Mengenal Tasawuf Sebuah Catatan dari Pelajar Katolik

Adanya agama-agama di dunia mempunyai tujuan yang jelas yakni mendekatkan diri kepada Tuhan. Akan tetapi, kita harus memahami bahwa setiap agama mempunyai kekhasan ajarannya masing-masing. Kekhasan itulah yang membedakan agama yang satu dengan agama yang lainnya. Salah satu pokok penting atau kekhasan yang terdapat dalam ajaran agama Islam adalah “Tasawuf”. Tulisan ini mencoba memaparkan tentang tasawuf dan maknanya dalam agama Islam.

Pokok-pokok yang akan diuraikan yakni pengertian tasawuf dan polemiknnya, sejarah singkat perkembangan tasawuf, landasan dasar tasawuf, makna tasawuf serta relevansinya bagi saya sebagai seorang Katolik.

Polemik Istilah Tasawuf

Secara etimologis, istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab yakni dari kata tashawwafa yang memiliki makna (menjadi) berbulu yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya yang terbuat dari bulu domba/wol (shuf), walaupun pada praktiknya tidak semua ahli sufi pakaiannya menggunakan wol (Badrudin: 2015, 1). Meskipun demikian, secara etimologis term tasawuf masih banyak diperselisih, terutama karena adanya perbedaan pandangan dalam melihat asal-usul dari kata tersebut.

Ada ahli yang melihat bahwa kata tasawuf berasal dari kata shaff yang berarti barisan dalam salat berjamaah. Alasan mereka yakni seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan selalu memilih shaff paling depan dalam salat berjamaah. Pendapat lain mengemukakan kata tasawuf berasal dari saufanah, yakni sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab. Alasannya yakni orang-orang sufi banyak mengenakan pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi batinnya subur. Selain itu, kata tasawuf itu berasal darai kata shuffah yang artinya pelana yang dibuat dari kulit domba, kemudian digunakan oleh para sahabat Nabi saw. yang miskin sebagai bantal tidur di atas bangku batu di samping Masjid Nabawi di Madinah. Alasan memilih kata shuffah ini yakni karena kemiripan tabiat mereka dengan sifat-sifat ahlu as-shuffah. Ada pula yang berpandangan bahwa tasawuf berasal dari kata shafiyah yang artinya sesuatu yang terpilih dan terbaik.

Menariknya, dikalangan para sufi sendiri, kita tidak menemukan definisi tunggal mengenai tasawuf itu sendiri, seperti: Al-Qusyairi mengatakan tasawuf ialah menjabarkan ajaran-ajaran Al-Qur’an dan sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjauhi perbuatan bid’ah, mengendalikan syahwat, dan menghindari sikap meringan-ringankan ibadah. Tokoh sufi lain yakni Abu Yazid al-Bustami secara lebih luas mengatakan bahwa arti tasawuf mencakup tiga aspek, yaitu takhalli (melepaskan diri dari perangai yang tercela), tahalli (menghiasi diri dengan akhlak yang terpuji), dan tajalli (manifestasi Tuhan di alam realitas) (Abu Su’ud: 2003, 182-183).

Dari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa kata tasawuf tidak dapat didefinisikan secara tunggal. Dalam tulisan ini, saya pun mengikuti uraian Badrudin yang mengatakan bahwa pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri (tazkiyyatun nafs) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang meyebabkan lalai dari Allah swt. untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah swt. (Badrudin: 2015, 1). Atau juga mengutip website dalamislam.com mengatakan bahwa secara umum, terlepas dari adanya pelbagai defenisi itu tasawuf dapat dipahami sebagai pelatihan dengan kesungguhan untuk dapat membersihkan, memperdalam, mensucikan jiwa atau rohani manusia.

Baca Juga:  Mengapa Harus Aktif Berliterasi?

Sejarah Singkat Perkembangan Tasawuf

Telah dipaparkan bahwa istilah tasawuf pada masa Nabi Muhammad saw. belum muncul. Dalam sejarah perkembangan dan pertumbuhan tasawuf menyatakan bahwa tasawuf sebagai sebuah ilmu pengetahuan baru muncul setelah masa sahabat. Pada masa Rasulullah saw. Islam tidak mengenal aliran tasawuf, demikian juga pada masa sahabat. Kemudian di masa tabi’in, datanglah suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari buku domba). Dengan pakaian inilah, mereka mendapat julukan nama yaitu sufi.

Mengutip Ibnu Kaldun, Bahrudin menjelaskan bahwa ilmu tasawuf datang belakangan sebagaimana ilmu yang lain. Di masa awalnya, embrio tasawuf ada dalam bentuk perilaku tertentu. Ketika kekuasaan Islam makin meluas dan terjadi perubahan sejarah yang fenomenal pasca Nabi dan sahabat, saat  itu pula kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan. Dalam hal ini, terjadilah kemerosotan rohani masyarakat Muslim. Budaya hedonisme pun menjadi fenomena umum.

