Oleh: Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam
Islam di Barat (maghrib) banyak mengalami problem yang begitu kompleks baik dari internal Islam itu sendiri ataupun dari eksternal Islam. Dari internal Islam, kerajaan-kerajaan kecil seperti Zaragoza mulai runtuh sedikit demi sedikit karena peperangan yang disebabkan persoalan keagamaan oleh para ulama ortodoks dan karena politik keluarga kerajaan, dan ditinjau di sisi eksternal, adanya kelompok Kristen selalu menggerogoti umat Islam—dalam misi misionaris dan merebut Andalusia kembali.
Masalah yang sedang melanda kerajaan Zaragoza, tidak lantas fakum dalam melahirkan tokoh-tokoh yang besar. Tokoh itu bernama Ibn Bajjah yang dilahirkan oleh semesta pada akhir abad ke-11 dan di masa akhir kerajaan Zaragoza. Nama lengkapnya, Abu Bakar Muhammad bin Yahya bin ash-Shayigh at-Tujibi bin Bajjah—seorang astronom, filsuf, musisi, dokter, fisikawan, psikolog, botanis, sastrawan, dan ilmuwan Muslim Andalusia yang dikenal di Barat dengan nama Latinnya, Avempace. Kiprahnya dalam panggung politik dimulai ketika ia berteman dengan Ali yang dulu pernah menjadi gubernur Zaragoza. Sebagai teman dekat sang pangeran, Ibn Bajjah tidak bisa menolak tawaran dari teman sejawatnya ini dalam menduduki kursi sebagai perdana menterinya, tujuan ditunjuknya Ibn Bajjah sebagai perdana menteri, tidak lain dan tidak bukan untuk meredam golongan fuqaha dan tentara yang membelot dari kerajaan.
Semasa hidupnya, walaupun ia disibukkan dengan urusan kenegaraan tetapi sebagai seorang filsuf yang sangat cinta terhadap ilmu pengetahuan, ia sempatkan untuk selalu menulis. Hal ini, bisa kita lihat dari karya-karyanya di antaranya; Risalat al-Wada, Tadbir al-Mutawahhid, Tardiyyah, Kitab al-Nafs, Kitab al-Nabat al-Andalus dsb. Ibn Bajjah juga sangat piawai dalam hal teori dan praktik sains matematika, utamanya dalam ekonomi, musik dan ilmu kedokteran. Tidak itu saja, selama hidupnya ia mengabdikan diri dalam kajian-kajian logika, filsafat alam dan metafisika. Sebagai tokoh besar yang mengembangkan ilmu mantiq dan filsafat sudah pasti dia dianggap sebagai orang yang ‘ateis buangan’ dan tak bermoral oleh golongan ulama ortodoks yang sangat fanatik terhadap keyakinannya (De Boer, 2019:218)
Namun, di akhir hidupnya sangat tragis, karena diracun oleh pegawai istana Murabithun yang disuruh oleh dokter yang iri pada dirinya. Kejadian ini berlangsung di Fez sebagai ibu kota dinasti Murabithun di Afrika yang terjadi pada tahun 1138. Kehidupannya yang singkat adalah kehidupan yang menyakitkan, sengsara, merana dan tidak bisa hidup dengan damai ini diakui oleh dirinya bahkan ia selalu berdoa supaya cepat diambil nyawanya karena kematian adalah tempat berlindung yang terakhir baginya. Keproduktifannya itu menandakan bahwa selama hidupnya penuh dengan patologi sosial yang tidak ia inginkan dan itu sebagai gambaran yang terjadi pada zaman itu.
Pemikiran dan tulisan-tulisannya hampir sepenuhnya sepakat dengan al-Farabi (w. 950 M)—filsuf Timur Islam yang penuh dengan ketenangan dan lebih suka menyendiri. Kedua tokoh ini sama-sama produktif dalam melahirkan karya. Mereka juga sama-sama pengagum Aristoteles, sehingga disebut sebagai Aristotelian, dan mereka sama-sama jarang menulis risalah-risalah yang orisinal, sebagian besar berisi penjelasan-penjelasan singkat mengenai karya dari Aristoteles dan karya-karya filsafat yang lain.
