentasi menjadi landasan berpikir yang luar biasa. Agama tidak dikonsumsi sebatas dogma yang mentah, melainkan di-sinkron-kan kembali dengan pengetahuan yang dicapai dan dikupas secara men-detail dengan nalar radikal. Hal tersebut sebagai upaya menemukan jawaban terlogis yang teruji. Oleh sebab itulah, agama hadir untuk merapikan pikiran dan ambisi manusia dalam bingkai kedamaian yang tertata sekaligus menuntun manusia untuk dapat menemukan ketenangan dalam hidup yang menggelisahkan.

0 Shares:
You May Also Like