Konsep Etika Sufistik Al-Ghazali

Etika lambat laun akan tergeser oleh otonomi manusia yang memakai nilai kebebasan bahkan mendewakannya. Padahal, bila ditelisik lebih jauh, etika merupakan bagian dari aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan menjalani kehidupan sosial secara harmonis, adil dan seimbang. Lalu, bagaimana bila nilai etika dikuasai dan disetir oleh sebuah kebebasan.

Terlebih apabila kebebasan itu sudah sampai pada kebebasan individu, sehingga antar individu akan saling acuh tak acuh. Kebebasan seperti ini bisa jadi akan menjadikan individu yang tidak mau diatur oleh tatanan nilai kemanusiaan akibatnya etika seringkali diabaikan dalam pandangan hidupnya. Maka dibutuhkan suatu upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terkait dengan prinsip etis dan tingkah laku masyarakat dewasa ini.

Salah satu tawaran yang cukup memadai untuk memenuhi kebutuhan itu adalah dengan mengangkat kembali tema-tema etika Islam yang pernah ada. Dalam perkembangannya, banyak ulama yang pernah melahirkan karya-karya besar yang menjadikan etika Islam sebagai tema sentralnya. Hujjatul Islam Imam al-Ghazali merupakan salah satunya. Berbeda dengan beberapa tokoh sebelumnya, al-Ghazali mencoba menggunakan pengalaman tasawufnya sebagai bahan dasar menyusun kerangka etika Islam.

Sepanjang periode kesufian yang al-Ghazali tempuh, sampai meninggalnya pada 18 Desember 1111 M, ia sudah banyak mengarang sejumlah karya-karya etika. Dari beberapa karya itulah, dapat dimengerti bahwa etika yang berkembang pada masa akhir kehidupan al-Ghazali lebih bercorak sufistik, mengingat bahwa akhir dari tujuan kehidupan manusia adalah mendapatkan kebahagiaan akhirat (M. Amin Syukur, 2002: 183).

Tentu, sebagaimana dalam penjelasan sebelumnya bahwa untuk memenuhi tujuan itu, al-Ghazali seringkali menyepikan diri (berkhalwat), memperbanyak amal ibadah dan riyadlah. Jadi, perhatian utama hidup dan pemikirannya semasa periode sufi adalah ingin memperoleh kehidupan akhirat yang baik. Karenanya, al-Ghazali kemudian menamakan etikanya sebagai ilmu jalan akhirat (‘ilm thariq al-akhirat) atau jalan yang dilalui para Nabi dan para leluhur saleh (al-salaf al-shalih). (Muhammad Abul Quasem, 1988: 10)

Baca Juga:  Memaknai Adam dan Surga dalam Novel Filsafat Dunia Cecilia

Dari beberapa karya yang pernah ia tulis, terutama tentang etika (moral), memang al-Ghazali sendiri tidak memberikan istilah itu secara eksplisit. Dua nama seperti disebutkan sebelumnya, merupakan pilihannya untuk mengikuti apa yang telah ia pelajari dari kaum sufi. Sebagaimana dijelaskan oleh Abul Quasem, al-Ghazali mengartikan etika sebagai suatu, “Pengkajian hal keyakinan religius tertentu (i’tiqadat), dan tentang kebenaran dan kesalahan dalam amal untuk diamalkan, dan bukan demi pengetahuan belaka. Pengkajian terhadapnya meliputi pengkajian tentang amal terhadap Allah, amal terhadap sesama manusia dalam keluarga dan dalam masyarakat, mengenai pensucian jiwa dari kejahatan dan perihal memperindah jiwa dengan kebajikan-kebajikan”. Dari pengertian singkat ini, dapat dipahami bahwa etika al-Ghazali bersifat sangat luas cakupannya dan inilah yang menjadi ciri khas etika sufistiknya (Muhammad Abul Quasem, 1988: 10-11).

Menurut al-Ghazali, akhir dan tujuan dari implementasi etika sufistik adalah meraih apa yang disebut sebagai kecintaan karena Allah. Dalam ilmu tasawuf, pada titik inilah manusia akan mencapai derajatnya yang luhur. Bila kecintaan karena Allah merupakan tujuan akhir, maka sifat-sifat yang lain, seperti kerinduan, kasih sayang, dan keridaan merupakan sifat dan karakter yang akan mengiringi tujuan itu. Tiga sifat yang disebut terakhir ini tidak hanya bersifat abstrak, namun juga bersifat konkret, yang mana sifat-sifat itu tidak hanya dirasakan diri sendiri namun juga dapat dirasakan oleh orang-orang sekitarnya. Sebagaimana ketika al-Ghazali menjelaskan perihal adab persaudaraan (Al-Ghazali, 2016: 159). Menurut al-Ghazali, saling mencintai karena Allah dan persaudaraan dalam agama-Nya adalah seutama-utama mendekatkan diri kepada Allah dan itu merupakan buah dari akhlak (etika) yang baik dan terpuji.

