TUHAN DAN IMAJINASI

Apa itu imajinasi? Menurut Merriam-Webster Dictionary imajinasi adalah sebuah kemampuan manusia untuk membuat gambaran mental tentang sesuatu yang tidak hadir pada indra lahir; atau sesuatu yang belum pernah sama sekali diketahui dalam realitas.

Apakah imajinasi itu sesuatu yang buruk? Tentu saja tidak. Atau, apakah imajinasi hanya menyajikan kebohongan dan kepalsuan? Di sini beda-beda pendapat orang.

Yuval Noah Harari dalam Sapiens mengatakan bahwa Tuhan dan agama hanyalah sebuah “imagined reality“. Sebuah realitas yang muncul melalui proses imajinasi. Pada nyatanya ia ada, makanya disebut realitas. Tapi, ia adalah realitas yang dibuat oleh imajinasi. Ini seperti halnya sepeda. Sepeda adalah sebuah realitas, tapi ia merupakan realitas yang dibuat oleh pabrik sepeda.

Mengatakan bahwa Tuhan adalah “imagined reality“, itu artinya Tuhan dianggap sebuah realitas, tapi yang diproduksi oleh pabrik imajinasi.

Bukan hanya Tuhan dan agama, negara dan bangsa juga disebut “imagined reality“. Apa artinya ini semua? Ini berarti “imagined reality” hanyalah buatan khayalan manusia. Di sini imajinasi disamakan dengan fiksi. Tuhan adalah fiksi, seperti diyakini Richard Dawkins dalam The God Delusion.

Tidak ada yang salah jika kita menganggap sepeda adalah produk suatu pabrik. Bahkan sepeda adalah sebuah teknologi transportasi yang muncul dari imajinasi seseorang di suatu zaman. Negara dan bangsa juga muncul dari imajinasi kolektif manusia. Tapi, bagaimana dengan Tuhan?

Benarkah Tuhan diciptakan oleh imajinasi? Memangnya apa sih imajinasi itu? Nah, kita kembali ke pertanyaan awal.

Imajinasi adalah kemampuan mental manusia untuk menggambarkan sesuatu yang tidak bisa diserap indra lahir, atau menggambarkan sesuatu yang belum pernah ada presedennya.

Baca Juga:  Semua Tajalli Allah itu Pasti Menakjubkan

Kata kunci di sini adalah definisi atau ta’rif imajinasi itu sendiri. Imajinasi tidak menciptakan apa pun. Ia hanya merefleksikan realitas yang dipahami oleh akal manusia. Memang dalam refleksi akal, imajinasi dapat membuat kita memiliki gambaran konkrit tentang sesuatu yang abstrak. Tuhan misalnya. Berabad-abad peradaban manusia, kita melihat beragam gambaran tentang Tuhan.

Ya, imajinasi berusaha menggambarkan realitas Tuhan. Tapi bukan menciptakan wujud Tuhan. Bukan pula sebab bagi eksistensi Tuhan.

Memang pada satu aspek imajinasi seolah menciptakan sesuatu. Seperti sepeda itu tadi. Ada satu aspek dari sepeda yang seolah diciptakan imajinasi. Yaitu gambaran mentalnya. Dari sana kemudian sepeda mewujud dalam realitas. Tapi bagaimana dengan Tuhan?

Tuhan diketahui oleh akal pikiran manusia. Ada juga yang menyebut bahwa hati (qalb) yang mengenal Tuhan. Apa pun itu, Tuhan bukan hasil kreasi imajinasi kita. Atau imajinasi yang didorong oleh hasrat-hasrat psikologis seperti rasa takut dan kebutuhan rasa aman, seperti dalam pendapat Sigmund Freud.

Kepercayaan pada Tuhan membuat kita lebih aman, tentram, dan hilang rasa takut. Dan, bukanlah rasa takut dan lain-lain itu yang membuat kita menciptakan sosok Tuhan dalam imajinasi kita.

Tuhan eksis meski manusia tidak pernah eksis. Bagaimana kita bisa tahu? Memangnya kita pernah melihat Tuhan? Tidak, meski kita tidak pernah ada di dunia sekalipun, itu tidak ada pengaruhnya pada eksistensi Tuhan. Eksistensinya dibuktikan secara rasional. Bahwa, entah bagaimana, Dia hadir menciptakan alam semesta.

Begitu pula dengan agama, atau kita sebut saja wahyu. Tuhan itu hidup, dan Dia bersama kita, berbicara dengan kita, lewat wahyunya. Bagaimana kita bisa berkata demikian? Sebab Dia sendiri yang mengatakannya lewat wahyu tersebut. Lagi pula, jika tidak demikian bagaimana bisa dia disebut Tuhan.

Baca Juga:  Ketika Tuhan Menurunkan Martabat-Nya

Dan hubungan kita dengan Tuhan pun terjadi secara langsung lewat ibadah-ibadah yang Tuhan ajarkan dan  perintahkan. Di sinilah peran para Nabi. Itulah mengapa kita mengikuti mereka. Karena merekalah yang mendengar langsung Tuhan berfirman.

Semua ungkapan di atas mengenai Tuhan tampak sangat antropomorfis. Sebagian orang menjadikannya alasan bahwa imajinasi kita saja yang menciptakan sosok Tuhan. Tuhan dalam sosok kita sendiri. Reza Aslan menyebutnya “Humanized God”.

Menurut saya, bukan seperti itu. Cara apa lagi yang Anda harap supaya kita bisa mendeskripsikan Tuhan, selain dengan cara yang manusia bisa. Yakni lewat bahasa manusia yang sangat antropomorfis itu. Dan Tuhan pun melalui wahyunya menjelaskan kepada kita tentang Dirinya, lewat bahasa yang bisa kita pahami. Tapi, itu semua adalah ungkapan tentang Tuhan, bukan Tuhan an sich.

Begitulah. Tuhan adalah alasan mengapa semua ini ada, termasuk kita. Dia yang menciptakan ini semua, entah dalam cara yang bagaimana. Yang pasti itu semua luar biasa. Bukan imajinasi yang menciptakan Tuhan. Karena, Tuhan yang diciptakan tentu bukan Tuhan. Sebuah “contradictio in terminis“.

0 Shares:
You May Also Like