Mengutip M. Alfatih, Bahrudin menjelaskan bahwa gerakan tasawuf terjadi sekitar abad ke-2 Hijriyah. Gerakan ini bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Lebih lanjut, mengutip  pengarang Kasyf al-Dzunnun, Bahrudin menerangkan bahwa orang yang pertama kali diberi julukan Al-Sufi adalah Abu Hasyim Al-Sufi (w. 150 H). Dalam sejarahnya, dakwah Nabi di Makkah tidaklah semulus yang diharapkan. Kemudian Nabi melakukan tahannus di Guwa Hirau sebelum turunnya wahyu pertama. Kegiatan ini dalam rangka menenangkan jiwa, menyucikan diri. Nabi Muhammad melakukan riyadhah (olah spiritual) dengan bekal makanan secukupnya, pakaian sederhana yang jauh dari kemewahan dunia. Setelah melakukan praktik-praktik tersebut jiwa Nabi Muhammad saw. mencapai tingkat spiritual yang paling tinggi, sehingga ia pun dapat menerima wahyu dari malaikat Jibril.

Lebih lanjut, dalam perkembangan ilmu tasawuf terdapat masa-masa tertentu yang cukup mempengaruhinya. Masa-masa itu antara lain (Abu Su’ud: 2003, 188-193):

Pertama, masa kehidupan zuhud. Pada masa ini, banyak generasi Islam awal yaitu zaman sesudah Nabi memiliki kepedulian untuk menyerukan kepada masyarakat untuk kembali hidup zuhud, sederhana, saleh, dan tidak tenggelam dalam buaian nafsu duniawi. Salah satu tokoh penyeru itu adalah Abu Dzar al-Giffari. Beliau melancarkan seruan itu kepada Bani Umayyah yang kala itu tenggelam dalam kemewahan duniawi. Ia pun menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dan kehidupan sederhana, seperti yang pernah dipraktikkan oleh Nabi dan Kekhalifahan al-Rasyidin.

Kedua, masa peralihan dari zuhud ke tasawuf. Pada masa ini yakni akhir abad ke-2, muncul analisis-analisis singkat tentang kesufian. Salah satu tokoh yang sangat mencolok mengkaji tentang tasawuf yakni Ibrahim bin Adham (w.161 H) di Khurasan.

Ketiga, tasawuf pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah. Pada masa ini, terdapat dua kecenderungan dari para sufi. Pertama, yakni cenderung bersifat gerakan akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah, dan kemudian disebut sebagai Tasawuf Sunni. Kedua, cenderung bersifat tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat (Tasawuf Falsafi). Tokoh-tokoh dalam golongan pertama yakni Haris al-Mushasibi. Ia banyak mengkaji dan mengajarkan tentang disiplin diri (muhasabah). Tokoh-tokoh dalam golongan kedua, dikalangan sufi filsafat yakni Zunun al-Misri, al-Hallaj dan puncaknya di tangan Ibn ‘Arabi.

Baca Juga:  Mengenal Al-Faruqi (3): Dua Tawaran Cerdas untuk Solusi Umat Muslim

Keempat, Tasawuf pada abad ke-5 Hijriah. Pada masa ini, setelah al-Hallaj meninggal, tasawuf filsafat makin terdesak oleh tasawuf Sunni. Hal ini didukung oleh keunggulan aliran Asy’ariah dalam teologi yang mempunyai kesamaan berpikir dengan tasawuf Sunni. Adapun tokoh yang muncul pada abad ke-5 yakni Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi penulis Ar-Risalah al-Qusyairiyah dan pelopor teoritis tasawuf dan puncak kecemerlan tasawuf abad ke-5 ini ada dalam diri  al-Ghazali yang diberi gelar Hujatul Islam. Ada dua hal yang dia alami yakni pertama, saat berada dalam posisi semangat menimba ilmu dan menjadi pengajar sekaligus guru besar di perguruan Nizhamiyah, ia senantiasa diliputi oleh harta duniawi. Kedua, masa syak (ragu) terhadap ilmu yang didapatinya itu. Keraguannya ini pun terobati dalam pengalaman tasawufnya.

Kelima, tasawuf sesudah abad ke-5 Hijiriah. Pada masa ini, puncak perkembangan tasawuf terjadi pada abad ke-6 dan ke-7, yakni pada Ibn ‘Arabi dengan teori tasawuf filsafatnya Wahdatul Wujud, yang memandang bahwa wujud mutlak dan hakiki itu adalah Allah swt.

Dasar Ilmu Tasawuf dalam Islam

Ilmu tentunya tidak datang begitu saja. Ia pasti memiliki dasar yang kuat sehingga orang-orang kemudian menyebarluaskan secara masif. Begitupun dengan ilmu tasawuf dalam Islam. Tasawuf ini tentunya tidak datang begitu saja. Ia pasti memiliki dasar yang kuat. Karena itu, pada bagian ini, saya akan menguraikan tentang dasar atau landasan ilmu tasawuf dalam Islam. Adapun dasarnya pertama-tama terletak pada Al-Qur’an.“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah [2]:115). “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al Baqarah [2]:186).