Dengan memahami makna dari persaudaraan karena Allah, manusia akan mampu membedakan persaudaraan yang didasarkan atas kepentingan-kepentingan duniawi. Artinya, persahabatan harus dimengerti sebagai salah satu perantara yang dapat mengantarkan manusia sampai kepada kecintaan Allah. Hal-hal yang dapat dilakukan ialah dengan cara memenuhi hak-hak persaudaraan dan persahabatan, memenuhi hak-hak Muslim, kerabat, tetangga, kerabat, keluarga, dan juga hamba sahaya (Al-Ghazali, 2016: 163-167).

Baca Juga:  Ketika Tuhan Menurunkan Martabat-Nya

Beberapa hak-hak yang harus dipenuhi, misalnya tidak menyakiti orang lain, merendahkan diri dan tidak bersikap sombong kepada sesama Muslim, mendamaikan orang-orang yang berselisih di antaranya, dan lain sebagainya. Penjelasan di atas merupakan salah satu contoh, bagaimana etika sufistik yang diusung oleh al-Ghazali bekerja dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah).

Konsep etika sufistik al-Ghazali, konsep etika yang ditawarkan oleh al-Ghazali merupakan etika yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman sufistik. Namun demikian, pengalaman sufistik merupakan sebagian kecil dari beberapa tahap yang harus dilewati seseorang untuk memperoleh kebahagiaan. Artinya, ada hal lain yang harus ditempuh dan dilewati agar mencapai kebahagiaan-kebahagiaan ukhrawi. Seperti dalam salah satu pembahasan dalam kitabnya yang berjudul Mizanul ‘Amal.

Al-Ghazali menjelaskan perihal dua jalan untuk memperoleh kebahaagiaan, yakni ilmu dan amal. Sampai di sini, dapat dimengerti bahwa al-Ghazali mendasarkan konsep etikanya tidak hanya pada batas-batas ilmu, namum juga bagaimana ilmu-ilmu agama Islam dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, atau yang lebih dikenal dengan istilah hablun min al-nas. Dalam Ihyâ al-Ulûmuddîn, teori etika teleologis ini sangat tampak diajukan oleh al-Ghazali.

Menurut al-Ghazali tujuan luhur dari manusia adalah kebahagian akhirat. Oleh karena itu, suatu amal dipandang baik bila amal itu menghasilkan pengaruh pada jiwa yang membuatnya mengarah ke tujuan itu, demikian juga sebaliknya. Jadi, tolok ukur baik atau buruknya sebuah perbuatan dapat dibedakan karena adanya pengaruh yang ditimbulkan terhadap jiwa pelakunya, apakah semakin dekat dengan Tuhan, atau menjauhinya (Al-Ghazali, Beirut: 138).

Untuk menerapkannya pada konteks kekinian, sebenarnya banyak sekali yang dapat dijadikan contoh, mengingat titik tolak berangkatnya konsep etika sufistik al-Ghazali yang banyak ia tulis dalam bab-bab kitabnya Ihya’ merupakan aplikasi dari prilaku yang harus dimiliki oleh seorang Muslim dalam kehidupan sehari-hari. Berkaitan dengan hal ini penulis ingin mengemukakan bahwa nilai-nilai etika sufistik al-Ghazali dalam konteks kekinian harus dipahami lebih mendalam dan luas. Mengingat semakin kompleksnya problematika kehidupan yang dihadapi manusia di zaman yang serba modern ini (Al-Ghazali, 1995: 100).

Baca Juga:  Mengenal Tasawuf Sebuah Catatan dari Pelajar Katolik

Daftar Bacaan:
Abul Quasem, Muhammad. 1988. The Etics of Al-Ghazali: A Composite Ethics in Islam, Bandung: Penerbit Pustaka.
Al-Ghazali. 2016. Mukhtashar ihya’ ‘Ulumiddin, Terj. Irwan Kurniawan, Bandung: Mizan Pustaka.
Al-Ghazali. Ihya al-Ulumuddin, Jilid IV, (Beirut: Dar al-Filter,tt.
Al-Ghazali. 1995. Mizan al-Amal, Terj. H.A Mustofa, Jakarta: Rineka Cipta.
Syukur M, Amin. Dan Masyharuddin. 2002. Intelektualisme Tasawuf: Studi Intelektualisme Tasawuf al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

0 Shares:
You May Also Like