Samora Machel: Pemikir dan Pejuang (Marxis-Leninis) Mozambik
Nelson Mandela, seorang tokoh kemerdekaan Afrika Selatan pernah mengatakan, “Samora Machel membasahi tanah kami dengan darahnya, dia telah berjuang untuk membebaskan sub-benua Afrika dari bencana perang dan penderitaan. Samora Machel pemimpin dan intelektual dengan keberanian yang besar, seorang jendral dengan komitmen tak tergoyahkan terhadap kemerdekaan dan keadilan”.
Lalu, yang menjadi pertanyaan dan diulas dalam tulisan ini, “Siapa itu Samora Machel? Mengapa tokoh sebesar Mandela saja mengapresiasinya? Bagaimana pemikiran Samora Machel itu sendiri?” Samora Moises Machel (1933-1986) adalah seorang komandan militer Mozambik dan seorang pemimpin revolusioner. Ia merupakan seorang intelektual marxis-leninisme yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa Mozambik di tengah penjajahan Portugal.
Berdasarkan buku Membangun Kekuataan Rakyat (edisi bahasa Indonesia, 2018) karya Samora Machel, dikatakan bahwa Samora Machel lahir dari keluarga miskin di bawah kekuasaan represif Portugis. Hidup dalam rezim kolonial yang eksploitatif telah menempanya menjadi seorang revolusioner. Machel terlibat dalam serangan gerilya pertama Front untuk Pembebasan Mozambik (FRELIMO) terhadap Portugis. Ia menjadi komandan dan kepala pasukan FRELIMO dan memimpin berbagai pertempuran. Portugis pun kemudian dipaksa meninggalkan Mozambik, dan Mozambik meraih kemerdekaannya dan Samora Machel menjadi presiden pertama Mozambik untuk mencapai cita-cita sosialisme.
Tujuan Kemerdekaan dalam Perspektif Samora Machel
Dalam sejarah peradaban manusia, sudah barang tentu setiap bangsa menginginkan suatu kemerdekaan dan atau mempertahankannya. Samora Machel menyoroti, Portugis yang mengkoloni bangsanya, pada tahun 1143 dan 1640 berjuang untuk mendapat kemerdekaannya. Amerika Serikat pun berusaha mendapat kemerdekaan dari Inggris dan memenangkannya pada abad 18. Prancis dan Inggris pun pada tahun 1939 sampai dengan tahun 1945 melakukan perlawanan terhadap fasisme Hitler untuk mempertahankan kemerdekaan nasional mereka.
Akan tetapi, dalam kacamata Machel, bangsa tersebut, yakni Portugal, justru secara kejam terus mengkoloni bangsanya. Pun bangsa-bangsa lain yang mempunyai pengalaman memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, seperti Amerika Serikat, Prancis dan Inggris, justru terus mendukung praktik kolonial dan fasis yang ditunjukkan oleh Portuga atas bangsanya.
Sebab itulah, di tengah praktik kolonial yang begitu keras kepala, Machel selalu menyerukan bangsanya agar terus berjuang dan berkorban. Akan tetapi, bagi Machel, seperti yang tertulis dalam bukunya Membangun Kekuatan Rakyat (2018), tujuan akhir dari perjuangan dan pengorbanan tersebut, bukanlah mengibarkan bendera yang berbeda dengan bendera Portugis, bukan juga sekedar menyelenggarakan pemilihan umum yang jujur yang memilih orang kulit hitam, bukannya kulit putih, atau bukan memiliki presiden berkulit hitam dan bukan berkulit putih di Istana Ponta Vermelha di Lourenco Marques.
Machel menegaskan, bahwa tujuan sesungguhnya adalah memenangkan kemerdekaan total, untuk menegakkan kekuasaan rakyat, untuk membangun suatu masyarakat baru tanpa eksploitasi demi kesejahteraan bangsa Mozambik. Dengan demikian, titik persoalan bagi Machel, yakni penegakkan kekuasaan rakyat, yang menjamin kemerdekaan dan kepribadian serta menghapuskan eksploitasi, yang berarti juga penghancuran kekuataan kaum penghisap yang selama ini selalu menegakkan ekploitasi tersebut.
Machel berpandangan, bahwa sebab mengapa negara-negara imprealis yang hidup makmur karena eksploitasi datang mengulurkan bantuannya kepada Portugal, mereka berkepentingan untuk mengabadikan ekploitasi.
