Aspek Personal-Ideasional dan Psikologis Abu Hasan al-Asy’ari

Teologi Islam al-Asy’ariyah dapat dikatakan sebagai aliran yang masih bertahan di tengah perkembangan teologi Islam dewasa ini. Teologi ini oleh para pengikutnya dinisbatkan pada pendirinya: Abu Hasan al-Asy’ari

Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan ibn Ali Ibn Ismail Ibn Abi Bisyr Ishaq ibn Salim ibn Ismail Abd Allah Abu Musa al-Asy’ari (w. 324/935). Lahir di Basrah dan besar, serta wafat di Baghdad. Konon, makamnya ada di antara kota Karkh dan pintu gerbang kota Basrah. Sebagaiaman informasi yang dinarasikan Richard J. Mc Carthy dalam The Theology of al-Asy’ari (1953), yang menyatakan banyak dari kalangan intelektual berbeda pendapat mengenai wafat al-Asy’ari.

Misalnya, Abu Bakr Ahmad ibn Ali ibn Tsabit ibn al-Khathib al-Baghdadi menyatakan bahwa al-Asy’ari lahir tahun 260 H/873-874 M dan wafat 330 H/941-942 M. Sementara Abu al-Qosim Abd al-Wahid ibn Ali al-Asadi menyatakan al-Asy’ari wafat antara 320 H dan 330 H. Sedangkan Abu Muhammad Ali ibn Ahmad ibn Said ibn Hazm menyatakan bahwa al-Asy’ari wafat 324 H H/935-936 M. Bahkan dari itu, ada yang menyatakan bahwa al-Asy’ari wafat sekitar tahun 330 H.

Banyaknya perbedaan ini tentu membuktikan bahwa pembacaan atas Abu Hasan al-Asya’ri tak tunggal. Secara umum dalam literatur teologi Islam, termasuk literatur yang ditulis sarjana Indonesia lebih banyak yang sepakat bahwa al-Asy’ari lahir di tahun 260 H/873 M dan wafat di tahun 324 H/935 M.

Ismail ibn Ishaq, merupakan ayah al-Asy’ari, seorang tokoh hadis, dan meninggal ketika al-Asy’ari masih berumur sekitar 10 tahun. Dalam suatu riwayat, menjelang wafat, ayahnya berwasiat agar al-Asy’ari kecil diasuh dan bimbingan Abu Yahya Zakaria bin Yahya al-Saji, yang konon katanya seorang pakar mazhab fikih Syafi’i dan pakar hadis di kota Bashrah yang berpegang teguh dengan prinsip ahlus sunnah wal jamaah. Dari al-Siji inilah kemudian al-Asy’ari secara intensif mengembangkan ilmunya di forum setiap malam Jumat di masjid al-Mansur yang diasuh oleh ulama fikih, yaitu Abu Ishaq al-Maruzi (w. 340 H).

Baca Juga:  MERAYAKAN TANGAN TUHAN DALAM FILM-FILM BESUTAN MIZAN:

Asy’ari sendiri berkenalan dengan teologi Islam Mu’tazilah sekitar umur 15 tahun. Berawal ketika ibunya menikah lagi dengan Abu Ali al-Jubbai yang dikenal sebagai ulama dan profesor dari kalangan teologi Mu’tazilah yang sangat masyhur kala itu. Al-Jubbai dikemudian hari menjadi mentor dalam bidang teologi, hingga pada akhirnya tumbuh dan berkembang dalam doktrin teologi Mu’tazilah.

Dari perkenalan dengan al-Jubbai ini pula, secara intensif al-Asy’ari memutuskan dan memusatkan perhatiannya pada teologi Islam yang menurutnya lebih sangat mendasar, serta dianggap paling terkait dengan hal-hal pokok yaitu, keimanan manusia dan juga besarnya peran akal dalam disiplin keilmuan ini.

Kalau ditelisik secara sosial-intelektual, al-Asy’ari hidup di lingkungan yang sangat kondusif dengan keadaan intelektualitas tinggi, hingga menjadikan dirinya sebagai seorang yang sangat haus intelektual untuk terus menerus mencari kebenaran.

Berkat latihan dan kecerdasan yang dimiliki serta bimbingan dari tokoh-tokoh Mu’tazilah seperti al-Jubbai dan al-Syahham, dalam waktu singkat al-Asy’ari menjadi tokoh penting Mu’tazilah dengan kredibilitas tinggi. Bahkan, dipercaya untuk mengantikan al-Jubbai dalam forum-forum diskusi, maupun debat terbuka mengenai masalah teologi.

Di tengah-tengah puncak popularitas inilah, al-Asy’ari mengalami pergulatan batin dan goncangan intelektualitas hingga mencapai titik kulminasi. Al-Asy’ari mengalami pergulatan dan dilanda sifat keragu-raguan atas keilmuan yang telah dikuasai. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya. Mulai dari pertanyaan, apakah teologi yang selama ini dipelajari dan dianut secara empirik benar atau tidak?

Kasus al-Asy’ari ini kelak juga dialami pengikutnya: Imam al-Ghazali. Bedanya, al-Asy’ari dalam bidang teologi, sedangkan al-Ghazali dalam bidang filsafat yang akhirnya berlabuh ke dunia sufistik. Keduanya sama-sama menyerang bidang keilmuan yang pernah ditekuni yaitu teologi Mu’tazilah dan filsafat Islam, dengan karya masing-masing. Perbedaan yang lain, al-Asy’ari berumur 40 tahun, sementara al-Ghazali berumur 30 tahun.

