Amir ‘Abdul Qadir Al-Jaza’iri dan Al-Mawaqif

Oleh: Azam Bahtiar

Direktur Nuralwala: Pusat Kajian Akhlak dan Tasawuf

Andai bukan karena jasanya, boleh jadi saat ini kita belum menikmati kitab Al-Futuhat al-Makkiyyah karya Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi, yang hadir kembali melalui berbagai suntingan kritis.

Pada 1287 H/1871 M —kira-kira 12 tahun sebelum wafat— Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri, sosok yang kita bicarakan ini, mengutus dua sahabat dekatnya untuk pergi ke Konya, Turki, tempat tersimpannya manuskrip kitab Al-Futuhat tulisan tangan Ibn al-‘Arabi. Tujuannya tak lain kecuali untuk memastikan tingkat kesesuaian dan akurasi naskah Al-Futuhat yang penerbitannya diprakarsai oleh Amir sendiri. Dua sahabat itu adalah Syaikh Muhammad Thayyib al-Mubarak, seorang sufi dan penyair; dan Syaikh Muhammad al-Thanthawi, salah seorang mursyid (guru spiritual) Thariqah Naqsyabandi, yang belakangan cucunya sendiri  —yaitu Syaikh Ali Thanthawi— menyesalkan kontribusi sang kakek dalam penerbitan buku yang dipandangnya secara simplistis penuh dengan kesesatan itu.

Seperti tulis banyak ahli, naskah Al-Futuhat yang beredar sebelum itu memuat banyak pemalsuan. Tradisi suntingan kritis memang belum banyak berkembang. Hal ini, misalnya, diakui pula oleh Syaikh ‘Abdul Wahab al-Sya’rani di sejumlah tulisannya, meski tak beliau tunjukkan di bab mana pemalsuan itu terjadi. Saya menduga, karena kepeloporan Amir inilah yang membuat Osman Yahya di kemudian hari mempersembahkan suntingan kritisnya atas Al-Futuhat untuk beliau, yang disebutnya rabbus-saifi wal-qalam. Dan memang semestinya kita berterima kasih.

Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri bukan hanya sosok sufi yang dalam seluruh darah dan keberadaannya mengalir-luap ajaran-ajaran Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi. Beliau adalah pemimpin perjuangan kemerdekaan Aljazair, yang selama 15 tahun memimpin pertempuran melawan invasi Prancis. Rakyat Aljazair sendiri, tepatnya pada 1248 H/1832 M, yang membai’at (menyatakan sumpah setia) beliau untuk memimpin jihad melawan kolonialisasi Prancis, ketika sebelumnya ayah beliau, yakni Muhyiddin, menolak dan merekomendasikan agar sang anak saja yang dibai’at. Sebagai pejuang, dipenjara dan diasingkan adalah risiko tak terhindarkan. Tapi semua itu tak mengubah sedikitpun amaliah ibadah dan kebesaran hati beliau, seperti dikisahkan bahkan oleh para lawan yang memenjarakannya.

Yang mengundang keharuan luar biasa adalah pada peristiwa tahun 1277 H/1860 M, ketika terjadi “Konflik Lebanon 1860”, sebuah kerusuhan besar antara kaum Druze dengan Kristen Maronit, yang memakan korban lebih dari 20.000 jiwa, membumihanguskan 380 desa Kristen, dan menghancurkan 560 gereja. Ketika itu, Amir berjuang keras memadamkan konflik sektarian itu, dan membuka rumahnya selebar mungkin untuk menampung dan melindungi sekitar 15000-an pemeluk Kristen, meliputi para konsulat, pendeta, biarawati, dan lain-lain. Belasan ribu jiwa pemeluk agama lain telah ia selamatkan. Semua itu dia lakukan, seperti diungkapkannya di depan Kerajaan Inggris, karena dorongan kewajiban agama dan rasa kemanusiaan. “Agama-agama, terutama Islam, terlalu agung dan terlalu suci untuk sekadar dijadikan sebagai pisau jagalnya orang-orang bodoh,” demikian pernyataan Amir di hadapan para ulama dan tokoh-tokoh di Damaskus. Ini jelas berbanding terbalik dengan fenomena yang lagi marak sekarang ini, di mana sesama umat Islam saja saling mengeksklusi. Atas jasanya itu, Amir menerima penghargaan tertinggi dari negara-negara besar di dunia, Prancis, Prusia, Rusia, Yunani, dan yang lain. Vatikan menganugerahkan kepadanya Order of Pius IX.

Al-Mawaqif

Amir ‘Abdul Qadir, sosok keturunan Nabi dari jalur Imam Hasan yang selalu mengaku sebagai murid Ibn al-‘Arabi itu, memiliki sejumlah karya. Yang terpenting barangkali adalah Al-Mawaqif. Kitab ini —yang ditulis setelah melewati masa-masa perjuangan, perlawanan, dan pengasingan— ditulis antara tahun 1272-1300 H/1856-1883 M.
Isi kitab ini, seluruhnya, ditulis secara spontanitas, tanpa rencana maupun permenungan, sesuai momen yang menguasai dan dialami oleh Sang Amir. Makna al-Mawaqif sendiri —bentuk plural dari mauqif— dalam terminologi kaum sufi merujuk pada stasiun spiritual, suatu barzakh atau ‘realitas-antara’ yang memisahkan antara dua maqam (pos spiritual) atau dua hal (keadaan spiritual), yang menjadi titik pijak bagi seorang salik untuk mendaki ke pos setelahnya.

