Seribu Jalan Menuju Allah
Syekh Muḥammad Amîn al-Kurdî menjelaskan bahwa titik awal (permulaan) jalan para sufi Ahlussunnah wal Jamâ‘ah adalah pergi/kembali (al-firâr) kepada Allah dari segala sesuatu, dan titik (tujuan) akhir dari perjalanan mereka adalah bergantung (at-ta‘alluq) sepenuhnya kepada Allah. Kedua hal ini disinggung dalam Al-Qur’an, yaitu: “Maka bersegeralah (menuju) kepada kepada Allah” (QS. Aż-Żâriyât [51]: 50). “Kemudian (setelah itu), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” (QS. Al-An‘âm [6]: 91) (Tanwîr al-Qulûb, hlm. 41-42).
Adapun jalan menuju Allah adalah sebanyak napas makhluk-makhluk-Nya. Oleh karena itu, umat Islam bisa sampai kepada Allah melalui jalan yang beragam, seperti zuhud, sedekah, memperbanyak baca salawat, dan lain sebagainya (Habib Zein bin Smith, Al-Fawâ’id al-Mukhtârah, 2008: 128). Hal ini menunjukkan bahwa kelompok keagamaan tertentu (baik kelompok tarekat, maupun ormas Islam lainnya) tidak bisa memonopoli jalan menuju Allah. Sebab, jalan menuju Allah adalah sebanyak napas makhluk-makhluk-Nya, dan tidak terbatas kepada kelompok keagamaan tertentu.
Menurut Syekh Zainuddîn al-Malîbârî dalam salah satu nazamnya, setiap Muslim memiliki jalan tersendiri dalam menuju Allah; yang dengan jalan itu dia sampai kepada-Nya, seperti: mendidik umat manusia, memperbanyak wirid (baik salat maupun puasa), mengabdi (khidmah) kepada umat, dan sedekah (seperti mengumpulkan kayu bakar untuk dijual dan hasilnya disedekahkan) dsb. (Hidâyah al-Ażkiyâ’ ilâ Ṭarîq al-Awliyâ’, 1303: 11).
Suluk Para Pendidik
Sayyid Bakrî al-Makkî menjelaskan bahwa umat Islam (baik ulama maupun masyarakat umum) memiliki jalan yang berbeda-beda dalam menuju Allah, sebagaimana disebutkan oleh Syekh Zainuddîn al-Malîbârî. Hal ini karena banyaknya jalan menuju Allah, di mana masing-masing jalan tersebut mengantarkan para salik (orang yang berjalan menuju Allah) sampai kepada-Nya (Kifâyah al-Atqiyâ’ wa Minhâj al-Aṣfiyâ’, 1303: 12).
Dalam hal ini, sebagian umat Islam menuju Allah dengan jalan mengajar dan mendidik umat manusia, seperti ibadah, akhlak yang luhur, dan lainnya (hlm. 12). Menurut Nabi Isâ as., sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw., “Barangsiapa yang memiliki ilmu, mengamalkannya, dan mengajarkan(menyebarkan)-nya kepada orang lain, maka dia akan mendapatkan panggilan yang agung di kerajaan langit” (Imam al-Gazâlî, Iḥyâ’ ‘Ulûmi ad-Dîn, 2005: 17 dan Minhâj al-Muta‘allim, 2010: 71).
Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw. menyebutkan bahwa orang yang paling dermawan di muka bumi setelah beliau adalah orang berilmu yang mengajarkan dan menyebarkannya. Seorang ulama berpendapat bahwa orang yang menghidupkan orang bodoh dengan cara mendidiknya, maka dia seperti menghidupkan seluruh umat manusia (Imam an-Nawawî, Syarḥ al-Arba‘în an-Nawawiyyah, hlm. 98-99).
Makanya, tidak heran jika Imam al-Gazâlî mengatakan bahwa pengajar dan pendidik laksana mentari yang menyinari kehidupan dan kesturi yang mewangikan sekelilingnya. Oleh karena itu, setiap Muslim yang menjadi pendidik harus senantiasa menjaga adab (tatakrama) mendidik. Sebab, mendidik manusia merupakan perkara yang sangat agung dan penting (Kifâyah al-Atqiyâ’, hlm. 12).
Suluk Para Abid dan Para Abdi
Sebagian umat Islam menuju Allah dengan jalan memperbanyak wirid dan ibadah, seperti puasa, salat, membaca Al-Qur’an, membaca tasbih, bersalawat, dan lain sebagainya. Jalan jenis ini merupakan jalannya orang-orang saleh, dan biasanya ditempuh oleh orang-orang yang tidak sibuk dengan pekerjaan (hlm. 12).