Dalam usahanya untuk menikam kolonialisme dan membangun kekuasaan rakyat, Machel pun menyadari bahwa generasinya saat itu masih mewarisi kebiasaan dan adat istiadat, atau semua deformasi yang diciptakan oleh kekuasaan lama. Sebab itu, bagi Machel, harus selalu ada upaya secara terus menerus untuk memperbaiki cara bekerja, dan menggunakan pisau bedah kritik dan otokrotik untuk memotong dan membuang banyak peninggalan yang buruk yang diwariskan oleh masyarakat lama.
Marxis-Leninis sebagai Pisau Analisis Samora Machel
Di pengalaman banyak bangsa yang mengalami kolonialisasi, marxisme menjadi salah satu pemikiran ekonomi politik yang begitu menginspirasi pergerakan dalam menikam kolonialisme, pun yang terjadi Mozambik, marxisme (dalam hal ini marxis-leninis) manjadi suatu teori yang dijadikan oleh Samora Machel sebagai pisau analisis yang mendasari pemikiran dan pergerakannya.
Dalam buku Membangun Kekuasaan Rakyat (2018), Samora Machel memandang bahwa sejarah peradaban manusia adalah sejarah pertentangan kelas. Machel melihat bahwa masyarakat terbagi dalam kelas-kelas yang berlawanan dengan kepentingan yang berbeda, ada yang mengambil alih hasil dari produksi tenaga kerja orang lain, sementara yang lain menolaknya. Karena itu hubungan kerja-sama antarmanusia berubah menjadi hubungan pertikaian antara kelas penghisap dan kelas yang dihisap.
Menurut Machel, begitu kepentingan-kepentingan yang khas dan bertentangan itu muncul dalam masyarakat, masalah “kekuasaan”, perosalan siapa yang mengambil keputusan, kriteria yang akan digunakan dalam pengambilan keputusan dan untuk kepentingan siapa, menjadi suatu masalah mendasar dalam masyarakat.
Machel melihat bahwa suatu kelompok tertentu dapat memaksakan kepentingannya dan membuat tujuannya menang jika kelompok tersebut memegang kendali atas masyarakat. Dengan kalimat lain, jika kelompok tersebut menguasai kelompok yang bersangkutan. Memaksakan suatu masyarakat berarti menatanya untuk kepentingan kelompok yang berkuasa. Hal tersebut berlanjut sampai suatu saat kekuataan-kekuataan baru dalam masyarakat menjadi sadar bahwa kepentingan mereka dirugikan oleh kelompok yang berkuasa dan mereka bersatu, berjuang, menjatuhkan kekuasaan sebelumnya dan menegakkan kekuasaan mereka sendiri, merombak susunan masyarakat untuk memenuhi kepentingan mereka.
Bagi Machel, sejarah peradaan manusia adalah sejarah berbagai macam kelas penghisap, pemilik budak, kaum feodal, kelas borjuis yang sukses menguasai masyarakat dan mengorganisirnya secara politik, ekonomi, idelogi, budaya, administratif, dan hukum untuk kepentingan mereka sendiri. Dalam pandangan Machel, semua itu terjadi karena massa rakyat yang terkesploitasi tidak memiliki cukup kesadaran kelas yang dapat mempersatukan mereka.
Sebab itu, dalam konteks Mozambik, sudah jelas bahwa antara kepentingan kelas penghisap (dalam hal ini para kolonialis) dengan kepentingan kelas yang terhisap (dalam hal ini Mozambik) tidak mungkin untuk dikompromikan. Pertentangan antar kedua kelas ini merupakan suatu keniscayaan, dan suatu perubahan, yakni tegaknya kekuasaan rakyat hanya mungkin jika kekuasaan kelas penghisap (kolonialis) ditumbangkan dengan cara revolusioner.
Pandangan Reflektif untuk Politik Indonesia
Sebagai penutup, dari pemaparan di atas, saya rasa ada poin-poin penting yang bisa kita jadikan bahan refleksi, dan tentu saja tidak bisa kita abaikan; pertama, bahwa tujuan kemerdekaan bukan hanya menyingkirkan bendera penjajah dan mengganti dengan bendera kita, tetapi menegakkan suatu kepentingan rakyat; kedua, yakni sikap kritis yang perlu selalu dikembangkan, baik menyangkut ketimpangan, maupun dalam bentuk otokritik untuk meninjau segala pemikiran dan agenda kita dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat; ketiga, yakni dibandingkan terjebak pada pertarungan politik identitas (primordial), politik akan lebih menarik dan substantif bila didasarkan pada politik kelas.