Baca Juga:  Rekonstruksi Nalar Pemikiran Jamaluddin Al-Afghani

Dalam pelbagai literatur yang menulis biografi al-Asy’ari menginformasikan bahwa ia bergelut dengan teologi Mu’tazilah selama 40 tahun. Termasuk Harun Nasution yang merujuk pada Musthafa Abd al-Raziq menyatakan “… dan menjadi pengikut Mu’tazilah selama 40 tahun” (hal. 64). Dari pergumulan ini kemudian melakukan konversi teologi, dari teologi Mu’tazilah ke teologi Sunni.

Banyak alasan yang diberikan kalangan intelektual terkait ini hingga akhirnya berbeda pendapat antara satu dan yang lainnya. Misalnya, Ibn Nadim menyatakan karena berbeda pandangan tentang keadilan Allah dalam teologi Mu’tazilah yang terkesan menghilangkan aspek kekuasaan-Nya dan tentang kemakhlukan Al-Qur’an.

  1. Montgomery Watt dalam The Formative Period of Islamic Thought (1973) menyatakan kalau al-Asy’ari mendapat petunjuk langsung dari Nabi melalui mimpi selama tiga kali. Dalam mimpinya Nabi memerintahkan dan menegaskan bahwa ahlul hadits yang benar tanpa harus meninggal teologi.

Menariknya, Watt sendiri dalam karya yang lain, semisalnya Early Islam (1990) menyatakan kalau konversi yang dilakukan al-Asy’ari disebabkan karena kekecewaan kepada gurunya, al-Jubbai terkait keharusan Allah untuk berbuat baik dan terbaik bagi manusia (al-shalah wa al-ashlah), serta kedudukan seorang anak kecil kelak di akhirat: apakah mukmin atau kafir? Dan, al-Jubbai tak bisa memberikan jawaban secara rasional.

Di berbagai literatur yang saya jumpai misalnya, menyebutkan kalau konversi teologi ini dilakukan melalui dua fase; fase Bashrah dan fase Baghdad. Pada fase pertama ini dilakukan ketika masih berada di Bashrah, dan mendapat dukungan dari kalangan Sunni terkait tujuh sifat Allah, serta memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat antromorfisme yang ada dalam Al-Qur’an.

Sementara fase kedua dilakukan setelah pindah ke Baghdad, di mana pandangan Ahmad bin Hambal sangat berpengaruh dalam pemikirannya. Bahkan, pada fase ini banyak dipengaruhi kelompok yang pelopori Kullabiyah (w.854). Di mana pada waktu itu juga tergolong sebagai aliran yang gencar membantah pemikiran Mu’tazilah.

Di fase kedua ini, setelah membaca beberapa karya-karyanya, saya agak setuju dengan pandangan Ducan B Mcdonald, kalau al-Asy’ari sudah tak lagi menjelaskan tentang ayat-ayat antromorfisme. Dan, sebagai gantinya mengajukan formula bi la kaifa wa la tasybih. Formula bi la kaifa ini berasal dari Malik bin Anas yang ditunjukkan langsung ke teologi Mu’tazilah. Sedangkan formula la tasybih ditunjukkan untuk menghantam pemikiran kaum musyabbihah.

Dengan demikian, secara substansial indikasi konversi teologi al-Asy’ari bisa dilihat dengan sangat jelas, bahwa ia menawarkan suatu gagasan yang bertolak belakang dengan apa yang diyakini sebelumnya. Setidaknya ada beberapa aspek yang lebih mendasar mengapa kemudian konversi teologi itu terjadi. Dan, analisis yang digunakan Fuad Baali dan Ali Wardi, serta Mc Guire, mungkin sangat tepat untuk membaca karakter al-Asy’ari ini, yaitu aspek personal-ideasional, kultural-psikologis dan sosial.

Baca Juga:  Islam Agama Cinta

Misalnya, aspek personal-ideasional ini, bisa dikatakan lebih pada kepercayaan al-Asy’ari untuk menjustifikasi pemaknaan teologi yang selama ini dianut. Sementara aspek kultural-psikologis dapat dikatakan sebagai hubungan emosi dan sikap yang dimiliki al-Asy’ari, seperti budaya yang dimiliki. Sedangkan aspek sosial, lebih pada interaksi dengan orang-orang sekitar, seperti orang tua, teman dan masyarakat Baghdad pada waktu itu.

Pada akhirnya, kalau melihat besarnya pengaruh doktrin teologi Islam al-Asy’ari di dunia Islam yang bertahan hingga saat ini, tentu dapat dikatakan kalau al-Asy’ari seorang pembaru dalam pemikiran teologi Islam. Keberhasilan pembaruannya ini ditunjukkan dengan metode keseimbangan antara metode Mu’tazilah dan Salafiyah atau argumen rasionalis dan argumen tekstualis sehingga berdampak pada signifikansi jumlah pengikut yang banyak sehingga saat ini.

Dan bisa jadi sangat tepat dan benar penilaian sejarwan, Karen Armstrong yang mengatakan bahwa al-Asy’ari (w. 324/935) adalah sosok tokoh terpenting dalam mendamaikan kelompok Sunni. Senada dengan itu, Nurcholish Madjid dalam, juga mengatakan kalau al-Asy’ari adalah tokoh utama dan penengah di antara dua aliran teologi yang memiliki kecenderungan ekstrem.

0 Shares:
You May Also Like