Memahami Tajalli dan Penyucian Jiwa Melalui Puisi Rumi

Nining Astriani Peserta Intermediate Short Course Nuralwala

Dalam dunia sastra kata memiliki pengaruh yang begitu dahsyat. Menata beberapa kata mampu membuat seseorang terhanyut dalam kisah, syair atau puisi. Namun, menangkap makna yang termuat dalam puisi tidaklah mudah. Apalagi bila penulisnya seperti Maulana Jalaluddin Rumi yang berusaha menjelaskan penyaksian tentang langit dalam bahasa bumi. Hanya orang-orang yang telah mendalami karya-karyanya yang mampu memberikan pemahaman kepada kita. Deret kata dalam syair Rumi mampu menarik jiwa dari kebisingan duniawi. Ya, begitulah perasaanku ketika mendengarkan penjelasan Dr. Haidar Bagir tentang puisi-puisi Maulana Jalaluddin Rumi yang disampaikan pada acara Intermediate Short Course: Menjadi Insan Ilahi Nuralwala.

Sering terlintas tanya tentang penciptaan Tuhan akan alam semesta. Mengapa Tuhan repot-repot menciptakan alam semesta sedangkan tak menambah dan tak mengurangi keagungan-Nya?

Rumi memulai puisinya dengan kisah dalam hadis qudsi:”Paduka,” kata Daud, “karena Kau tak butuh kami, kenapa Kaucipta dua dunia ini?” Sang Hakikat menjawab:”Wahai tawanan waktu… Dulu Aku perbendeharaan rahasia kebaikan dan kedermawanan, Kurindu untuk dikenali. Maka Kucipta cermin.”

Saya tiba-tiba membayangkan sosok seorang ibu. Perempuan tidak akan pernah dipanggil sebagai ibu bila ia tak memiliki anak untuk dikasihi dan disayangi. Allah telah menganugerahkan rahim ke dalam tubuh seorang perempuan, sehingga perempuan memiliki sifat penyayang, dan lemah lembut. Bila sifat itu tidak ditebarkan untuk orang lain maka akan meresahkannya, dan ia tak akan pernah dikatakan sebagai ibu yang pengasih bila tak memilki anak sebagai objek yang dikasihi olehnya.

         Begitu pun dengan Tuhan. Dia memilki banyak sifat, salah satunya kedermawanan. Bila Tuhan tidak menciptakan alam semesta “cermin” sebagai wadah untuk menumpahkan sifat kedermawanan-Nya, maka Tuhan tak akan pernah dikatakan dermawan, karna tidak mungkin orang yang tidak pernah berbagi dikatakan sebagai orang yang murah hati (dermawan).

Baca Juga:  Telaah Sosiologis Rasionalisme di Awal Islam (2): Irasionalitas Dunia Arab sebelum Islam

Kemudian Rumi melanjutkan puisinya, “Mukanya yang cemerlang, hati. Punggungnya yang gelap, dunia.”

Sebuah cermin apabila polos, maka akan menjadi kaca. Jadi untuk menciptakan cermin tak selalu cemerlang, namun butuh sisi gelap di belakangnya. Tuhan telah menciptakan dunia dengan berbagai godaan yang menggiurkan. Harta dan kekuasaan adalah mangsa yang dikejar oleh manusia, walau pun untuk mendapatkannya dengan cara merugikan orang lain hingga pertumpahan darah. Itulah sisi gelap cermin (dunia). Tetapi Tuhan telah memberikan modal berupa akal dan hati kepada manusia sebagai kawan perjalanan di dunia ini untuk menemukan Sang Hakikat.

Setiap hati telah ditempati cahaya Ilahi, baik orang beriman atau pun pendosa. Rendah tingginya intensitas cahaya di hati manusia bergantung setiap diri. Terlampau sering kita melakukan perbuatan buruk hingga cahaya yang ada dalam hati terhalangi.

