Kenapa Harus Marhaban Ya Ramadhan?

Umat Muslim saat mendengar Ramadhan akan tiba mereka merasakan kegembiraan yang tiada tara. Setidaknya 2 bulan sebelum Ramadhan datang, para imam masjid setiap usai shalat lima waktu mereka membasahi bibirnya dengan untaian doa, “Allahumma bāriklanā fī rājaba wa sya’bana wa balighnā ramadhān: Wahai Allah berkahilah kami di bulan Rajab, Sya’ban dan sampaikanlah kami berjumpa dengan Ramadhan”.

Sedikitnya ada dua ekspresi ucapan dalam tradisi umat Muslim saat menyambut kedatangan sesuatu yaitu dengan mengucapkan ahlan wa sahlan atau marhaban. Keduanya bermakna selamat datang.

Tapi kenapa para ulama saat menyambut bulan Ramadhan memilih diksi maraban ya Ramadhan, tidak ahlan wa sahlan ya Ramadhan, padahal makna keduanya sama. Kenapa demikian?

Muhammad Quraish Shihab dalam buku Wawasan Al-Qur’an menjelaskan perbedaan ungkapan tersebut. Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti “keluarga” sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang bermakna “mudah”. Juga berarti “dataran rendah” karena mudah dilalui, tidak seperti “jalan mendaki”. Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan selamat datang, yang di celahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, “(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkahkan kaki di) dataran yang rendah dan mudah”.

Sedangkan marẖaban terambil dari kata raẖb yang berarti “luas” atau “lapang”, sehingga marẖaban menggambarkan bahwa tamu itu disambut dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan, serta dipersiapkan bagi dirinya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan “marẖaban” terbentuk kata raẖbat yang antara lain berarti “ruang luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan”. Dengan demikian, maraban ya Ramadhan mengandung arti bahwa kita menyambut bulan Ramadhan dengan lapang dada, penuh kegembiraan, dan penuh cinta.

Baca Juga:  Laku Tasawuf Menjadikan Manusia yang Memanusiakan Manusia

Jika cinta yang menjadi alasannya, maka seperti kata Rumi, “Melalui cinta, kobaran api adalah cahaya yang membuat sukacita”. Maka pantas, dalam suasana Ramadhan, walaupun kita dilarang makan dan tidak minum saat terik panasnya matahari, tapi karena cinta yang mendasarinya, kita tak merasakan derita ataupun siksa tapi yang dirasakan adalah sebuah kebahagiaan, riang gembira dan penuh bunga. “Melalui cinta, yang pahit terasa manis. Melalui cinta, serpihan-serpihan tembaga jadi emas” begitu kata Rumi.

Sumber Bacaan

Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi: Serpihan-Serpihan Puisi Penerang Jiwa, Bandung: Mizan, 2015.

Haidar Bagir, Mereguk Cinta Rumi: Serpihan-Serpihan Puisi Pelembut Jiwa, Bandung: Mizan, 2016.

Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1996.

 

0 Shares:
You May Also Like