Baca Juga:  Para Sufi yang Tenggelam dalam Cinta (Bagian 1)

Sebelum digunakan oleh Amir ‘Abdul Qadir sebagai judul buku, kata al-mawaqif sudah digunakan setidaknya oleh tiga tokoh sufi sebelumnya. Masing-masing adalah Muhammad bin ‘Abdul-Jabbar al-Nifari (w. 354 H) dalam karyanya, Al-Mawaqif wal-Mukhathabat, yang belakangan disyarah oleh ‘Afifuddin al-Tilimsani (w. 690 H); kemudian ‘Abdul Qadir bin Muhammad yang populer dengan sebutan “Ibn Qadhib al-Ban” (w. 1040 H) dalam Al-Mawaqif al-Ilahiyyah; dan terakhir oleh sufi asal Bosnia, ‘Abdullah al-Busnawi (w. 1054) dalam Mawaqif al-Fuqara’. Dan jika penelitian Georgeus Awad tentang Fahras-nya Ibn al-‘Arabi itu valid, maka sebelum al-Tilimsani sesungguhnya Ibn al-‘Arabi telah menulis kitab berjudul Kitab al-Mawaqif wa Ma’rifah al-Ma’arif, yang berjilid-jilid tebalnya (dari diksi yang dipilih, saya menduga tebalnya hampir se-Futuhat, sekali lagi jika penisbatan katalog itu benar).

Menurut ‘Abdul Baqi Miftah, kata mauqif dalam peristilahan Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri tampaknya merujuk pada suatu ‘kondisi’ pendakian kesadaran seorang sufi-arif, yakni dari suatu kesadaran yang terjebak dalam waktu-partikular, yang baharu, menuju waktu tunggal, waktu monad.

Sebagai inspirasi-spontanitas ilahiah, sebetulnya pada mulanya Al-Mawaqif tidak ditulis langsung oleh Amir ‘Abdul Qadir sendiri, tetapi oleh murid-murid terdekatnya. Momen pertama terjadi pada Rabiul Akhir 1272 H/1856 M, ketika salah seorang tamu berkunjung kepada Amir bersama anaknya. Sang anak undur-diri untuk pulang lebih awal. Ayahnya, yang memberikan izin, mendoakan: “Allah bersamamu” (Allahu ma’aka). Tiba-tiba secara spontan Amir ‘Abdul Qadir memberikan uraian menakjubkan tentang hubungan antara ayah dan anak, dengan berpijak pada QS Al-Hadid ayat 4. Tak lama setelah Amir selesai bicara, lalu ketiga murid terdekatnya, yaitu Muhammad al-Khani, Muhammad al-Thanthawi, dan ‘Abdurrazaq al-Baythar, meminta kepada beliau agar diperkenankan mencatatnya. Demikianlah hingga terdokumentasi seluruhnya dan bisa kita baca hari ini.

Baca Juga:  Ahli Syariat dan Ahli Hakikat

Masih menurut ‘Abdul-Baqi Miftah, seorang Akbarian dan salah satu penyunting kitab Al-Mawaqif, kitab ini terpusat pada enam gagasan utama: (1) Wahdatul Wujud, (2) Insan Kamil, (3) Hierarki Wujud, (4) Dominasi dan Kemencakupan Cinta Ilahiah atas Seluruh Makhluk, (5) Tangga-tangga Suluk, Maqamat, dan Ahwal dalam Irfan, dan (6) Keharusan Berpegang pada Syariat Muhammad dan Akidah Salaf Saleh secara Lahir dan Batin.

Kitab ini terdiri dari 372 mauqif. Secara general, struktur kitab ini bisa dikelompokkan menjadi enam kategori.

Pertama, mawaqif yang dibuka dengan ayat-ayat Alquran dan disusul dengan tafsir sufistik. Kadang ayat yang sama bisa kita temukan mengawali sejumlah mauqif yang berbeda. Ada pula mauqif yang berupa tafsir atas satu surah utuh, atau hampir-utuh, seperti surah Al-Takwir (mauqif 291), Al-Syams (mauqif 86), Al-Fatihah (mauqif 14, 59, dan yang lain), Al-Nas (mauqif 175).

Kedua, mawaqif yang diawali dengan hadis-hadis dari Nabi, termasuk hadis qudsi. Kurang lebih ada 45 mawaqif seperti ini.

Ketiga, mawaqif yang didedikasikan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan terkait kitab Al-Futuhat al-Makkiyyah. Setidaknya, tersebar dalam 13 mawaqif (250, 285, 288, 289, 292, 295, 298, 308, 309, 311, 352, 356, 366).

