Mencintai Allah, Mencintai Manusia

Islam sebagai ajaran agama tak sekedar mengatur bagaimana umatnya menjalankan ritual mahdhah atau rituistik sebagai sarana berhubungan dengan sang Khaliq saja, melainkan juga memberikan panduan bagaimana umatnya meniti kehidupan sosial maupun kultural di tengah masyarakat yang plural.

Perlu kita ketahui juga bahwa, di dalam Islam terdapat dua aspek utama, yaitu ibadah dan muamalah yang ajaran ini tidak boleh lepas dari agama Islam sendiri. Aspek ibadah bertendensi pada aturan-aturan ilahiah yang mengatur hubungan antara hamba dengan Tuhannya. Sedangkan aspek muamalah menitikberatkan pada tatanan hidup yang bersifat antarsesama manusia, dan keduanya ini harus seimbang dalam kehidupana manusia.

Telah dijelaskan di dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Qashash ayat 77 bahwa konsep keseimbangan itu merupakan ajaran yang harus dilakukan oleh manusia. Ini menandakan bahwa manusia harus hidup seimbang antara upaya untuk bekal bagi kehidupan di akhirat kelak, tanpa harus meninggalkan kepentingan dan kebutuhan duniawi—hubungan mencintai sesama manusia.

Dalam sebuah hadis, telah dijelaskan, “Tidak beriman—tidak sempurna iman—seseorang hingga yang bersangkutan sanggup mencintai orang lain seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Ini berarti bahwa Islam sangat jelas mengajarkan dalam rangka mencintai Allah agar juga membangun jalinan kasih sayang antarsesama manusia (tak terkecuali).

Tetapi, kini faktanya ajaran yang sedemikian mulianya itu, belum sepenuhnya dilakukan oleh umat Islam. Terbukti bahwa tidak sedikit yang mengaku sebagai Muslim dan beriman tetapi perilaku sehari-hari mereka belum juga menunjukkan sifat yang mulia itu, yakni dalam hal berhubungan dengan sesama manusia.

Hemat saya, kalau mengaku mencintai Allah ya berarti harus juga mencintai sesama manusia. Tidak hanya mencintai Allah dengan ritual belaka tetapi dari kegiatan ritual itu harus membekas dalam kehidupan sosialnya.

Baca Juga:  Al-Qur'an Kitab Cinta

Kalau kita melihat dalam ranah sufi misalnya, Haidar Bagir dalam bukunya Mengenal Tasawuf Spiritualisme dalam Islam (2019) menjelaskan bahwa seorang sufi yang baik bukan hanya makhluk spiritual, melainkan sekaligus sosial. Belajar dari Nabi Muhammad saw., seorang sufi yang baik sama sekali tidak menyangkal kehidupan dunia, melainkan justru menjadikannya wahana untuk bertemu dengan Allah swt.

Memang, jika diperlakukan dengan benar, dunia adalah wahana bagi orang yang beriman untuk mendapatkan kejayaan di akhirat dan bukan sebaliknya, menjadikan keburukan. Dalam tasawuf, yang tidak kalah penting dari akhlak individual dan kegiatan spiritual adalah amal saleh yakni berbuat baik dan mencintai sesama manusia.

Sebagai pungkasan, saya menukilkan tulisan dalam bukunya Haidar bagir (2019) yakni kisah seorang sufi, Abu bin Azhim namanya, bahwa dalam salah satu tidurnya ia bertemu dengan Malaikat. Sang Malaikat membawa sebuah daftar di tangannya. Muncullah rasa ingin tahu dari Abu bin Azhim. “Daftar apa yang kau bawa, wahai pesuruh Tuhan yang mulia?” Maka, sang Malaikat pun memberi kesempatan kepada Abu bin Azhim untuk mengintip dokumen alam gaib itu. Dengan harap-harap cemas dicarinya namanya sendiri di dalam daftar ini.

Tak ada! Tentu saja Abu bin Azhim sedih. Tapi, kemudian ia meminta kepada sang Malaikat. “Tolong catat namaku sebagai pecinta manusia”. Dan, mimpinya berakir di sini malam itu. Malam selanjutnya, ia yang memang adalah pecinta yang peduli kepada manusia-manusia di sekitarnya, bermimpi bertemu malaikat yang sama. Makhluk pesuruh Tuhan itu masih membawa daftar nama para pecinta Tuhan itu masih membawa daftar nama pecinta Tuhan. Abu bin Azhim lagi-lagi ingin sekali mengintip daftar itu. Dan ketika kesempatan itu diberikan lagi kepadanya oleh sang Malaikat, dia dapati kali ini namanya ada di sana.

Baca Juga:  Hijrah (10) : Kata Nabi, “Jangan Menakut-Nakuti”

Mari kita saling mencintai sesama manusia, demi diterimanya cinta kita kepada Allah swt.

0 Shares:
You May Also Like