Di sisi lain, sebagia umat Islam menuju Allah dengan jalan mengabdi dan membantu (khidmah) kepada umat, para ulama, fakih, sufi, dan wali. Menurut Sayyid Bakrî al-Makkî, berkhidmah kepada para ulama dan wali merupakan ibadah sekaligus membantu kaum Muslimin. Oleh karena itu, ia lebih utama daripada melaksanakan ibadah sunah (hlm. 12).
Dalam hal ini, Syekh ‘Abdul Qâdir al-Jailânî berkata: “Mâ waṣaltu ilallâhî ta‘âlâ bi qiyâmi lailin wa lâ ṣiyâmi nahârin wa lâkin waṣaltu ilallâhi ta‘âlâ bi al-karami wa at-tawâḍu‘i wa salâmah aṣ–ṣadr (Aku sampai kepada Allah bukan karena salat malam dan puasa, tetapi aku sampai kepada Allah karena kedermawanan, tawaduk, dan lapang dada dan selamat dari penyakit-penyakit hati)” (hlm. 12).
Dengan demikian, para pendidik, dokter, ahli hikmah, mekanik, teknisi, pejabat, TNI-Polri, akademisi, cendikiawan, seniman, dan lainnya bisa menuju Allah dengan jalan berkhidmah (mengabdi) kepada bangsa dan umat sesuai bidangnya masing-masing.
Suluk Para Buruh
Sebagian umat Islam menuju Allah dengan jalan sedekah, seperti mengumpulkan kayu atau lainnya untuk dijual dan hasilnya disedekahkan. Menurut Sayyid Bakrî al-Makkî, jalan jenis ini merupakan ibadah yang sangat bermanfaat, yang dengannya seseorang memperoleh keberkahan doa orang-orang Islam (hlm. 12). Dengan demikian, orang-orang yang sibuk bekerja (baik petani, pedagang, pegawai, buruh, maupun lainnya) bisa menuju Allah dengan jalan sedekah.
Dalam hal ini, saudara penulis, Fahmi Saifuddin (alumni Darul Musthofa, Tarim) bercerita bahwa salah satu gurunya (Habib Husein bin Umar al-Ḥaddâd) menuju Allah dengan jalan berjualan buku, dan hasilnya disedekahkan. Sebenarnya Habib Husein sendiri merupakan seorang ulama terkenal dan disegani di Tarim yang biasa berdakwah hingga ke mancanegara (seperti Afrika), dan termasuk ulama yang mampu secara ekonomi. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari rumahnya yang besar layaknya rumah penduduk Tarim pada umumnya.
Namun, pada akhirnya beliau meninggalkan kemasyhurannya sebagai ulama dan memilih menjadi tukang jual buku (kitab) di emperan Pesantren Darul Musthofa milik Habib Umar bin Hafiz hingga wafat. Beliau menjual buku-buku tersebut hampir setiap hari dari pagi (sekitar jam 9) hingga sore (bakda Asar), dan melaksanakan salat Zuhur dan Asar secara berjemaah di musala Ahlul Kissa’ Darul Musthofa.
Hasil penjualan buku itu disedekahkan secara langsung kepada fakir miskin dan para janda. Dalam hal ini, Habib Husein mengantarkan sendiri sedekah (uang) itu kepada mereka di rumah masing-masing setiap habis menjual buku-buku tersebut. Namun demikian, di waktu-waktu tertentu Fahmi Saifuddin pernah menjumpai Habib Husein mengajar beberapa Syekh (salah satunya pengajar di Universitas al-Ahgaff) di saqîfah datuknya, Imam Habib ‘Abdillâh bin ‘Alawî al-Ḥaddâd (pengarang Râtibul Ḥaddâd), di Zanbal, Tarim. Makanya, tidak heran jika beliau dianggap wali mastûr (wali yang tersembunyi).
Dengan demikian, semua orang Islam (baik pemulung, petani, pedagang, buruh, ahli hikmah, sufi, kiai-ibu nyai, ustaz-ustazah, dai, pendidik, cendikiawan, akademisi, penulis, dokter, pejabat, TNI-Polri, seniman, maupun lainnya) sama-sama memiliki kesempatan yang sama untuk sampai kepada Allah Yang Maha Indah dengan jalan masing-masing, sebagaimana telah disebutkan di atas.