Keempat, syarah (penjelas) terhadap beberapa bab dalam Fushush al-Hikam, seperti fash Luqman (294), fash Isma’il (355), fash Syu’aib (358), fash Adam (367).

Kelima, terdapat sekitar 10 mawaqif, di mana Amir ‘Abdul Qadir mengisahkan pengalaman spiritualnya.

Keenam, ada sekitar 9 mawaqif untuk mensyarah aforisma-aforisma dan syair-syair sufistik.

Apa judul kitab ini?

Ada ketakseragaman judul dalam penerbitan kitab ini. Edisi Aljazair menjudulinya Al-Mawaqif al-Ruhiyyah fi Ba’dh Isyarat al-Qur’an ila al-Asrar wal-Ma’arif wal-Ilqa’at al-Subbuhiyah (1996). Edisi Damaskus dengan Kitab Al-Mawaqif fi al-Tashawwuf wal-Wa’zh wal-Irsyad (1967). Edisi DKI Beirut yang saya pakai dengan judul Al-Mawaqif al-Ruhiyyah wal-Fuyudhat al-Subbuhiyyah (2015, second ed.).

Jadi apa judul resminya? Wa-Allahu a’lam. Namun, dalam mauqif ke-360, Amir mendapat ilham untuk memberikan judul secara lengkap : Al-Mawaqif fi Ba’dh Isyarat al-Qur’an ila al-Asrar wal-Ma’arif (II: 424).

Baca Juga:  Imam al-Qusyairi: Metodologi Sufi dalam Menentukan Bulan Ramadhan

Edisi-edisi awal yang sempat terbit, terutama di masa ketika Amir masih hidup dan saat “penulisannya” belum rampung, memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan. Edisi Aljazair, misalnya, memuat hanya 368 mauqif, sementara edisi Damaskus 372 mauqif. Mauqif ke-364 edisi Aljazair lebih panjang dibanding dengan edisi Damaskus. Itu dulu. Yang beredar pasca itu sudah seragam.

Di dunia Islam, ketokohan Amir ‘Abdul Qadir mempengaruhi antara lain pada sahabat dekatnya, Syaikh Muhammad ‘Abduh (w. 1905), seorang pembaharu ternama. Jika laporan Rasyid Ridha tentang ‘Abduh itu benar, maka tak mustahil bila “kunci” yang dipakai oleh ‘Abduh dalam membaca dan memahami kitab Al-Futuhat al-Makkiyyah itu berasal dari Amir. Sosok lain yang sangat terpengaruh oleh Amir adalah imam mazhab Maliki dan syaikh tarekat Syadziliyah di Al-Azhar, yaitu Syaikh ‘Abdurrahman Ulaisy (w. 1930). Beliaulah yang memandikan dan mengkafani jenazah Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri.

Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Louis Massignon di Barat, bagian-bagian dari kitab Al-Mawaqif telah diterjemahkan terutama ke bahasa Prancis. Penerjemahan secara final baru dikerjakan oleh Michel Lagarde, Le Livre des Haltes (2000), seorang sarjana dan pendeta Prancis. Bagaimana dengan bahasa Indonesia? Nol puthul alias nihil. Kini menjadi tugas Anda, teman-teman pembaca.

Terakhir, tiga hari yang lalu, tepatnya 137 tahun yang lalu, pada 26 Mei 1883 jiwa suci Amir ‘Abdul Qadir al-Jaza’iri berpulang ke Pelukan Dia yang selalu dirindunya. Jasadnya dimakamkan di sebelah kanan pusara Syaikh Akbar Ibn al-‘Arabi, persisnya di sebelah kanan makam putranya yakni —‘Imaduddin bin Syaikh Akbar Muhyiddin— sebelumnya akhirnya dipindahkan ke Aljazair setelah merdeka.

Sebagai penutup, saya kutipkan syair Amir yang membuat bulu kuduk merinding, tak lain kecuali untuk ngalap berkah:

ومن عجب ما هممت إلا بمهجتي # ولا عشقت نفسي سواها وما كانا
أنا الحب والمحب والحب جملة # أنا العاشق المعشوق سرا وإعلانا
أقول أنا وهل هنا غير من أنا # فما زلت في أنا ولوها وحيرانا
ففي أنا كل ما يؤمله الورى # فمن شاء قرآنا ومن شاء فرقانا
ومن شاء توراة ومن شاء إنجيلا # ومن شاء مزمارا زبورا وتبيانا
ومن شاء مسجدا يناجيه ربه # ومن شاء بيعة ناقوسا وصلبانا
ومن شاء كعبة يقبل ركنها # ومن شاء أصناما ومن شاء أوثانا
ومن شاء خلوة يكن بها خاليا # ومن شاء حانة يغازل غزلانا
ففي أنا ما قد كان أو هو كائن # لقد صح عندنا دليلا وبرهانا

Wa-Allahu a’lam. Lahu wa li-Syaikhil Akbar, Al-Fatihah…

Tulisan ini diambil dari, dan sudah pernah dimuat sebelumnya di, sini

0 Shares:
You May Also Like