Kemudian, Rumi melanjutkan puisinya: “Maka, sapulah lumpur dan jerami itu, sebilah cermin pun akan tersingkap.” Cermin dalam konteks ini adalah wadah ber-tajjali-Nya sifat-sifat Tuhan. Apabila cermin (hati) jarang dibersihkan, maka akan banyak debu dan bintik hitam yang menempel padanya. Setiap kali perbuatan buruk dilakukan satu titik hitam dicermin itu akan bertambah sehingga cermin pun tak mampu memantulkan gambar yang jelas atau cahaya yang terang. Seperti itulah hati manusia, sebenarnya terdapat cahaya Tuhan di dalamnya namun karena banyaknya bintik hitam yang menempel hingga  cahaya-Nya seakan  tak nampak.

Dalam hadis qudsi Allah berfirman: “Langit dan bumi tak akan mampu menampung-Ku, yang mampu menampung-Ku adalah hati orang mukmin.” Begitu dahsyatnya hati  orang mukmin, sehingga Allah menurunkan diri-Nya di hati manusia. Kemudian Allah bersama makhluk-Nya menyampaikan ayat-ayat Allah di muka bumi.

Baca Juga:  Khidir dalam Pandangan Syekh Muhammad Nawawī al-Jāwī

           Lantas bagaimana cara membersihkan cermin hati? Tasawuf (suluk) memberikan langkah untuk membersihkan cermin hati sebersih-bersihnya. Proses membersihkan hati ini pun termaktub dalam Al-Quran: “Demi jiwa dan penyempurnaan (ciptaan-Nya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sungguh beruntunglah orang-orang yang menyucikan jiwa itu, dan sugguh merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Al-Syams 91:7-10).

            Sayangnya sebagian besar umat yang beragama (khususnya Islam) meninggalkan kajian ilmu tasawuf dan menjadikan tasawuf sebagai ilmu yang asing dan jarang diminati. Tasawuf dianggap sebagai ilmu yang hanya dikaji oleh orang-orang tertentu yang diyakini memiliki kedalaman ilmu agama saja. Anggapan ini mengakibatkan banyak orang yang tak mempelajari tasawuf. Sikap acuh seperti ini tanpa sadar telah menjadikan kita terperangkap dalam zona  awam, yang beragama hanya berdasarkan doktrin. Jika kita benar-benar merenungi dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an di atas bahwa “orang-orang yang menyucikan jiwa adalah orang-orang yang beruntung dan orang-orang yang mengotori jiwa adalah orang-orang yang rugi.” Dalam tasawuf menyajikan langkah dalam membersihkan jiwa, maksudnya adalah mengontrol dan menghilangkan “ego” dalam diri. Ego (keangkuhan diri) inilah yang menjadi sebab  terhijabnya seorang hamba dengan Tuhannya, menjadikan kita merasa jauh dengan Tuhan padahal sebenarnya “Dia sangat dekat bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri.” (QS. Qaf 50:16)

           Lantas mengapa manusia tak menyadari keberadaan cahaya Ilahi dalam hatinya? Dalam salah satu puisinya Rumi mengatakan: “Jiwa adalah cermin bening, tubuh adalah debu di atasnya, kecantikan dalam diri tak tampak, karena kita tersuruk di bawah debu.”

Debu inilah yang menjadi penghalang antara Allah dengan hamba-Nya. Kita tidak bisa lagi melihat Allah dalam hati kita, dikarenakan banyak debu yang menempel dalam cermin (hati). Banyaknya debu yang menempel dalam cermin (hati) itu karena manusia cenderung memperhatikan keindahan dan kebersihan tubuh daripada kesucian jiwa.

Baca Juga:  Tafsir Sufi Iyyaka Na‘budu wa Iyyaka Nasta‘īnu

Sampai di sini sebatas pemahaman saya. Singkatnya, Rumi  mencoba menafsirkan ayat Al-Quran dalam bentuk yang berbeda (puisi). Jadi, membersihkan jiwa dari debu yang menempel bukan hanya kewajiban bagi seorang sufi tetapi wajib bagi seluruh manusia yang meyakini Tuhan. Mari belajar tasawuf.

Catatan peserta intermediate short course Nuralwala angkatan pertama (DA/Nuralwala)

Previous Article

Menyingkap Makna Syukur Sebagai Umat Nabi Muhammad saw

Next Article

Metafora Ibn 'Arabi tentang Status Agama-Agama Pra-Islam

Subscribe to our Newsletter

Subscribe to our email newsletter to get the latest posts delivered right to your email.
Pure inspiration, zero spam ✨