Seperti halnya al-Farabi, Ibn Bajjah dalam menyelesaikan masalah kenegaraan dan persoalan akademik, ia selalu melakukan kegiatan-kegiatan kontemplasi yang berorientasikan pada ibadah esoteris. Baginya, merasakan kebahagiaan tertinggi ketika ia mendapatkan pembenaran yang hanya dapat dipahami dengan cara emanasi atau pencerahan Ilahi. Selain dengan cara itu, baginya pembenaran yang ia dapatkan bersifat absurd yang tidak bisa mendatangkan kepuasaan batiniah. Sehingga, untuk mendapatkan kebahagiaan tertinggi harus menggunakan pemikiran murni dan hati yang tulus yang tak terganggu oleh hasrat duniawi.
Sebagai seorang filsuf, konsen keilmuan yang ia kaji tidak lepas dari ilmu mantiq (logika) bahkan dalam ilmu ini, selain penyelesainnya dengan cara-cara kegiatan esoteris seperti halnya al-Farabi, kerangkan yang dibangun juga tidak bisa dibedakan di antara keduanya. Bahkan, nyaris sepenuhnya sama dan tidak bisa dibedakan mana karya dari al-Farabi dan mana pemikiran Ibn Bajjah dan ini kita bisa lihat dalam teori-teori fisika dan metafisika yang sepenuhnya ia sepakat dengan al-Farabi.
Tidak hanya soal ilmu logika saja, dalam soal bernegara Ibn Bajjah sepenuhnya sepakat dengan al-Farabi. Kita bisa lihat dalam risalah-risalah kecil yang ia buat mengenai pemerintahan Dewan Negara dan Pemerintahan Negara-Kota (M.M Syarif, 1991: 165). Semisal dalam kitab Tadbir al-Mutawahhid Ibn Bajjah sangat menyetujui teori politiknya al-Farabi. Ia sepakat dengan al-Farabi mengenai pembagian suatu negara ke dalam dua bagian yakni negara yang sempurna (al-Madinah al-Fadhilah) dan negara yang tidak sempurna.
Di dalam negara, pasti ada individu sebagai komponen utama yang menopang berdirinya suatu negara dalam hal ini ia juga sepenuhnya sepakat dengan al-Farabi bahwa individu yang berbeda dari suatu bangsa, maka memiliki watak yang tidak sama sebagian dari mereka lebih memilih untuk memerintah dan sebagian dari mereka lebih memilih untuk diperintah.
Sistem negara yang Ibn bajjah bangun sama persis seperti apa yang al-Farabi bangun di Timur Islam. Segala perundang-undangan yang dibuat untuk mengatur negara harus disusun oleh Kepala Negara dan dilaksanakan oleh pelaksana-pelaksana di bawahnya. Kepala negara ini yang telah disamakan oleh al-Farabi dengan seorang Nabi atau seorang yang memiliki sifat bijaksana tinggi (filsuf) yang itu tidak dimiliki oleh orang pada umumnya. Ibn Bajjah juga mengetahui sama halnya al-Farabi bahwa kebajikan itu ditanamkan secara sosial dan beradab, dan bahwa keperantaraan imajinasi sangat penting dalam implementasi kebijakan sosial yang dengannya kebajikan moral ditanamkan dan kebajikan intelektual diperkuat (Len E. Goodman, 2003:368).
Kedua tokoh ini bagaikan satu ruh yang ditempatkan pada dua jasad yang berbeda. Satu untuk berdakwah dan meredam kekacauan di dunia Islam Timur, serta yang satu ditugaskan untuk meredam moral masyarakat yang paling rendah pada saat itu di dunia Islam Barat. Mereka sama-sama berdakwah dengan ilmu pengetahuan yang mereka kuasai terutama mengenai filsafat dan politik kenegaraan. Jarang di era sekarang kita menemukan dua tokoh dan di dua wilayah yang berbeda namun mengenai pemikirannya tidak dapat dibedakan satu sama lain. Semoga di era social society 5.0 sekarang ini akan lahir kembali sosok Neo-Farabian dan Neo-Bajjahian.