Tasawuf sebagai Jawaban dari Keresahan Alam Pikir Milenial

Oleh : Reyhandito Arifin

Mahasiswa Ilmu Politik UI

Tasawuf memiliki ratusan definisi dan makna yang tidak pernah habis untuk selalu dikaji. Salah satu definisi tasawuf dari seorang sufi bernama Ma’ruf Al-Karkhi yaitu ilmu mencari hakikat dan meninggalkan segala kepalsuan. Sebagian orang berpendapat bahwa tasawuf itu adalah ilmu yang rumit dan sulit dipahami, sehingga ilmu tasawuf tidak akan mampu menarik perhatian kalangan muda. Namun, dalam artikel ini saya akan membahas apakah tasawuf memang tidak cocok dipelajari oleh para milenial atau malah relevan untuk menjawab krisis terhadap pemahaman agama yang cenderung dangkal terutama di kalangan pemuda.

Dalam sudut pandang sebagai mahasiswa, saya sering kali berbincang dan berdiskusi sesama teman mengenai berbagai hal yang tidak jarang berujung pada pembicaraan mengenai spiritualitas. Pertanyaan-pertanyaan skeptis mengenai agama dan ketuhanan sering kali dilontarkan dan seringkali terjadi debat kusir. Pertanyaan mengenai apakah Tuhan benar-benar ada? Mengapa harus ada banyak agama? Sampai pertanyaan fundamental. Seperti, apa gunanya kita shalat? Terkadang kita tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Sehingga mereka yang merasa segalanya butuh jawaban logis akan memilih menjadi ateis. Sementara sebagian yang lain cukup meyakini, bahwa agama memang tidak bisa dipertanyakan kebenarannya dan menolak untuk kritis dalam beragama.

Tasawuf sebagai revolusi spiritual menawarkan kepada kita untuk memandang agama secara mendalam dan openmind. Itulah yang menjadi jawaban atas pemahaman agama kita yang mungkin selama ini hanya berlandaskan pada doktrin semata. Saat timbul pertanyaan mengapa kita harus shalat? Jawaban mainstream-nya adalah agar kita tidak masuk neraka. Jawaban seperti itu seringkali dibantah dengan dugaan bahwa apakah sesederhana itu hubungan antara Sang Pencipta Yang Maha Rahman dan Rahim dengan ciptaan-Nya. Para Sufi atau orang yang mengamalkan tasawuf seringkali mengingatkan untuk tidak terlalu perhitungan dengan Allah. Dalam beribadah para sufi tidak mementingkan berapa pahala yang ia dapatkan, karena dasar mereka beribadah adalah mahabbah (cinta) kepada Tuhannya.

Baca Juga:  Membidik Kebahagiaan

Ada kisah tentang seorang sufi perempuan bernama Rabiah al-‘Adawiyah. Suatu ketika Rabiah al-‘Adawiyah berlari-lari ke pasar sambil memegang sebilah obor menyala-nyala di tangan kanannya, dan seember air di tangan kirinya. Orang-orang pun keheranan dan bertanya, “Hai Rabiah, apa yang akan kau lakukan?” Rabiah menjawab, “Dengan api ini ingin kubakar surga, dan dengan air ini ingin kupadamkan neraka, supaya orang tidak lagi menyembah Tuhan karena takut akan neraka atau karena mendambakan surga. Aku ingin setelah ini hamba-hamba Tuhan akan menyembah-Nya hanya karena cinta.”

Terkadang, karena terlalu melekat doktrin pada diri kita sampai-sampai kita melupakan siapa Tuhan kita, malah menuhankan surga dan neraka! Padahal jika kita berlogika. Bagaimana pun juga surga dan neraka adalah ciptaan Allah. Sering kali kita mengucap innalillahi wa inna ilaihi rajiun yang artinya kita semua milik Allah dan hanya kepada-Nya kita akan kembali. Maka hakikatnya kita semua kembali kepada Allah bukan kembali kepada makhluk termasuk surga dan neraka.

Dari penjelasan di atas, jangan menyimpulkan bahwa surga dan neraka itu tidak ada. Surga dan neraka itu tetap ada, namun yang harus kita renungkan adalah bagaimana melihat surga dan neraka dalam perspektif esoteris atau yang diajarkan dalam tasawuf.

Pertanyaan lain yang kerap ditanyakan adalah apakah dengan kita beragama Islam, maka otomatis kita dijamin masuk ke surga dan yang non Islam masuk ke neraka? Pertanyaan semacam ini tidak bisa dijawab dengan sederhana, karena perlu pembahasan yang panjang.

Di kesempatan ini, saya hanya ingin khabarkan bahwa makna mengenai agama (Islam) itu telah bergeser dari substansinya. Agama (Islam) dewasa ini dianggap hanya sebagai identitas semata dan berujung pada egoisme kelompok. Padahal agama dalam bahasa arab disebut ad-diin. Oleh kaum sufidipahami sebagai jalan hidup, bukan sekedar identitas yang tertulis di KTP saja.

Baca Juga:  Ramadan: Madrasah Spiritual Orang-Orang Beriman (Bagian 1)

Kemudian terminologi “Islam” dalam bahasa arab bermakna menyerahkan diri secara totalitas, menyelamatkan, memberikan kedamaian dan keselamatan. Maka, dengan pemahaman semacam ini kita tidak akan meributkan soal identitas karena jika kita artikan makna dari “Agama Islam” itu sendiri adalah jalan hidup yang menyelamatkan, baik menyelamatkan diri sendiri, menyelamatkan orang lain dan alam semesta.

0 Shares:
You May Also Like