Kutipan-kutipan di atas menjadi landasan Ilmu Tasawuf dalam agama Islam. Tasawuf tentunya berkaitan dengan pembinaan akhlak, pembangunan rohani, sikap sederhana dalam hidup. Sikap-sikap seperti ini bisa membantu manusia dalam mencapai tujuannya dalam hidup. Untuk itu, praktik tasawuf ini dapat dilakukan oleh siapapun yang ingin membangun akhlak yang baik, sikap terpuji, kesucian jiwa, dan kembalinya pada Ilahi dalam kondisi yang suci. Selain itu, Bahrudin dalam bukunya juga mengulas tentang dasar atau landasan dari tasawuf itu sendiri yakni Al-Quran. Menurutnya, terdapat empat segi yang mencolok bagaimana Al-Quran menjadi sumber dari tasawuf itu sendiri (Badrudin: 2015, 10-11).

Baca Juga:  Menilik Filsafat Cinta Jean Paul Sartre

Pertama, Al-Qur’an penuh dengan gambaran kehidupan tasawuf dan merangsang untuk hidup secara sufi. Kedua, Al-Qur’an merupakan sumber dari konsep-konsep yang berkembang dalam dunia tasawuf. Ketiga, Al-Qur’an banyak sekali berbicara dengan hati dan perasaan. Dalam hal ini, secara jelas menegaskan bahwa Al-Qur’an banyak membentuk, mempengaruhi, atau mengubah manusia dengan bahasa hati, bahasa sufi, agar menjadi manusia yang berkepribadian sufi yang menyatu dalam dirinya secara harmonis perasaan dekat, takut, dan cinta pada Tuhan yang tergetar hatinya saat mendengar ayat-ayat Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an menjadi sumber yang sebenarnya dari metode tarekat. Keempat, Al-Quran sering menggambarkan Tuhan dengan gambaran yang hanya dapat didekati secara tepat melalui tasawuf.

Makna Tasawuf dan Relevansinya Bagi Saya Seorang Katolik

Dari uraian di atas, secara jelas menunjukan bahwa tasawuf merupakan suatu usaha untuk menyucikan diri, hidup sederhana, mencintai Tuhan dengan sepenuh hati. Dalam konteks agama Islam, tasawuf ini tentunya menjadi sebuah pedoman penting untuk mencapai dan mendekatkan diri kepada Allah. Dengan tasawuf, orang beragama Islam memiliki aturan khusus untuk mencapai kepenuhan dalam kemuliaan Allah itu sendiri. Telah dipaparkan di atas bahwa adanya tasawuf ini merupakan sebuah bentuk kritikan terhadap hidup manusia yang mengagungkan/menuhankan harta benda. Hal ini berarti bahwa, orang dengan melakukan amaliah tasawuf memiliki niat untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencintai-Nya dengan sepenuh hati.

Mencintai sebagai salah satu hal yang ideal bagi manusia menuntut manusia agar mencintai Tuhan sebagai pengejawantahan sempurna dari semua nilai moral, yang lebih penting dari segala sesuatu yang lain. Mencintai berarti berani melepaskan segala milik dan kepunyaan kita, dan kita sendiri mau menyerahkan diri secara total di hadapan Allah. Sebagai bentuk perintah Allah untuk mencintai, manusia dituntut agar berlaku baik dan mencintai orang tua, terutama kepada ibu yang telah mengandung dan melahirkannya dengan susah payah. Kemudian, kewajiban mencintai itu mesti diperluas lebih jauh sehingga tidak fokus pada diri sendiri, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, bahkan alam semesta.

Sejauh pembacaan saya. Tasawuf ini merupakan suatu ajaran yang penting dalam agama Islam. Saya pun melihat bahwa ajaran ini juga memiliki relevansi dengan hidup saya sebagai seorang Katolik. Meskipun, tidak harus mempercayai ajaran ini berhubung iman saya yang berbeda, tetapi saya tetap melihat potensi kebaikan dari ajaran ini. Menurut saya, tasawuf ini menggugah kesadaran saya tentang hidup sebagai seorang yang beriman kepada Allah. Mencintai Allah yang kita imani itu selain melalui ritus ibadah juga harus melalui perbuatan konkret sehari-hari—berupa akhlak-akhlak mulia, menebar rahmat kepada semesta tanpa memandang agama, suku, ras dsb. Walhasil, dengan mempelajari tasawuf menghantarkan saya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan yang saya imani.

Daftar Pustaka

Badrudin, H. Pengantar Ilmu Tasawuf. Serang: Penerbit A-empat. 2015.

Su’ud, Abu. Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Perannya dalam Peradaban Umat Manusia. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.

https://dalamislam.com/akhlaq/pengertian-tasawuf, diakses pada 3 Desember 2020.

0 Shares:
You May Also Like