Membangkitkan Kembali Ilmu-Ilmu Rasional

Oleh: Bil Hamdi

Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra

Tidak bisa kita pungkiri bahwa Islam dulunya pernah menjadi pemimpin peradaban. Masa itu berlangsung dari semenjak kekuasaan bani Umayyah hingga kekuasaan bani Abbasiyah. Suatu masa yang  juga disebut sebagai the golden age/masa keemasan Islam. Pada masa itu, tak ada satupun peradaban bangsa lain yang mampu menandingi pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam. Dengan kata lain, saat itu Islam merupakan kiblat bagi perkembangan ilmu pengetahuan (sains) di dunia.

Dari masa keemasan ini pula, lahir tokoh-tokoh ilmuwan Muslim yang memberikan kontribusi yang luar biasa besar bagi ilmu pengetahuan. Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Al-Kindi, Al-Farabi, Al-Khwarizmi, Ibnu Al-Haytham merupakan deretan nama besar yang saat itu tampil sebagai ilmuwan-ilmuwan handal yang mengawal peradaban dunia. Dari mereka, Islam tampil menjadi teladan ilmu pengetahuan yang mana orang-orang dari berbagai belahan dunia berbondong-bondong mendatangi negeri-negeri Islam untuk mempelajari ilmu.

Kemajuan tersebut, tentu tidak datang begitu saja, ada sekian faktor yang menjadi pemicu bagi lahirnya suatu peradaban yang maju. Dari sini, kita akan bertanya ‘apa yang menjadi faktor dibalik majunya peradaban Islam saat itu?’ 

Jauh sebelum Islam menjadi pemimpin peradaban, pada abad ke 6 SM, di Yunani telah dikembangkan sebuah ilmu yang disebut Filsafat. Dari sinilah awal mula berkembangnya semua cabang ilmu pengetahuan yang kita ketahui sekarang. Ajaran-ajaran filsafat Yunani tersebut kemudian diadopsi oleh Romawi yang berhasil mencapai puncak kejayaannya berkat filsafat. Di sisi lain, kebudayaan Persia juga berkembang dengan pesat terutama di bidang sains dan sastra. 

Di tengah dua gelombang kebudayaan besar Romawi dan Persia itulah, kekuasaan Islam mulai sedikit demi sedikit merintis kemajuannya. Pada masa kekuasaan Umayyah dan Abbasiyah terjadi penerjemahan kitab-kitab filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Dari penerjemahan tersebut, masyarakat Muslim mulai tertarik pada ilmu-ilmu rasional yang mereka adopsi dari Yunani karena dianggap mampu menyelesaikan banyak persoalan yang terjadi saat itu. Hingga pada puncaknya, didirikanlah Bayt al-Hikmah (Rumah Hikmah/Filsafat) yang menjadi pusat studi, perpustakaan, sekaligus universitas terbesar di dunia saat itu. Dari sini, filsafat Yunani mulai dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Muslim dengan corak yang islami. Bahkan dalam perkembangannya, argumen-argumen filsafat sering dipakai untuk menguatkan akidah Islam, sebagaimana yang terlihat dalam ilmu kalam/teologi Islam.

Baca Juga:  ONTO-EPISTEMOLOGI OBJEK SAINS: Acuan Ibn Sina dan Karl Popper (Bagian Satu)

Menariknya, iIlmuwan-ilmuwan Muslim yang telah disebutkan di atas juga merupakan ahli-ahli filsafat yang terkemuka. Bahkan Ibnu Sina selain dikenal sebagai ahli pengobatan, ia juga merupakan pendiri salah satu mazhab filsafat Islam, yakni mazhab Masyaiyah (paripatetik). Dengan modal pemahaman yang mendalam tentang ilmu-ilmu rasional, ilmuwan-ilmuwan Muslim tersebut berhasil mengembangkan keahliannya di bidang lain, seperti Ibn Sina yang dikenal sebagai ahli pengobatan, ataupun al-Khwarizmi yang dikenal sebagai ahli matematika. Semuanya berpijak dari keahlian mereka di bidang ilmu rasional. Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa salah satu pemicu lahirnya peradaban yang maju adalah penguasaan di bidang ilmu-ilmu rasional (‘aqliyah).

Hingga sampailah kita pada masa di mana lahir seorang ulama besar yang digelari sebagai Hujjatul Islam, dialah Imam Al-Ghazali yang menulis sebuah kitab fenomenal berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Al-Ghazali dalam kitabnya tersebut memberikan kritik tajam—bahkan dalam beberapa hal melakukan pengkafiran—terhadap para filosof—termasuk di dalamnya kritik terhadap pemikiran Ibnu Sina—yang dianggap telah melenceng jauh dari ajaran agama Islam.

Kritik yang dilakukan Al-Ghazali tersebut juga bukan sembarang kritik, melainkan sebuah kritik filosofis. Oleh karena itu, sebelum memberikan kritik terhadap para filsuf, Al-Ghazali terlebih dahulu mendalami filsafat hingga benar-benar menguasainya. Ia bahkan juga menulis sebuah kitab berjudul Maqasid al-Falasifah yang berisi dasar-dasar ilmu filsafat seperti logika, ilmu alam, dan metafisika, sehingga bisa dikatakan bahwa Al-Ghazali telah menjadi ahli filsafat sebelum mengkritik para filsuf yang ia tentang pemahamannya.

