Ramadan: Sarana Berbisnis dengan Allah

Bulan suci ramadan selain untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt., juga momentum untuk bertransaksi ibadah atau dalam bahasa Abi Quraish Shihab “berbisnis dengan Allah”. Tentu saja, transaksi yang dimaksud di sini bukan dalam bentuk jual beli seperti pasar, melainkan amal saleh dan aktivitas-aktivitas ibadah (nilai-nilai ketuhanan).

Sekiranya jika berbisnis dengan manusia, adakalanya membawa keuntungan dan kerugian, namun berbeda jika kita berbisnis dengan Allah Swt. yang selalu dan selamanya membawa keberuntungan. Ini sebagaimana sudah dinyatakan dalam Al-Qur’an pada surah Fatir, Allah berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an) dan melaksanakan shalat dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan rugi” (QS. Fatir [35]: 29).

Lalu bagaimana cara berinteraksi dan berbisnisnya? Syahdan, Filsuf Muslim Ibnu Sina (980-1037 M) mengatakan bahwa ada tiga macam cara interaksi manusia dengan Tuhan. Pertama, berinteraksi layaknya hamba sahaya yang takut pada tuannya, sehingga kepatuhannya didorong oleh rasa takutnya. Kedua, layaknya pebisnis yang berinteraksi dengan Allah karena ingin memperoleh keuntungan (ganjaran). Ketiga, layaknya ibu terhadap anaknya, yang berinteraksi atas dasar dorongan cinta.

Tentu saja kita tidak boleh heran dengan istilah bisnis dalam konteks ibadah, karena Al-Qur’an pun menggunakan istilah-istilah bisnis dalam konteks interaksi dengan Allah. Misalnya, tentang perniagaan (QS. Ash-Shaf [61]: 10), jual beli (QS. At-Taubah [9]: 111), kredit (QS. Al-Baqarah [2]: 215), dan lainnya.

Lebih dari itu, sisi lain para nabi dan penganjur kebaikan dapat dinilai laksana “promotor” yang mendatangi konsumen untuk mempromosikan dagangannya (dalam hal ini adalah aneka kebajikan). Setan dinilai saingan bisnis yang curang. Demikian seterusnya.

Baca Juga:  Mengenal Ciri-Ciri Sufi Sejati Menurut Habib Umar Al-Hafizh

Pebisnis akan berusaha menggunakan modalnya sekecil mungkin dan tenaga semudah mungkin untuk meraih keuntungan sebanyak mungkin. la juga akan memperhatikan apa yang dibutuhkan pasar dan yang disenangi oleh konsumen. Demikian halnya juga berbisnis dengan Allah.

Maksudnya, lakukanlah kegiatan positif yang tidak berat, modalnya ringan, dan disenangi Allah. Tahukah Anda apa yang disenangi-Nya? Dari sekian kali Allah menegaskan cinta-Nya dalam al-Qur’an, yang paling banyak diulang-ulangi adalah wa Allah yuhibbu al-muhsinin yang artinya Allah mencintai orang-orang muhsin (berbuat kebaikan)”.

Adalah beribadah seakan-akan melihat atau paling tidak sadar bahwa Allah melihatnya, dan yang melihat saudaranya dalam kemanusiaan seakan ia adalah dirinya, sehingga mendahulukannya karena ia melihat bahwa saudaranya itu adalah dia.

Dari sini sudah jelas, kita bisa menyimpulkan bahwa yang paling disenangi-Nya sekaligus menjadi tujuan kehadiran Nabi Muhammad saw. adalah akhlak yang luhur. Sangat populer hadis yang diriwayatkan oleh Imam Malik dan sekian banyak ulama hadis termasuk Imam Bukhari bahwa Nabi saw. bersabda, “Aku tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlak luhur”.

Yang dimaksud dengan akhlak luhur di sini bukan saja yang berkaitan antar sesama manusia, tetapi dengan semua pihak termasuk tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Kesemuanya harus diperlakukan secara wajar dan baik. Karena tujuan kehadiran Nabi Muhammad saw. membawa ajaran Islam adalah budi pekerti luhur dalam menghadapi siapa dan apa pun.

Dan, karena ibadah ritual adalah sebuah bekal dan makanan rohani bahkan oksigen dalam mengarungi hidup dan memakmurkan bumi. Karena itu, tak heran jika tujuan dimaksud tidak dapat tercapai tanpa akhlak yang luhur, bahkan ibadah ritual pun tidak akan memiliki arti tanpa akhlak.

Baca Juga:  Islam dan Kehendak Bebas Manusia (4): Konsistensi dan Konteks Konsep Kemahakuasaan Tuhan dan Kebebasan Manusia

Yang lebih parah dari itu, seseorang yang menyakiti tetangganya pun mendapat ancaman dari neraka, namun sebaliknya, ada ganjaran surga bagi yang berbuat baik kepada tetangga. Nabi Saw bersabda:

Sahabat Nabi saw. Abu Hurairah menuturkan bahwa ada yang bertanya kepada Nabi saw, bahwa si A selalu shalat malam, dan berpuasa di siang hari, tetapi lidahnya mengganggu tetangganya dengan ucapannya yang buruk. Nabi saw. menjawab:Tidak ada/terhapus kebaikannya, dia di neraka. Ditanyakan juga kepada Nabi saw. bahwa si B shalat lima waktu, puasa bulan Ramadan, dan bersedekah hanya dengan potongan tulang (amat sedikit), dia tidak memiliki selain itu tapi dia tidak mengganggu seorang pun. Nabi saw. bersabda: Dia di surga(HR. Al-Hakim).

Nabi saw, juga bersabda, “Diriwayatkan dari Nuh ibnu Abbad, dari Sabit, dari Anas secara marfu’: Sungguh seorang mencapai dengan akhlaknya yang luhur, derajat tinggi di akhirat serta kedudukan mulia, padahal ibadah ritualnya hanya sekadarnya. Sebaliknya, dia mendapatkan dengan keburukan akhlaknya neraka yang terendah padahal dia seorang yang tekun beribadah (HR. Ath-Thabaraniy).

Dengan adanya hadis Nabi Saw di atas, kita menjadi tahu bahwa berbisnis yang maksud, sekali lagi, adalah berbisnis dengan cara melakukan amal saleh dan aktivitas-aktivitas yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan seperti, berbuat baik kepada tetangga. Dalam konteks ini, manusia sebagai penjual dan Allah Swt. sebagai pembeli.

Sekali lagi, Ramadan adalah sarana dan momentum yang tepat untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karekteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang insan kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir yaitu, taqwa. Wallahu alam bisshawaab.

*) Salman Akif Faylasuf. Alumni PP Salafiyah Syafiiyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri di PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

 

Baca Juga:  Makrifat Mengenal Diri
0 Shares:
You May Also Like