Sekadar Corat-Coret tentang Imajinasi
Salah satu daya berpikir yang luar biasa, bahkan sebetulnya jauh lebih berdaya ketimbang nalar (rasional) adalah imajinasi. Nalar itu ter-“perangkap” dalam logika—dalam hal meraih pengetahuan—belum lagi dalam bahasa—dalam hal mengungkapkan hasil penalarannya. Sedang imajinasi jauh lebih leluasa dari itu. Yang diraihnya bukan apa-apa yang ternalar, tapi yang terbayangkan. Yakni imaji-imaji, atau gambaran-gambaran, yang jauh lebih cair ketimbang yang rasional. Jika yang rasional bisa digambarkan dengan bentuk-bentuk geometris, seberapa pun kompleksnya, maka imagi bisa menempati ruang tak terbatas, seperti samudera—yang meluas ke mana-mana (ketika menulis ini pun, saya sedang menggunakan imajinasi dan metafora yang akan saya jelaskan sebentar lagi).
Yang lebih menarik lagi, imaji—sebagai hasil kerja imajinasi—bisa diungkapkan dengan tamsil dan metafora. Yakni bisa memanfaatkan gambaran-gambaran apa saja yang ada di alam semesta raya, yang nyaris tak terbatas ini. Apa dasar yang memungkinkan kita membuat tamsil atau metafora? Dasarnya adalah—seperti diungkap dalam filsafat (perenial) dan teosofi (‘irfan)—tapi juga diyakini sains, yang terus berupaya membuktikannya dengan memburu “the theory of everything“—kenyataan bahwa semua keberadaan di alam semesta ini mencerminkan satu sama lain. Yang satu adalah imitasi yang lain. Perbedaan hanya pada skalanya saja. Manusia adalah alam shaghir (alam kecil), sedang alam semesta adalah insan kabir (manusia besar). Manusia benar-benar adalah cermin alam semesta, baik dalam tingkatan biologis, psikologis dan lain sebagainya. Dan sebaliknya. Sama dalam hal prinsip-prinsip bekerjanya, dan hukum-hukum (alam) yang berlaku atasnya. Sehingga, kita pun bisa menerapkan pemahaman kita atas cara bekerja alam dan unsur-unsurnya untuk menjelaskan manusia. Inilah yang memungkinkan kita membuat tamsil dan metafora.
Maka, daya imajinasi, seperti kata banyak ahli, amat berdaya. Bahkan jauh lebih-lebih berdaya dari rasionalitas, secanggih apa pun. Bukan hanya para seniman, bahkan para saintis bekerja dengan imajinasi (baca tulisan saya, “Puisi dan Musik Sains” https://koran.tempo.co/read/opini/448327/puisi-dan-musik-sains).
Maka, menjadi amat menentukan, dalam hal apapun, agar upaya pengembangan imajinasi diberi perhatian khusus dalam pendidikan. Sayangnya, untuk saat ini, pendidikan imajinasi—termasuk seni dan sastra—justru terabaikan. Ini jugalah—di samping kemampuan literasi dan numerasi—yang menyebabkan kita ketinggalan.