Kritik Al-Ghazali tersebut benar-benar berhasil dan efektif. Ia sukses mempengaruhi pemikiran sebagian besar umat Muslim untuk mencurigai pemikiran para filsuf. Pada perkembangan selanjutnya, filsafat semakin dijauhi bahkan ditinggalkan serta dimusuhi oleh mayoritas umat Muslim. Akhirnya, filsafat sukses dianggap sebagai ilmu yang mengantarkan pada kesesatan. Ilmu filsafat di dunia Islam pun mengalami kemunduran yang luar biasa. Kemunduran filsafat tersebut diikuti dengan kemunduran di bidang ilmu pengetahuan (sains). Hal itu menandai awal runtuhnya kejayaan Islam di bidang ilmu pengetahuan.

Baca Juga:  MANA YANG LEBIH HEBAT, NABI SAW ATAU BAYAZID BUSTHAMI?

Sebaliknya, perjuangan Barat selama berabad-abad belajar dari dunia Islam akhirnya membuahkan hasil. Dengan modal ilmu-ilmu rasional yang mereka pelajari dari dunia Islam, mereka pun akhirnya berhasil mengembangkan sistem filsafat mereka sendiri. Dari situ, dunia Barat mencapai sebuah masa yang dikenal dengan istilah renaisans, yakni abad pencerahan. Abad pencerahan ini pula yang menandai awal dominasi Barat dalam dunia ilmu pengetahuan (sains).

Barat kemudian tampil menjadi pemimpin peradaban modern menggantikan Islam. Bedanya, peradaban yang mereka pimpin hendak diarahkan menuju dunia tanpa Tuhan. Sains modern merasa tak perlu lagi menggunakan Tuhan dalam menjelaskan berbagai fenomena alam. Bagi mereka, Tuhan hanyalah konsep usang yang sudah semestinya dibuang oleh manusia yang hidup di era modern.

Lalu, di manakah Islam di pentas ilmu pengetahuan sekarang? Semenjak kritik Al-Ghazali tersebut, filsafat telah diabaikan oleh mayoritas umat Muslim selama hampir satu milenium terakhir. Bukan saja diabaikan, bahkan filsafat juga diharamkan. Semenjak itu pula, pendidikan Islam dititikberatkan hanya pada ilmu-ilmu agama. Hal ini menyebabkan kemunduran Islam yang luar biasa di bidang ilmu pengetahuan (sains). Filsafat Islam seolah tak memiliki ruang untuk bangkit dari kejatuhannya. Sebab, sedikit sekali dari umat Muslim yang berminat mempelajarinya. Kita justru akan sering mendengar tuduhan miring dari masyarakat tentang filsafat. Uniknya, meski tak memahami apa itu filsafat, mayoritas umat Muslim meyakini begitu saja bahwa filsafat adalah ilmu yang berbahaya sehingga harus dihindari.

Padahal, Al-Ghazali—sebagai pengkritik utama—tidak menolak mentah-mentah filsafat. Ia justru mendalami filsafat terlebih dahulu. Baru kemudian melakukan kritik. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Al-Ghazali merupakan seorang filsuf. Perlu diketahui juga bahwa kritik Al-Ghazali itu pun kemudian dikritik kembali oleh Ibn Rusyd dalam kitab Tahafut al-Tahafut (Kerancuan Buku Kerancuan). Saling kritik-mengkritik ini merupakan hal yang lumrah dalam filsafat. Sebab filsafat sendiri merupakan ilmu kritis yang fungsinya adalah membedah setiap pemahaman, pemikiran, argumentasi, bahkan keyakinan yang ada sampai ke akar-akarnya. Justru, berangkat dari kritik-kritik itulah filsafat berkembang dari sangat sederhana hingga menjadi sangat canggih. Oleh karenanya, adalah hal yang tidak tepat bila menganggap bahwa kritik Al-Ghazali terhadap pemikiran filsuf-filsuf di eranya sebagai suatu yang final. Sebab, filsafat tak pernah mengenal kata selesai. Ia akan dan harus terus berkembang mengikuti gerak perkembangan zaman.

Baca Juga:  Ibnu Abi Rabi’: Penggagas Utama Pemikiran Politik Islam dalam Sulûk al-Mâlik fi Tadbȋr al-Mamâlik

Tantangan-tantangan filosofis yang diajukan Barat terhadap umat beragama merupakan problem yang nyata bagi kita semua. Sains modern terus menjauh dari hal-hal metafisika. Mereka menyajikan beragam pembuktian empiris yang mendukung argumen mereka tentang keabsurdan konsep Tuhan dan agama serta segala hal yang berkaitan dengan metafisika. Padahal, keyakinan terhadap metafisika merupakan landasan dasar dalam beragama. Sehingga, bila metafisika ditolak, maka validitas seluruh ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya menjadi kehilangan pijakan logisnya. Lalu, bagaimana menghadapinya?

Menghidupkan kembali tradisi filsafat dan membangkitkan ilmu-ilmu rasional kiranya merupakan pilihan yang paling sesuai dan relevan, sebab, lawan yang kita hadapi merupakan kalangan yang terbiasa dengan kegiatan ilmiah yang menuntut rasionalitas. Melawan ide-ide mereka dengan sederet ayat dan hadis tentu tidaklah cukup—bahkan boleh jadi tidak bermakna—karena mereka sama sekali tak meyakininya. Filsafat Barat yang positivistik, mesti dihadapi dengan sebuah kritik filosofis pula. Namun kritik filosofis, tentunya tidak bisa kita lakukan bila tak memahami filsafat. Di sini, kita perlu meneladani sikap Al-Ghazali yang terlebih dahulu mendalami filsafat sebelum melakukan kritik. Oleh karenanya, umat Islam perlu menghidupkan kembali tradisi filsafatnya yang telah dipinggirkan selama satu milenium agar kita mampu memberikan jawaban—yakni sebuah dialog dan kritik yang relevan dan bermakna—terhadap tantangan-tantangan filosofis yang diajukan Barat.Wallahu a’lam.

0 Shares:
You May Also Like