Menilik Latar Belakang Historis Pemikiran Asghar Ali Engineer

Asghar Ali Engineer lahir di India pada tanggal 10 Juni 1940 di sebuah daerah bernama Salumbar Rajhastan. Pembubuhan nama Engineer di belakang namanya, didasarkan atas perolehan gelar insinyur sipil dari universitas Indore. Sementara itu, Asghar mendapatkan pendidikan agamanya dari ayahnya sendiri yang bernama Syaikh Qurban Hussain, ia belajar tentang fikih, tafsir dan hadits dari ayahnya tersebut. Kemudian pada tahun 1972, Asghar memutuskan untuk bergabung dengan para dai di Daudi Bohra salah satu sekte Syi’ah Ismailiyyah.

Masalah-masalah yang kemudian menggerakkan Asghar Ali Engineer yaitu situasi sosial di mana ia hidup, banyak orang-orang terkatung-katung kehidupannya sehingga menjadi tidak jelas yang disebabkan meletusnya kerusuhan yang dilatarbelakangi oleh kekerasan komunal dan komunalisme, sehingga penindasan yang dilakukan penguasa tak terelakkan. Selain itu, masalah yang dihadapi Asghar adalah obskurantisme, intoleransi dan kemunafikan religius. Maka dari itu, Asghar merasakan keprihatinan dan kegelisahan yang menimpa kaum lemah atas penindasan dan pembodohan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mengklaim segala bentuk kemapanan.

Asghar memandang bahwa dogma-dogma yang diwariskan masa silam tidak perlu diyakini secara membabi buta. Sebagai seorang pemimpin salah satu kelompok Syi’ah Ismailiyyah yang berpusat di Bombay India, dengan otoritas keagamaannya tersebut ia ingin menerapkan gagasan-gagasannya, namun ia harus menghadapi reaksi generasi tua yang cenderung konservatif dan mempertahankan kemapanan. Selain itu, yang menggerakkan Asghar untuk menyerukan gagasannya adalah pandangan tentang teologi konvensional. Teologi konvensional ini cenderung ritualistik, dogmatis dan bersifat metafisik yang membingungkan dan dikuasai oleh orang-orang yang mendukung status quo, sehingga implikasinya peran agama dapat disamakan dengan mistik dan menghipnotis masyarakat. Masalah lain yang ditimbulkan dari teologi konvensional ini yakni timbulnya anggapan masyarakat bahwa teologi tidak memberikan kebebasan kepada manusia. Asghar juga menilai bahwa agama hanya berupa segenggam ritual yang tidak memiliki ruh, tidak menyentuh kepentingan kaum tertindas, serta hanya menjadi latihan intelektual dan metafisik yang abstrak bagi kalangan kelas menengah. Konsidi teologi konvensional ini juga telah memperkuat kemapanan, dan mengakibatkan para teolog menjadi berpihak pada status quo.

Asghar menginginkan untuk selalu memikirkan ulang (rethinking) isu-isu yang ada dan menginterpretasikan Islam untuk menjaganya dalam konteks waktu yang senantiasa selalu berubah, ia memandang bahwa hal inilah yang harus dilakukan untuk mendapatkan pelajaran Islam dan merefleksikannya secara lebih mendalam. Bagi Asghar, agama tidak boleh berhenti hanya pada urusan akhirat atau duniawi saja, akan tetapi harus tetap menjaga relevansinya. Antara urusan akhirat dan dunia di satu sisi dengan historisitas dan kontemporerisitas di sisi lain haruslah disatukan, sehingga menghadirkan sebuah agama yang hidup dan dinamis. Selain itu, agama juga harus menjadi sumber motivasi bagi kaum tertindas untuk dapat mengubah keadaan mereka menjadi lebih baik dan juga menjadi kekuatan spiritual.

Baca Juga:  BAGAI DAUN-DAUN KERING TERTIUP ANGIN DI MAKKAH DAN MADINAH (BAGIAN 1)

Dalam hal ini khususnya persoalan kebebasan manusia dalam pandangan Asghar, bahwa Al-Qur’an tidaklah secara tegas menghadirkan kesimpulan itu, karena istilah Allah Yang Mahakuasa di dalam Al-Qur’an tidak berarti memasung inisiatif dan kebebasan manusia. Justru kata-kata bahwa Allah Mahakuasa dapat berarti bahwa Dia berkuasa untuk membuat hukum alam dan memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengikutinya. Selain itu, Al-Qur’an juga justru mendesak manusia untuk selalu berusaha meningkatkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan serta mengakhiri penindasan dan eksploitasi.

Dalam menanggapi semua persoalan yang terjadi, Asghar menghadirkan sebuah gagasan yang baru yaitu Teologi Pembebasan. Agama haruslah menjadi penggerak perubahan dan menjadi senjata bagi kaum yang dieksploitasi. Karena baginya, Islam hadir untuk menggugat status quo, dan mengentaskan kelompok yang ditindas dan dieksploitasi. Teologi pembebasan yang diusung Asghar ini menitikberatkan pada kebebasan, persamaan dan keadilan distributif serta menolak keras penindasan, penganiayaan dan ekploitasi manusia oleh manusia. Dengan semangat revolusioner, teologi pembebasan dapat mengilhami seseorang untuk menghadapi tirani dan penindasan. Asghar pun mengungkapkan bahwa teologi akan bermanfaat bagi tujuan-tujuan kemanusiaan bila teologi itu berangkat dari permasalahan kemanusiaan itu sendiri. Dalam perjuangannya ini, Asghar hampir dua dekade bergulat dalam pergerakan. Eksistensinya benar-benar telah mengganggu status quo dan merupakan ancaman bagi kemapanan Muslim, politik dan agama.

Dengan teologi pembebasan yang di gagas Asghar ini, maka yang terjadi adalah pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan persoalan bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial yang adil, egaliter, dan tidak eksploitatif. Selain itu, mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang telah baku serta terus berusaha secara konstan menerima kemungkinan-kemungkinan baru, tidak mentoleransi pembedaan berdasarkan kasta, kelompok, kelas maupun ras. Kesadaran yang dihadirkan teologi pembebasan yaitu memberikan manusia kebebasan untuk melampaui situasi kekiniannya dalam rangka mengaktualisasikan potensi-potensi kehidupan yang baru dalam kerja sejarah. Teologi pembebasan adalah teologi perjuangan, yang memberikan kesadaran bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri.

Baca Juga:  METODE SAINS LEBIH BAIK DARI AGAMA DAN FILSAFAT? NANTI DULU, KATA TUAN WITTGENSTEIN

0 Shares:
You May Also Like