Oleh: Haidar Bagir
Pengasuh Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf
Pandangan-dunia agama memang khas sejak awalnya. Agama menempatkan manusia sebagai makhluk yang tak self sufficient (mandiri), melainkan butuh pada yang lain: pada sesamanya dan pada banyak hal dalam lingkungan hidupnya. Dia pada puncaknya butuh kepada Tuhan sebagai sumber limpahan ilham/ilmu dan apa saja yang dia butuhkan untuk kesejahteraan hidupnya.
Saat manusia masih di alam rohani pra-bumi—yakni di alam yang kadang disebut sebagai alam alastu—dia sudah diminta persaksian oleh Tuhan: “Bukankah Aku (alas-Tu) Pencipta dan Pemeliharamu?” Manusia menjawab: “Betul, kami bersaksi” (QS. Al-A’raf [7]: 172). Jadi, memamng keyakinan akan ketergantungan manusia kepada Sang Sumber itu adalah elemen asasi pandangan-dunia agama.
Lalu, Tuhan seolah menuntut kesetiaan kita kepada Diri dan aturan-Nya. Secara totalitarianistik, tanpa kita boleh menentangnya sedikit pun. Tapi, bukankah Tuhan tak butuh apa-apa? Maka, “paksaan” Tuhan itu pada hakikatnya mestilah cuma untuk kepentingan/kebaikan alam dan seluruh isinya. Tak lain, tak bukan.
Artinya? Bukan saja, seperti kata Habib Ali al-Jufri, kemanusiaan (harus ditempatkan) sebelum keberagamaan, tapi kemanusiaan adalah keberagamaan itu sendiri. Tiada keberagamaan kecuali berorientasi kemanusiaan. Dengan kata lain, tak ada keberagamaan kecuali untuk kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Kesejahteraan seluruh penghuni alam semesta selebihnya juga. Bukankah Allah Swt. sendiri memfirmankan: “Dan tak Ku-utus engkau (Muhammad) (dengan membawa ajaran agama) kecuali untuk (menebarkan) rahmat bagi seluruh alam semesta?”(QS. Al-Anbiya’ [21]:107).
Hanya dengan cara pandang seperti ini agama bisa kita lihat secara positif. Yakni sebagai bagian dari kesempurnaan hidup manusia dan semua makhluk di muka bumi. Bahkan bagi kesempurnaannya dalam karier kehidupan mereka paska kehidupan di muka bumi ini.